Di kompas poé ieu aya tulisan batur kuring ngeunaan jalma-jalma nu ngamangpaatkeun Cihaliwung. Mangga nyanggakeun:
Jejak Manusia Ciliwung Dulu dan Kini Senin, 2 Februari 2009 | 00:57 WIB Dayan D Layuk Allo Minggu siang, 18 Januari 2009, tiga perahu karet mendamparkan diri di tepian Ciliwung, tepat di muka pintu air Katulampa, Bogor. Mereka bagian Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, yang tiba dari arah Puncak dan disambut para petugas pintu air. Sebagian besar ”manusia Ciliwung”, yakni warga sekitar, berkumpul. Segelintir lainnya, manusia Ciliwung lainnya, adalah anggota tim ekspedisi dan pengawas pintu air. Apa pun motif ”manusia Ciliwung” adalah peduli keadaan Ciliwung. Sedangkan warga sekitar peduli keadaan dirinya yang memanfaatkan Ciliwung sebagai obyek penunjang hidup. Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 pantas diapresiasi karena memberi banyak laporan tentang kondisi sungai itu. Para prabu Ciliwung”Ciliwung adalah jalanan utama … Pakuan dengan Sunda Kalapa,” tulis Pramoedya A Toer (epik Arus Balik, 2001). Pakuan adalah ibu kota, Sunda Kalapa adalah pelabuhan ekspor Kerajaan Hindu-Buddha Pajajaran hingga 1527 M. Prabu Siliwangi sebagai manusia Ciliwung juga menjadi raja pada 1482-1521 M. Saat berkuasa, sang Sri Baduga Maharaja membangun benteng-keraton Pakuan dengan memanfaatkan potensi topografis bantaran Ciliwung (Danasasmita, Sejarah Bogor, 1983).Tampaknya Prabu Siliwangi yang menamai Ciliwung. Ia adalah keponakan dan menantu Prabu Susuk Tunggal (1382-1482). Sang pendahulu ini, menurut budayawan Adenan Taufik, dijuluki Prabu Haliwungan karena sifat temperamentalnya. Logis bila sang penerus mengabadikan julukan seniornya menjadi nama sungai yang arusnya bisa mendadak berubah dari tenang menjadi ganas. Peta CM Pleyte (1919), dalam buku A Heuken SJ (Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta, 1999), menunjukkan sungai itu bernama Tji Haliwoeng. Seiring kejayaan Pajajaran, Ciliwung menjadi urat nadi kehidupan kerajaan itu. Manusia Ciliwung berikutnya, Prabu Surawisesa atau Ratu Sangiang, menyadari hal itu. Ia yang berkuasa 1521-1535 pernah ditugasi mengikat pakta pertahanan dengan Portugis guna melindungi kedaulatan atas Sunda Kalapa. Sebagai hasil kunjungan ke Malaka, Pajajaran dan Portugis sepakat mengantisipasi ekspansi Cirebon dan Demak. Pakta tahun 1522 itu diabadikan oleh Portugis dalam bentuk tugu batu bertulis (padrao) di muara Ciliwung. Pada 1527, usaha Surawisesa gagal. Portugis terlambat datang membangun benteng. Pramoedya berkisah: ”Fatahillah, yang sendiri memimpin pendaratan. Ia temukan tugu batu bertulis Portugis-Pajajaran … merobohkannya dan menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa suatu upacara.” Setelah ditemukan tahun 1918, padrao Ciliwung kini disimpan di Museum Nasional. Berkulit putihKeberadaan penjajah Eropa di Ciliwung membuat sejarah disemaraki banyak manusia Ciliwung berkulit putih. Dua di antaranya adalah Gubernur Jenderal VOC Baron von Imhoff (berkuasa 1743-1750) dan Gubernur Jenderal Hindia Timur HW Daendels (kuasa Kekaisaran Perancis, 1808-1811). Seperti sebagian besar tokoh di Hindia Belanda, keduanya anak peradaban sungai-sungai besar Eropa. Wawasan mereka mengalir jauh melintasi banyak negara, bersama arus sungai besar seperti Rhein dan Elba. Wawasan mereka dilengkapi sikap antisipatif karena terbiasa melihat fisik sungai yang sering berubah drastis, mengikuti musim. Baron von Imhoff, keturunan Jerman, adalah tokoh pertama pembuat keputusan tertulis tentang kesatuan administratif atas wilayah tangkapan air Ciliwung (dan Cisadane)—yang disebut Afdeeling Buitenzorg. Kebijakan itu memelopori wawasan kesungaian yang didukung rasionalitas ilmiah. Dalam Kaart van de Afdeeling Buitenzorg (1854) tampak wilayah ini amat luas. Meliputi puncak Gunung Pangrango dan Salak, Megamendung, Ciawi serta seluruh landaian hingga batas selatan Kota Batavia. Seorang tokoh lain, HW Daendels, Gubernur Jenderal Hindia yang efektif. Meski dituding bertangan besi, ia berprestasi membangun banyak fasilitas kolonial di Jawa. Selain Jalan Raya Pos, Daendels sebelumnya sukses membenahi drainase Batavia. Daendels tinggal di Paleis Buitenzorg, Bogor. Tahun 1809, ia menggagas istana baru di tepian Ciliwung, Batavia. Namun, ia tidak mengecap hasilnya karena Daendels Paleis atau Gedung Putih (Het Witte Huis) baru selesai 1828. Istana tersebut sekarang menjadi Gedung Induk Keuangan (The White House of Weltevreden; Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2005). Lewat perencanaan istana baru di Weltevreden itu, Daendels tegas menempatkan Ciliwung sebagai orientasi peletakan bangunan dan ruang terbuka dalam kawasan pusat kekuasaan. Bantaran Ciliwung menjadi taman depan dan belakang gedung-gedung penting. Masih banyak manusia Ciliwung berkulit putih lain sepanjang 350 tahun sejarah kolonialisme di aliran Ciliwung. Mereka mungkin para perencana pintu air Katulampa, Depok, dan Manggarai. Mungkin juga para penggagas situ-situ, waduk, serta kanal-kanal Ciliwung. Namun, harap ingat bahwa dalam tiap realisasi hampir selalu terlibat manusia Ciliwung dari kalangan pejabat bumiputra, semisal Bupati Bogor Aria Natanegara (1761-1787). Era Indonesia MerdekaDalam era Indonesia Merdeka, manusia Ciliwung Bung Karno yang antikolonialisme memiliki cita-cita serupa Daendels. Mengimpikan kawasan prestisius di meander Ciliwung. Buah cita-cita itu, Jakarta memiliki Masjid Istiqlal yang dilingkungi dua kanal. Juga memiliki Monumen Pembebasan Irian Barat dan Monumen Nasional di tepi Ciliwung. Bung Karno juga penerus para prabu Ciliwung. Kesenangannya tinggal di Istana Bogor berlangsung lama. Bahkan, sampai saat kehilangan kekuasaan, ia ada di tepian Ciliwung.Jejak sejarah Ali Sadikin seyogianya mendapat perhatian khusus dalam laporan Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009. Ali Sadikin mewariskan rencana induk pengairan pengendalian banjir (tahun 1973), serta gagasan pengelolaan daerah aliran Ciliwung dan Cisadane yang bertumpu pada masterplan jangka panjang. Cintanya manusia CiliwungJika Ciliwung adalah ”ibu” bagi manusia-manusia di tepiannya, alirannya adalah cinta yang terus menghidupi mereka. Tepat 22 Januari, Ekspedisi Kompas Ciliwung mencapai Sunda Kalapa. Ia merekam banyak cinta yang menghidupi lingkungan sepanjang aliran Ciliwung. Seperti cintanya Mang Badri, yang tegar menanam sebanyak mungkin pohon di tengah keserakahan para pemilik resor wisata dan vila di Puncak, serta cintanya aparat, yang kedinginan di pintu-pintu air sekadar untuk memantau kondisi aliran Ciliwung. Ekspedisi Kompas Ciliwung membuka mata pada kondisi rawannya masa depan Ciliwung. Kenyataan banyak ditemukan adanya degradasi lingkungan karena erosi, pencemaran, serta penyerobotan lahan di hulu dan bantaran sungai. Diimbuhi dengan degradasi moral, intelek dan kepemimpinan dalam pengelolaan Wilayah Tangkapan Air Ciliwung (dan Cisadane). Selamat untuk manusia-manusia Ciliwung anggota Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009. Terima kasih atas kesetiaan mewartakan kebenaran. Bersama-sama kita berharap pemimpin masa kini mau belajar dari kebesaran para prabu Ciliwung, dari intelektualitas manusia Ciliwung berkulit putih, serta dari kepemimpinan manusia Ciliwung Bung Karno dan Bang Ali. Dayan D Layuk Allo Pemerhati Lingkungan Binaan dari StARS (Studio Amici Raden Saleh) di Bogor hb