haturan, bah ija, saur beja di handap ieu, tos ngantunkeun panca tengah nuju buana luhur dua bulan kalangkung. bah ija, husuna keur baraya nu karak lebet ahir taun 2007, teh dalang wayang catur nu kungsi dileler layang pangajen 'kusnet' basa habeha 2007 di jatinangor. sedengkeun wayang catur teh ngarupakeun hiji kasenian has sunda. modelna sarua jeung pantun, juru pantun (di dieu mah disebutna dalang) ngadongengkeun carita bari dipirig ku kacapi. ngan bedana wayang catur mah mawakeun carita-carita wayang. model mahabarata jeung ramayana.
-- hiji hiji binih kolot marekplekan, murag lemah, kakubur kalakay. lain.... lain.... lain. enya lain muragkeun maneh alatan bakat ku palay. beak tanaga. estuning keur ngerenungkeun sirung. sina marentul saamparan sunda. buahna, pupueun kamanusaan. jaga. mugya! --- * * *Wayang Catur, Riwayatmu Kini...* *Oleh Matdon* Setahun yang lalu, saya melihat dalang Ki Ija tampil memainkan wayang catur di Galeri Teh Taman Budaya Jawa Barat. Jemarinya bergetar saat memainkan kecapi kesayangannya, sementara mulutnya yang sudah baleleol terpatah-patah berkisah lakon Jabang Tutuka. Lakon itu tidak ia tamatkan karena kondisi tubuh rentanya tidak sanggup lagi. Penampilannya di Galeri Teh itu adalah penampilan pertamanya setelah 20 tahun berhenti mendalang. Pernah satu kali saya ke rumahnya di Kampung Cibolerang, Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, tapi tak bertemu karena ia sedang mencari kayu bakar, rutinitas yang ia jalani sehari-hari. Tiba-tiba Sabtu malam tanggal 3 Januari 2009, saya teringat Ki Ija lalu menelepon Mas Nanu Muda, seorang pemerhati seni tradisi Jawa Barat. "Ki Ija sudah meninggal dunia dua bulan lalu, tepatnya akhir Oktober 2008," jawab Mas Nanu di seberang telepon. Darah saya berdesir kencang, seribu penyesalan dan pertanyaan berkecamuk, kenapa tidak ada media yang mengetahui kematiannya? Tragis, seorang dalang kahot wayang catur dan satu-satunya di Indonesia telah pergi tanpa hiruk pikuk berita, tanpa ahli waris yang bisa meneruskan, menghidupkan dan melanggengkan tradisi wayang catur. Sekadar menengok ke belakang, siapa pun di negeri Indonesia, pasti sangat mengetahui pertunjukan seni tradisional wayang golek, wayang kulit dan wayang uwong. Dari seni wayang tadi kita mengenal nama-nama besar dalang seperti Ki Manteb Sudarsono, Asep Sunandar Sunarya dan sejumlah nama lainnya yang kerap menghiasi jagat budaya atau hiburan negeri ini. Tapi, pernahkah mendengar nama wayang catur? Bagi masyarakat Indonesia lebih khususnya warga Jawa Barat, nama wayang catur begitu asing, apalagi mereka yang terlahir di atas tahun 1980-an. Padahal, wayang catur pada masa kejayaannya tahun 1930-an sangat populer terutama saat RRI menjadi satu-satunya radio yang mampu menghibur pendengar. Wayang catur adalah bentuk pertunjukan wayang, tanpa memakai media wayang sebagai simbol peran dalam cerita, namun wayang catur hanya mengandalkan tutur kata, lebih menyerupai monolog dalam teater modern. Catur dalam bahasa Sunda lama berarti bicara, cerita, bertutur, karena sang dalang mengandalkan penuturan lisan tanpa ada wayang, maka pertunjukan wayang tersebut dikenal dengan nama wayang catur. Di daerah Jawa Barat wayang catur sering dijadikan media penghormatan kepada Dewi Sri pada saat panen tiba, biasa juga dimainkan saat hajatan pernikahan atau saat khitanan anak, bahkan di sela-sela cerita sang dalang menyelipkan dakwah agama. Satu-satunya generasi terakhir dalang wayang catur adalah Ki Ija, nama lengkapnya Ija Sukmaja. Ki Ija tidak mengetahui usia sebenarnya, kadang menyebut ia lahir tahun 1917 kadang ia sebut tahun 1934. Ia lahir, hidup dan mati di Kampung Cibolerang, RT 04/09, Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Sehari-hari ia hidup sebagai pencari kayu bakar, sebuah pekerjaan yang ia lakoni sejak tahun 1990, ketika wayang catur mulai tidak dikenal lagi oleh masyarakat sekitar. Meski tidak lagi mendalang, semangat Ki Ija masih tetap menggebu. Sepulang dari mencari kayu dan menjualnya kepada warga di sekitar perumahan di Cibiru dengan penghasilan Rp 5.000-10.000, jika tidak kecapaian, ia mengambil kecapi dan mendalang sendiri di rumahnya tanpa penonton. Ki Ija tidak mempunyai satu pun keturunan. Keponakan dan cucu-cucu keponakannya kerap memintanya untuk tidak mencari kayu lagi, tapi ia tetap saja memaksa mencari kayu bakar *Ki Ija dan Kenangan* Pertunjukan wayang catur hanya diiringi petikan kecapi yang dimainkan oleh dalangnya sendiri, pertama kali dipopulerkan oleh seorang dalang bernama Raden Oemar Partasoeanda pada tahun 1930 hingga 1940-an. Saat itu Raden Oemar bersaing dengan dalang wayang golek siaran di radio NIROM, VORL, dan RRI. Raden Oemar mempunyai murid bernama Elan Soerawisastra. Elan punya murid bernama Aki Ija. Di tangan Ki Ija inilah wayang catur semakin populer, hingga nama Ki Ija tak ubahnya selebritas, menjadi perbincangan masyarakat di wilayah Bandung Timur, Subang, Majalengka, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan lain-lain. Akhir tahun 1980 Ki Ija memutuskan berhenti manggung, hingga ia diminta pentas di Galeri Teh Taman Budaya Jawa Barat. Rupanya itu adalah penampilan terakhir sang dalang. Semasa hidupnya Ki Ija tak pernah mengeluh, kecuali ia sangat khawatir kalau wayang catur tidak ada yang meneruskan, karena dari sekian banyak keponakannya atau anak-anak kawannya, tidak ada satu pun yang bisa memainkan wayang catur. "Mun aki maot, jigana wayang catur ge ngilu maot," ujar Ki Ija waktu itu. Kini Ki Ija telah tiada, namanya terkubur bersama harta paling berharga, wayang catur. Kegelisahan dan kekhawatiran Ki Ija pun ikut terkubur. Ki Ija benar-benar istirahat untuk selamanya. Belum terlambat rasanya mengucapkan Innalillahi Wainna Ilaihi Raojiun yang ditujukan tidak hanya pada Ki Ija, tapi juga untuk wayang catur yang ikut mati. *Penulis adalah penyair, tinggal di Bandung.* *lengkapnya ada di : * http://www.sinarharapan.co.id/berita/0901/09/hib02.html -- d-: dudi herlianto :-q ~nyoba ngilu ngabauan dunya~