Cenah aya buku  judulna "In Time of Madness", resensina tina Kompas dihandap 
ieu. Nu matak kaget, geuning aya kanibalismeu sajeroning kekerasan di 
Indonesia. Nu ngarang buku ieu, Lloyd Parry, kungsi ditawaran sate manusa di 
Sambas Kalbar. Naha bener kitu?

Hantu-hantu (tentang) Indonesia
KO M PA S
Selasa, 9 Desember 2008 | 03:00 WIB

Oleh TRISNO S SUTANTO

Mungkin, suatu kali, akan ada sebuah buku tentang Indonesia-atau,
lebih tepat, tentang sejarah mengindonesia-yang dibuka dengan kalimat
begini: "Ada hantu yang memambangi Indonesia. Dan hantu itu adalah
kekerasan."

Sebab sejarah Indonesia, yakni proses yang tidak kunjung selesai
untuk "menjadi Indonesia", dipenuhi narasi kekerasan yang menebarkan
pesona serta aroma memikat, tetapi sekaligus menakutkan. Seperti
misteri: Anda tidak pernah dapat menebak atau membayangkan, tetapi
tiba-tiba menyergap dan membuat lidah kelu. Karena itu, untuk
mengendus jejaknya dibutuhkan jurnalis investigatif tingkat atas
yang, sekaligus, seorang sastrawan dengan kehalusan bahasa ala
realisme magis Gabriel Marquez.

Dan Richard Lloyd Parry memiliki keduanya. Ia bukan seorang
"indonesianis" yang dengan gampang membuat klasifikasi konseptual dan
mereduksi kekayaan fenomena yang serba karut-marut ke dalam perangkat-
perangkat akademis. Malah, seperti diakuinya sendiri, Indonesia
adalah teritori antah berantah yang tidak pernah (dan tidak kunjung)
dipahami, selain jejeran nama pulau di atas peta.

Akan tetapi, inilah keuntungan seorang "pemula". Bermodalkan rasa
ingin tahu (walau mulanya terpaksa sebagai koresponden yang
ditugaskan atasannya), dengan kejelian insting jurnalistik piawai (ia
pernah bertugas di dua puluh empat negara) dan kecakapan mengolah
bahasa, Lloyd Parry berhasil mengendus wilayah misterius, hantu-hantu
yang selalu menguntit dan memambangi proses mengindonesia. Buku In
Time of Madness (dialihbahasakan dengan bagus oleh Yuliani Liputo)
tidak sekadar menyajikan laporan jurnalistik tentang kurun tiga tahun
(1996-1999) yang paling krusial dalam sejarah Indonesia kontemporer,
tetapi sekaligus permenungan tentang kekerasan dan rasa takut yang
bagai racun menyebar dan melumpuhkannya.

Monster kekerasan

Lloyd Parry mengolah bahan- bahannya bak sastrawan realisme magis-
genre penulisan yang mencuat dari Benua Amerika Latin, benua yang
juga dipenuhi oleh hantu sejarah. Bagian awal bukunya, tentang "Mimpi
Buruk di Bali 1996", seperti lukisan novel surealis yang memberi
setting dan nada dasar seluruh narasinya.

Apa yang dikisahkan Lloyd Parry memang melangkaui rasa, pemahaman,
atau bahkan kosakata realitas yang waras dan dapat dicerna nalar
modern, misalnya konflik suku di Kalimantan yang membuat orang-orang
Madura di sana terusir keluar, selalu mrucut (lolos) dari kategori-
kategori penjelasan yang biasa dibuat. Sebab, "di dalam perang
terhadap orang Madura ini, tidak ada jejak keyakinan yang mengilhami
konflik kesukuan yang lain-tidak ada doktrin superioritas, tidak ada
ajakan ekspansionisme atau kenangan tentang ketidakadilan sejarah,"
tulisnya. "Tidak ada juru propaganda atau ideolog; nyaris pula tidak
ada pemimpin. Bahkan, tribalisme tidak dapat menjelaskannya karena
tidak ada sifat kesukuan yang menyatukan orang Melayu dengan orang
Dayak dan orang Bugis." (hal 129).

Yang menjadikannya lebih rumit, bukan saja penyebab konflik, tetapi
bentuk-bentuk ekspresi konfliknya menjungkirbalikkan tatanan lazim
dunia modern. Di Sambas, Lloyd Parry tidak saja menyaksikan
kanibalisme yang dipertontonkan secara terbuka, tetapi bahkan menjadi
sadar betapa tipis batas antara nalar modern dan dorongan purba itu.

Ada bagian dari narasinya yang paling menyentuh. Seseorang
menyodorkan sekerat daging manusia yang sudah disate dan menyuruh
Lloyd Parry memakannya. Begini ia melukiskan perasaannya: "Sekali
lagi saya mengalami sensasi kesurupan itu dan seolah gravitasi lenyap
di sekitar saya. Saya pikir betapa mudahnya kalau saya ambil saja
daging itu dan memakannya. Saya berpikir tentang hewan-hewan yang
telah saya makan seumur hidup saya sampai sekarang, anjing, monyet,
ular, siput, keong. . Seberapa jauhkah seekor monyet dari manusia?
Seberapa dekatkah saya dengan seorang kanibal?" (hal 110).

Lloyd Parry tidak memakannya karena "potongan daging itu tampak
dingin dan tak menggugah selera". Namun, ia sadar betapa tipis batas
antara kemodernan dan praktik kanibalisme purba. Di Jakarta, ia
menyaksikan bentuk lain dari monster kekerasan: mayat-mayat yang
terpanggang dalam kerusuhan Mei 1998. Jakarta pada Mei 1998 adalah
pentas teater yang juga mrucut dari penjelasan modern: ibu kota yang
dijarah oleh warganya sendiri (hal 209). Dan ujung akhirnya adalah
potongan-potongan tubuh yang hangus terpanggang.

Di Dili, pada kerusuhan pascajajak pendapat yang memerdekakan Timor
Timur, monster kekerasan itu sungguh melumpuhkan. Bersama wartawan-
wartawan asing lain, ia terjebak di dalam markas UNHCR, persis di
samping lokasi sekolah yang menjadi tempat pengungsian ribuan warga.

"Di Kalimantan dan Jakarta, saya sudah menyaksikan kekerasan dan
kekejaman. Tetapi, saya menyaksikannya dalam cara saya sendiri.
Kehidupan dunia selalu ada sebagai latarnya: setiap saat saya bisa
melangkahkan kaki dari tepinya dan menikmati makanan, teman, serta
ranjang yang nyaman," tulisnya.

"Di Dili semua itu tidak ada. Hukum, nalar, rasa iba, dan peradaban
telah mengerut ke dalam batas-batas markas PBB, ke beberapa ribu
meter persegi di antara dinding bekas kampus keguruan." (hal 399).

Ia akhirnya tidak tahan dan ikut melarikan diri. "Saya sudah
melompat," tulisnya jujur. "Saya sudah lari karena saya takut
terbunuh atau, lebih tepatnya, mati ketakutan." (hal 417). Dibutuhkan
waktu yang cukup panjang sebelum akhirnya Lloyd Parry menulis buku
yang sekaligus menjadi proses terapeutisnya.

Lubang hitam sejarah

Buku ini tidak menyajikan analisis menyeluruh, apalagi berpretensi
memberi jawaban dan penjelasan terhadap peristiwa-peristiwa yang
dituturkan. Bukan itu maksud Lloyd Parry.

Sebagai seorang wartawan, ia hanya melaporkan apa yang dilihat,
dirasa, dan dialaminya. Laporannya sungguh jujur. Bukan saja tentang
ketakutan yang membuatnya lumpuh dan dihantui mimpi-mimpi buruk teror
Kolonel Mahmud, tetapi juga jujur mengakui bahwa monster kekerasan
yang disaksikan dan diikutinya sejak dari Kalimantan, Jakarta, sampai
Dili memang sesuatu yang tidak pernah dapat dipahaminya.

Akan tetapi, justru karena itu, laporannya memberi kita cermin untuk
secara jujur merenungkan sejarah mengindonesia. Proyek untuk "menjadi
Indonesia"- suatu proyek modern par excellence!-tampaknya dibangun di
atas landasan yang sangat rapuh. Atau bahkan, kata Lloyd Parry, di
atas "lubang kelam", yakni lubang hitam sejarah warisan Orde Baru.

"Apa pun bangunan kemajuan yang ditegakkan selama tiga puluh tahun
kemudian, di bawah itu semua adalah lubang kelam yang menyimpan tubuh-
tubuh orang yang mati dalam pembantaian antikomunis," tulisnya. "Orde
Baru lahir dalam kekerasan yang teramat sangat; ancaman kekerasan
tersirat sepanjang sejarahnya; dan berakhir dalam ledakan kekerasan
yang beriak lama setelah pendirinya tumbang." (hal 169).

Sampai kini lubang kelam itu masih terus menganga. Dari dalam lubang
itu, hantu-hantu bermunculan dan memambangi proses mengindonesia yang
kita jalani entah sampai kapan.

Trisno S Sutanto Mahasiswa STF Driyarkara; Bekerja di Masyarakat
Dialog Antaragama

Kirim email ke