Pelajaran dari Sekolah dan Kehidupan
------------------------------------
Oleh ANWAR HOLID


Adenita mengeluarkan novel pertama tentang mahasiswi berhati baja yang bertekad 
menyelesaikan kuliah, meski keluarganya gagal membiayai, dan karena itu dia 
bekerja keras membiayai hidup dan terpaksa utang ke sana-sini, sampai ketika 
lulus, mengantongi utang sebesar 70 juta rupiah.


BANDUNG - 9 Matahari karya Adenita (Grasindo, 352 hal.) merupakan debut novel 
yang sangat mengesankan dan berpotensi membuat hati pembacanya bergetar. Ini 
sebuah novel pembentukan jiwa (bildungsroman) yang sangat dewasa, berani, 
menebalkan rasa tabah dan sikap positif. 

Novel ini melontarkan saya kembali ke masa-masa kuliah, bertemu dengan 
mahasiswa beserta aktivitas dan idealismenya, berusaha membentuk identitas, dan 
belajar dari kehidupan. Novel ini juga memaksa saya mengingat Akademos (Bagus 
Takwin), novel sejenis tentang kehidupan kampus, namun dengan aspek yang 
intelektualisme yang berbeda; juga menguatkan saya pada salah satu ucapan Arvan 
Pradiansyah: kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran. 

Saya menamatkannya dengan mata berkali-kali rembes dan hidung meler. Tapi hati 
saya hangat sekali, dan dalam hati saya terus-menerus berkata: Ini novel yang 
bagus! 

Temui Matari Anas, mahasiswi yang terlalu tua dengan teman-teman seangkatannya, 
namun punya tekad menakjubkan menjadi sarjana dan berguna bagi diri sendiri, 
keluarga, dan orang-orang sekitarnya. Meski keluarganya gagal membiayai kuliah 
karena terlalu miskin dan secara emosional sedang labil, dia berusaha mandiri, 
bertahan dengan energi positif yang luar biasa. Keadaan memaksa dia utang ke 
sana-kemari pada banyak orang, teman-teman, sampai ibu pemilik warung makan di 
dekat tempat kosnya. Dia belajar pada kehidupan, pada orang-orang yang bisa 
dijadikan teladan, pertemanan, kesetiaan, dan kasih sayang orang-orang yang 
mencintainya. Meski pada akhirnya kuliah hingga lulus itu penting, lebih 
penting lagi ialah integritas, yang ditempa oleh kehidupan dan kedewasaan dalam 
memandang masalah.

Adenita berhasil menulis novel dengan cukup rapi, dan terutama sekali 
menggetarkan. Dia menulis dengan alamiah, sederhana, tak neko-neko, dengan 
kandungan energi positif yang meluap-luap dan emosinya kena banget. Memang 
masih ada sejumlah salah eja; semoga bisa direvisi bila cetak ulang nanti.


NOVEL ini pantas direkomendasikan pada semua mahasiswa baru, kalangan perguruan 
tinggi, dan orangtua dengan ekonomi kelas bawah yang punya anak kuliah. 
Kesulitan dan kepanikan yang dihadapi Matari begitu terasa, termasuk 
perasaannya menanggung utang dan rasa malu, ketar-ketir menghadapi ujian kuliah 
dan hidup. Mungkin bagi mahasiswa dan orangtua dari golongan ekonomi kelas 
mapan, kesulitan itu sulit dibayangkan dan terlalu melankolis; tapi keberanian 
Matari mengambil risiko dan berhati-hati atas pilihan dan mencoba bersikap, 
masih mampu membuat orang terkesan oleh karakternya. Bagian yang memperlihatkan 
kesukaran hidup, misalnya saat Tari kesulitan dapat uang untuk bayaran dan 
penghidupan, menurut saya mengharukan dan emosinya kena sekali. 

Sebagai kritik sosial, novel karya perempuan berusia 27 tahun yang juga aktif 
di dunia penyiaran dan public speaking ini memperlihatkan betapa pemerintah dan 
lembaga pendidikan tinggi kurang serius mengurus pentingnya pendidikan bagi 
kemajuan kualitas manusia. Banyak perguruan tinggi berdiri, tapi kondisi dan 
kualitasnya mengenaskan, fasilitas buruk, tapi biaya tetap mahal, sedangkan 
dosen-dosennya malas karena sibuk cari proyek, ternyata antara citra dan 
kenyataan perguruan tinggi tersebut berbeda jauh sekali. Atau yang paling 
parah: jurusan dipandang rendah karena dianggap sebagai lahan cari uang 
alih-alih laboratorium ilmu pengetahuan. Padahal ada banyak sekali kepentingan 
bermain di sana, dan persis kata penulisnya: bagi sebagian orang, menjadi 
mahasiswa merupakan pengalaman yang sangat mewah, tidak semua anak muda 
mengalaminya. Buku ini mengajarkan orang cara merencanakan pendidikan dengan 
baik.

Satu-satunya sedikit kelemahan, menurut saya ialah detail pembayaran utang yang 
kurang tergambar dengan baik. Penulis kurang menggarap cerita bagaimana 
perasaan orang yang memberi utangan kepada Tari ketika utangnya dilunasi atau 
dicicil, atau ditunda lebih lama lagi karena memang dia sendiri kehabisan uang. 
Detail bayar utang ini mestinya penting banget karena Tari memang dililit utang 
dan itulah sumber masalah terbesar dalam hidupnya.

Utang-piutang ini menimbulkan pertanyaan: masak selama pinjam ke banyak orang 
itu tidak ada yang terbayar atau bisa dicicil salah satunya. Saya mendapat 
kesan semua utang itu tak ada yang bisa terbayar. Ini merepotkan. Bagaimana 
perasaan Matari bila bertemu dengan kawan-kawan yang dia utangi? Malu, 
menghindar terus? Apalagi kalau ditagih? Saat kuliah, siapa sih di antara kita 
yang tidak punya utang? Hanya para mahasiswa yang berasal dari golongan 
keluarga sangat mampu, yang biasanya pasti jadi sumber utangan.


KULIAH merupakan masa-masa meneguhkan identitas. Sebagian orang sukses, 
sebagian orang lulus, lainnya menjadi demonstran atau berhenti di tengah jalan; 
sebagian orang lagi gagal, baik karena terpaksa ataupun sukarela karena ada 
pilihan lain. Di perguruan tinggi, mahasiswa juga menjalani sekolah kehidupan 
yang menakjubkan dan menggetarkan.

Pelajaran terbesar dari novel ini: pantang menyerah, sebab solusi tersedia bagi 
mereka yang berusaha. Novel ini mungkin bisa mencegah mahasiswa yang tengah 
dirundung masalah atau putus asa sampai mau memutuskan keluar akan mengurungkan 
niatnya. Sebuah Totto Chan versi dewasa, dengan guru Matari Anas sendiri.

Untuk kemampuan menggetarkan pembaca dan menyebarkan pikiran positif, saya 
berani kasih nilai 9 untuk 9 Matahari![] 04/12/08

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Informasi lebih banyak:
http://mataharikumataharimu.multiply.com
http://www.grasindo.com

Cari Adenita di Facebook!

Tag: Jangan biarkan selembar saham pikiran positifmu terjual kepada bandit 
pikiran negatif itu (hal. 182).


      

Kirim email ke