Caping MBM Tempo 2/2/2009

Potret

SEMOGA Tuhan menyelamatkan kita dari potret. Semoga Tuhan menyelamatkan 
pepohonan Indonesia, tiang listrik Indonesia, pagar desa dan tembok kota 
Indonesia, dan segala hal yang berdiri dengan sabar di Indonesia, dari 
gambar manusia. Bukan karena membuat gambar manusia itu dikutuk Allah. 
Tapi….

Sebaiknya lebih dulu perlu saya terangkan, terutama bagi para pembaca yang 
sedang tak di negeri ini, atau yang selama lima bulan belum keluar rumah: 
adapun gambar manusia itu adalah potret wajah para ”ca-leg”. Atau ”ca-bup”. 
Atau ”ca-wali”. Atau ”ca-gub”. Atau ”ca-pres”. Demokrasi telah marak di 
Indonesia, para pembaca yang budiman, juga kelatahan.
Kelatahan, mungkin juga konformisme. Kini hampir tiap orang yang mencalonkan 
diri untuk dipilih siap maju buat bersaing—sebuah tekad yang bagus 
sebetulnya. Tapi rupanya mekanisme persaingan politik kini mengandung sebuah 
paradoks.

Di satu pihak, siapa yang ingin menang harus lebih menonjol ketimbang yang 
lain. Tapi, di lain pihak, sebagaimana tampak dalam potret-potret yang 
menempel atau bergelantungan di sepanjang tepi jalan itu, tak seorang pun 
tampak ingin berbeda dari yang lain.

Saya lihat potret M. Tongtongsot dari Partai Bulan Pecah terpasang 
berdampingan dengan gambar G. Gundulpringis dari Partai Bintang Bujel. 
Kedua-keduanya tampil berpeci, mengenakan jas dan dasi. Kedua-duanya 
memasang sederet huruf, maksudnya singkatan, di dekat nama mereka, 
dimaksudkan sebagai gelar yang diharapkan membuat diri gagah: ”H”, atau ”Drs”, 
atau ”MA”, atau ”MSc”. Kedua-duanya terpampang dengan muka lurus ke depan, 
dengan tatapan tanpa emosi, seperti foto ijazah kursus montir.

Dengan kata lain, orang-orang itu memasarkan diri bukan sebagai pribadi, 
dengan watak yang tersendiri. Yang tampak di sana hanyalah sebuah tipe. Tipe 
itu menyatukan entah berapa banyak potret yang berderet-deret, hampir tanpa 
jarak, dengan nama-nama yang tak akan kita tangkap dengan jelas, apalagi 
kita ingat, ketika kita lewat di atas motor atau bus. Seorang kawan yang 
berpengalaman memilih foto wajah buat sampul majalah menyatakan penilaiannya 
kepada saya: ”92% dari deretan wajah itu tak menarik.” Ia mengatakannya 
dengan yakin: ”Saya telah berjalan dari ujung Jawa Timur sampai Banten untuk 
mengamati potret kampanye.”

Apa gerangan yang hendak didapat para pemasang gambar? Jawabnya jelas: 
mereka ingin dipilih di antara ratusan orang lain. Potret mereka ingin 
direkam dalam ingatan orang pada menit-menit yang sunyi di depan kotak suara 
pada hari pemilihan nanti. Nama mereka ingin dihafal. Mereka keluarkan dana 
berjuta-juta untuk mencapai semua itu dengan memanfaatkan dan mengotori 
pohon, tembok, dan tiang listrik. Tapi belum saya dengar mereka pernah 
meneliti sejauh mana kampanye pasang-tampang itu tak sia-sia.

”Tapi saya tak mau ketinggalan,” agaknya demikianlah alasan mereka untuk 
memakai teknik kampanye ini. Tentu, alasan itu bisa diterima. Namun yang 
terjadi, yang bisa disebut sebagai kelatahan, justru akan menyebabkan mereka 
ketinggalan: mereka akan terpaku di tempat, sebagai repetisi, ketika waktu 
berjalan dan orang-orang jadi jenuh.

Memang ada yang mengatakan, menirukan keyakinan juru propaganda Partai Nazi, 
bahwa repetisi akan punya hasil positif; bahkan dusta yang terus-menerus 
diulang akan jadi kebenaran. Partai yang sering memasang iklan di televisi 
memang tercatat—oleh juru jajak pendapat—mulai menuai hasil: dikenal, dan 
kadang-kadang dikenal tanpa orang bilang, ”ah, tidak”.

Tapi yang berlangsung kini bukan cuma repetisi. Yang kita saksikan 
penyeragaman: perlombaan untuk memperlihatkan diri tapi ada saat yang sama 
takut tampak ”lain”. Maka yang akhirnya saya ingat dari deretan gambar di 
tepi jalan itu bukanlah wajah calon anggota DPR wilayah saya, melainkan 
tampang yang lain dari yang lain: tampang dalam iklan kartu telepon XL—muka 
monyet.

Sebab yang berulang-ulang datang kini bukanlah semboyan yang menggugah, dari 
retorika yang menggetarkan. Repetisi dalam politik hari ini adalah muka 
orang yang terpampang di bidang datar. Muka dua dimensi. Muka yang dengan 
gampang menyesuaikan diri dengan pola umum, ukuran yang lazim, dan bentuk 
persegi tertentu. Muka yang pada dasarnya menyerah tertempel, tanpa pesona.

Saya kira pada mulanya adalah sebuah salah paham. Serbuan yang visual ke 
dunia pancaindra kita punya akar di sebuah premis tua bahwa ”melihat” sama 
dengan ”mengetahui”.

Kesalahpahaman oculocentric ini sudah ada sejak Plato di Yunani Kuno memakai 
perumpamaan orang yang hidup dalam gua, yang dari kegelapan melihat terang. 
Tapi tak berhenti di situ. Orang Jawa abad ke-21 tetap memakai kata weruh 
(melihat) sebagai akar kata kawruh (pengetahuan atau ilmu). Kini televisi 
merupakan sumber ”pengetahuan” yang tak tertandingi. Kita pun menonton iklan 
di layar itu, atau melihat (biarpun dengan sekilas) potret-potret di pohon 
itu, seraya hampir lupa bahwa, seperti pernah ditulis oleh seorang buta, ”indra 
penglihatan adalah indra berjarak”. Indra lain—penghidu, pendengar, peraba, 
misalnya—berangkat untuk sesuatu yang dekat, bahkan akrab. Jauh sebelum 
Plato, dalam bahasa Aramaik, orang buta disebut sagi nahor, atau ”penglihatan 
yang hebat”.

Hari-hari ini saya pun ingin bersikap sebagai sagi nahor. Saya ingin berdoa: 
semoga mata orang Indonesia tak akan membuat Indonesia tersesat. Demokrasi 
perlu dirindukan lagi sebagai tempat suara berseru dengan gema yang kuat, 
dengan keberanian berbeda—bukan konformisme yang menyerahkan apa yang 
berharga dalam pribadi ke dalam sebuah pasfoto. Potret itu tak bicara 
apa-apa.

Goenawan Mohamad

Reply via email to