Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar : Terbebas Dari Syirik, Ikhlas, Tawakkal, 
Takut Kepada AllahRabu, 25 Juli 2007 15:09:42 WIB

BUAH KEIMANAN KEPADA QADHA DAN QADHAR[1]


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Iman kepada qadha' dan qadar menghasilkan buah yang besar, akhlak yang indah, 
dan ibadah yang beraneka ragam, yang pengaruhnya kembali kepada individu dan 
komunitas masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat. Di antara buah-buah 
tersebut ialah sebagai berikut:

1. Menunaikan Peribadatan Kepada Allah Azza wa Jalla.
Iman kepada qadar merupakan salah satu peribadatan kita kepada Allah, sedangkan 
kesempurnaan makhluk itu adalah terletak pada realisasi peribadatannya kepada 
Rabb-nya. Setiap kali bertambah realisasi peribadatannya, maka bertambah pula 
kesempurnaannya dan derajatnya menjadi tinggi, sehingga segala sesuatu yang 
menimpanya dari perkara yang tidak disukainya pun menjadi kebaikan baginya. Dan 
dari keimanan tersebut, menghasilkan baginya berbagai peribadatan yang sangat 
banyak, yang sebagian di antaranya akan disebutkan.

2. Terbebas Dari Syirik.
Kaum Majusi menyangka, bahwa cahaya adalah pencipta kebajikan sedangkan 
kegelapan adalah pencipta keburukan. Dan Qadariyyah pun mengatakan, “Allah 
tidak menciptakan perbuatan para hamba, tetapi para hamba itulah yang 
menciptakan berbagai perbuatan mereka.” Maka mereka ini telah menetapkan 
pencipta-pencipta (yang lain) bersama Allah Azza wa Jalla

Kesesatan ini adalah syirik. Padahal iman kepada qadar dengan cara yang benar 
adalah dengan mentauhidkan Allah Azza wa Jalla

Kemudian orang yang beriman kepada qadar mengetahui, bahwa semua makhluk berada 
dalam kekuasaan Allah, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semuanya tidak 
memiliki suatu kekuasaan pun, mereka tidak memiliki kekuasaan untuk dirinya, 
terlebih terhadap selainnya, baik kemanfaatan maupun kemudharatan. Demikian 
pula dia pun mengetahui secara yakin, bahwa segala urusan itu adalah berada di 
tangan Allah, Dia memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mencegah dari 
siapa yang dikehendaki-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan 
ketetapan-Nya. Hal ini akan mendorongnya untuk mengesakan Allah dalam 
beribadah, semata-mata hanya untuk-Nya, tidak kepada selain-Nya. Maka ia tidak 
mendekatkan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mengusap debu-debu 
kuburan, serta makam orang-orang shalih.

3. Memperoleh Hidayah Dan Tambahan Keimanan.
Orang yang beriman kepada qadar, dengan cara yang benar, berarti telah 
merealisasikan tauhid kepada-Nya, menambah keimanannya, dan berjalan di atas 
petunjuk dari Rabb-nya. Sebab, beriman kepada qadar termasuk mendapatkan 
petunjuk.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka 
dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]

Dia juga berfirman.

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, 
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk 
kepada hatinya … ." [At-Taghaabun: 11]

‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang 
tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa 
Ta’ala, maka dia pun pasrah dan ridha.” [2]

4. Ikhlas.
Iman kepada qadar akan membawa pelakunya kepada keikhlasan, sehingga 
motifasinya dalam segala perbuatannya ialah melaksanakan perintah Allah. Orang 
yang beriman kepada qadar mengetahui, bahwa perintah adalah perintah Allah dan 
kekuasaan adalah kekuasaan-Nya, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan 
apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, serta tidak ada yang dapat 
menolak karunia dan ketetapan-Nya. Semua itu mendorongnya kepada keikhlasan 
beramal karena Allah dan membersihkannya dari kotoran yang menodainya. Karena 
yang membawa ketidak-ikhlasan atau kekurangikhlasan adalah pamrih kepada 
manusia (riya’), mencari pujian atau sanjungan di hati mereka, atau lari dari 
celaan mereka, mencari harta mereka atau bantuan dan cinta mereka, atau 
selainnya dari noda-noda dan penyakit-penyakit yang dihimpun dalam menginginkan 
sesuatu selain Allah dalam beramal. [3]

Jika seorang hamba percaya, bahwa perkara-perkara ini tidak dapat diraih 
kecuali dengan takdir Allah Azza wa Jalla, dan bahwa manusia tidak memiliki 
kekuasaan sedikit pun, baik pada diri mereka maupun pada selain mereka, maka 
dia tidak akan peduli dengan manusia dan tidak mencari keridhaan mereka dengan 
menukarnya dengan mendapatkan murka Allah. Sehingga hal itu akan mendorong 
untuk lebih mendahulukan Dzat Yang Mahabenar daripada makhluk, kepada 
keikhlasan dan memurnikan ibadah, serta jauh dari segala riya’ dan kemusyrikan.

Dari sinilah akan diraih keutamaan ikhlas, yang merupakan keutamaan yang paling 
mulia. Karena ikhlas dapat meninggikan kedudukan amal, sehingga menjadi 
tangga-tangga untuk mencapai keberuntungan. Inilah yang membawa manusia untuk 
melanjutkan amal kebajikan, menjadikan tekad seseorang menjadi kuat, dan 
mengikat hatinya. Sehingga ia pun melangkah hingga mencapai tujuannya.

5. Tawakkal.
Tawakkal kepada Allah adalah inti ibadah, sedangkan tawakkal tidaklah sah dan 
lurus kecuali bagi siapa yang beriman kepada qadar sesuai dengan cara yang 
benar.

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Syaikh kami [4] -semoga Allah meridhainya- 
mengatakan, ‘Karena itu, tawakkal tidak sah dan tidak terbayangkan berasal dari 
para filosof, tidak juga dari Qadariyyah yang membantah dan mengatakan bahwa 
dalam kekuasaan-Nya ada sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, tidak juga dari 
Jahmiyyah yang menafikan sifat-sifat Rabb Jalla jalaa Luhu, dan tidak pula 
tawakkal akan lurus kecuali dari kaum yang menetapkan sifat-sifat Allah (Ahlus 
Sunnah wal Jama’ah).” [4]

Yang dimaksud dengan tawakkal, menurut syari’at adalah, mengarahkan hati kepada 
Allah pada saat beramal, meminta pertolongan, dan bersandar kepada-Nya semata. 
Itulah rahasia dan hakikat tawakkal.

Syari’at memerintahkan kepada orang yang beramal agar hatinya berhimpun di atas 
pelita tawakkal dan penyerahan diri.

Hal yang dapat merealisasikan tawakkal ialah, melakukan usaha-usaha yang 
diperintahkan. Barangsiapa yang menafikannya, maka tidak sah tawakkalnya.

Jika hamba bertawakkal kepada Rabb-nya, berserah diri kepada-Nya, dan 
menyerahkan urusannya kepada-Nya, maka Allah akan memberikan kepadanya 
kekuatan, tekad, kesabaran, dan menjauh-kannya dari berbagai bencana yang 
merupakan halangan ikhtiar hamba bagi dirinya, serta memperlihatkan kepadanya 
kebaikan berbagai akibat ikhtiarnya untuknya, yang tidak mungkin dia sampai 
kepadanya walaupun kepada sebagiannya, apabila (hanya bersan-darkan) kepada 
ikhtiarnya semata.

Ini semua akan menenangkannya dari pemikiran-pemikiran yang melelahkan dalam 
berbagai jenis ikhtiar, dan mengosongkan hatinya dari pertimbangan-pertimbangan 
yang sewaktu-waktu dia tempuh dan sewaktu-waktu ia tinggalkan.

6. Takut Kepada Allah.
Orang yang beriman kepada qadar akan Anda jumpai senantiasa takut kepada Allah 
dan suul khaatimah (akhir kematian yang buruk), sebab dia tidak tahu apa yang 
akan terjadi padanya dan tidak juga merasa aman dari makar Allah.

Dari sini, dia akan merasa amalnya sedikit dan tidak terpedaya dengan amalnya, 
apa pun yang telah dilakukannya. Karena hati manusia itu berada di antara dua 
jari dari jari-jari ar-Rahman, Dia membolak-balikkannya bagaimana saja Ia 
kehendaki, dan pengetahuan tentang akhir dari amalnya adalah berada di sisi 
Allah Azza wa Jalla.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda



“Demi Allah, sesungguhnya seorang dari kalian atau seseorang beramal dengan 
amalan ahli Neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan Neraka hanya sedepa 
atau sehasta lagi, tetapi telah berlaku ketetapan sebelumnya atasnya, lalu dia 
beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga dia pun masuk ke dalam Surga. Dan 
seseorang benar-benar beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga jarak antara 
dirinya dengan Surga hanya sehasta atau dua hasta lagi, tetapi telah berlaku 
ketetapan atasnya, lalu dia beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga dia pun 
masuk Neraka.” [6]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda



“Seorang hamba benar-benar beramal dengan amalan ahli Neraka padahal 
sesungguhnya dia termasuk ahli Surga, dan seseorang benar-benar beramal dengan 
amalan ahli Surga padahal sesungguhnya dia termasuk ahli Neraka, sesungguhnya 
perbuatan itu tergantung pada akhir penutupnya.” [7]

7. Kuat Harapan Dan Berprasangka Baik Kepada Allah.
Orang yang beriman kepada qadar akan berprasangka baik kepada Allah dan sangat 
berharap kepada-Nya, karena dia mengetahui bahwa Allah tidak menetapkan suatu 
ketentuan pun melainkan di dalamnya berisikan kesempurnaan keadilan, kasih 
sayang, dan kebijaksanaan.

Ia tidak menghujat Rabb-nya mengenai berbagai qadha' dan qadar yang ditentukan 
atasnya, dan hal itu mengharuskannya untuk konsisten di sisi-Nya dan ridha 
kepada apa yang dipilihkan Rabb-nya untuknya, sebagaimana mengharuskan untuknya 
menunggu kelapangan. Hal itu dapat meringankan beban yang berat, terutama bila 
disertai harapan yang kuat atau yakin dengan adanya kelapangan. Ia mencium 
dalam bencana itu udara kelapangan dan jalan keluar, baik berupa kebaikan yang 
tersembunyi dan baik berupa kelapangan yang disegerakan. [8]

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas 
Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad 
Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Lihat, al-Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 137-139, 178-179, 200-202, 
al-Jaami’ush Shahiih fil Qadar, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, hal. 11-12, 
Majmuu’ah Duruus wa Fataawaa al-Haramil Makki, Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, 
(I/73), al-Qadhaa' wal Qadar, Dr. ‘Umar al-‘Asyqar, hal. 109-112, al-Iiman, Dr. 
Muhammad Na’im Yasin, dan al-Qadhaa' wal Qadar, Dr. ‘Abdurrahman al-Mahmud, 
hal. 293-300.
[2]. Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, (VIII/283).
[3]. Lihat, Madaarijus Saalikiin, Ibnul Qayyim, (II/93).
[4]. Yakni, Ibnu Taimiyyah v.
[5]. Madaarijus Saalikiin, (II/218).
[6]. HR. Al-Bukhari, )no. 6594(.
[7]. HR. Al-Bukhari, )no. 6607(.
[8]. Madaarijus Saalikiin, (II/166-199). 




________________________________
From: amalia amara <amaliaam...@yahoo..com>
To: urangsunda@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, February 4, 2009 1:52:35 PM
Subject: [Urang Sunda] Ikhlas


Ada yang bisa ngertiin arti kata "ikhlas"?

Senin, 15 Desember 2009. 
Aku kehilangan pacar aku, sahabat aku, kakak aku, calon imam aku. 
Jamal Abdul Nasir. 
  
Umurnya 27tahun. 
Fisiknya selalu dikasih sehat. Hingga Nov awal kemaren dokter bilang dia sakit 
types. 
Types tipe O yang menyerang bagian otak. 
Hingga menyebabkan tidak bisa tidur selama lebih dari 40hari. 
  
Tanggal 15Des 09. Pagi. Aku dirumah sakit Budi Asih Jakarta. 
Keadaan Jamal parah. Mata sudah tidak bisa melihat. Badan sudah tidak berdaya. 
dan dalam 3 hari terakhir yang dia sebut hanya nama aku "Ra..Amara". 
  
Hingga akhirnya aku berdoa disiang hari, aku ikhlas ya Allah. 
Berikan keadaan yang terbaik untuk kekasih aku. 
dan akhirnya Jamal menghembuskan nafas yang terakhir pada pukul 15.30 sore. 
  
1 bulan telah berlalu. 
aku masi sering nangis dikamar kostan aku. 
aku masih ga percaya kalo jamal dah ga ada. 
Soulmate aku. Cinta aku 
  
"Mungkin Tuhan dah kasi yang terbaik untuk kami". Cuma kata2 itu yang bisa 
nguatin aku sekarang.. 
  
mungkin ada yang bisa bantu, Mara harus gimana lagi supaya mara bisa lebih 
Ikhlas. 
karena katanya menangisi orang yang telah meninggal secara terus menerus sama 
dengan marah terhadap takdir. 
  
Best regards,
Amalia Amara 
  
PT. Indosopha Sakti 
Secretary IBM Division 
Ph. 021-79180345 (ext 218) 
 
 


      

Kirim email ke