Urang Sunda nyarebutna ungkluk, tapi kecap ieu ayeuna jarang diucapkeun, 
diganti ku kecap WTS, awewe teu boga susila. Tapi naha bener ungkluk 
sagoreng nu disangka, nyanggakeun Catatan Pinggir Goenawan Muhamamd dina 
Tempo minggu ieu:

Pelacur

Senin, 15 Desember 2008
Catatan Pinggir, Tempo 15 Desember 2008
http://www.tempointeraktif.com/hg/caping//2008/12/15/mbm.20081215.CTP129003.id.html

Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya yang 
tebal ia seorang pelacur.

Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang 
istri yang ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari 
lima anak yang praktis yatim.

Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke 
sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut 
batu, kemudian memecah-mecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, 
empat tahun, anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam 
sampai tengah hari.

Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur 
bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore.

Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat 
penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan: 
memasang lipstik tebal, berpupur, mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia 
naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya dengan 
sepeda motor.

Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur 
menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.

Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan 
perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu pada 
1992 dalam bus ke Trenggalek. Mereka saling tertarik, dan Sutrisno menemukan 
lowongan buat Nur di Pabrik Rokok "Semanggi" di Kediri. Pekerjaan 
mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus 
menikah.

Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi dan 
botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang 
kelima lahir, dalam keadaan putus asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang 
pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di 
tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah hampir 
separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka mencari 
konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan.

"Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika 
melayani tamu?"

"Ah, ya ndak ada," jawabnya.

Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang pahit. Dalam 
film dokumenter yang dibuat Ucu Agustin-salah satu dari Pertaruhan, empat 
karya dokumenter tentang perempuan yang layak beredar luas di Indonesia 
kini-kedua pelacur itu berbicara tentang hidup mereka seperti seorang 
pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang kerja 
mereka sehari-hari.

Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana Shira Foundation yang 
memproduksi Pertaruhan, duduk bersama peserta Jakarta International Film 
Festival di sebuah kafe di Grand Indonesia-seakan-akan mall megah itu bukan 
negeri ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui mereka di 
tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk seperti di warung yang amat 
dikenalnya, dengan rokok yang terus menyala (tapi ia menolak minum bir), dan 
Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke Jakarta.

Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis 
perempuan yang menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh. 
Bahkan Tegar dan Nova diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiri-dan 
dengan kagum saya melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap orang 
tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke neraka, di 
mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutradara dokumenter ini, telah 
berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada tahun 2000 setelah enam tahun di 
pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang 
membaca majalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur dan 
kaumnya.

Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal, 
yang tiap Ramadan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para 
pelacur yang kehilangan kerja datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di 
tempat itu bertambah 50 persen.

Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke 
wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup 
anak-anaknya? "Mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak 
mereka," Nur berkata, berkali-kali.

Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia 
rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke 
sebuah TK Katolik sambil membantu hidup anak-anaknya yang lain yang ia 
titipkan di rumah seorang saudara. Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia 
contoh yang baik "dialektika" yang disebut Walter Benjamin: seorang 
pelacur-seorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu 
sendiri, seorang penjaja (Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) 
dalam satu tubuh. Ia buruh; ia bukan.

Bagi saya ia "Ibu Indonesia Tahun 2008".

Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang 
tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para 
preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur 
tahu bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan 
membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bulan ke Gunung Bolo, seperti 
ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim dari CIMED, 
organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke 
rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar 
berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.

Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya). Ia 
menyebut-Nya "Yang di Atas". Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang 
jauh-tapi justru tak merisaukannya, karena manusia, yang di bawah, tetap 
berharga: bernilai dalam kerelaannya.

Goenawan Mohamad 

Kirim email ke