Minggu, 01 Februari 2009
 Mengenal Lebih Dekat "Dalem Haji" R.A.A. Wiranata Koesoema  *Disegani
Pemerintah Hindia Belanda*
  *"SAYA* selalu melawan peraturan yang menurut pendapat saya tak baik bagi
rakyat saya, meskipun hal itu akan menyebabkan saya terpecat dari jabatan
saya. Saya seorang nasionalis dan hal itu harus saya tunjukkan. Orang takkan
dapat memaksa saya menghambat atau melawan pergerakan Bumiputera yang
baik."R.A.A. Wiranata Koesoema, (Pandji Poestaka, 10 Maret 1931).

*TANGGAL* 22 Januari 2009 yang baru lewat adalah hari wafat tokoh besar
Sunda abad XX, R.A.A. Wiranata Koesoema. Ia lebih dikenang publik sebagai
Dalem Haji atau Kangjeng Wali. Disebut Dalem Haji karena ia pernah pergi
haji ke Mekah dan mendapatkan Bintang Istiqlal Kelas Satu dari Raja Hijaz
(1924). Dinamakan Kangjeng Wali karena ia adalah Wali Negara Pasundan pada
era Negara Pasundan. Sebagai perwakilan republik yang lebih diinginkan
rakyat Pasundan, ia terpilih menjadi Wali Negara setelah mengalahkan calon
dari pihak Belanda, yaitu Lukman Djajadiningrat. Jauh sebelum itu, ia adalah
Bupati Cianjur (1912-20) dan Bupati Bandung (periode I 1920-31, periode II
1935-42).

Wiranata Koesoma (WK) lahir pada 8 Agustus 1888. Ia bernama kecil Moeharam.
Bagi penggemar utak-atik angka, 8-8-1888 adalah angka yang unik dan menarik
untuk ditafsirkan. Begitulah sosok WK di kemudian hari, banyak tafsir yang
bisa dilakukan untuk melihat kiprahnya. Sungguh sayang jika tokoh sebesar WK
terlewat begitu saja dalam penuturan sejarah Sunda modern. Sebab, ia adalah
tokoh yang unik, disegani pemerintahan Hindia Belanda sekaligus dicintai
rakyat Pasundan.

WK menduduki berbagai jabatan penting dalam kedudukannya sebagai pegawai
pemerintah. Selain menjadi anggota volksraad dalam beberapa periode, WK juga
pernah menduduki ketua organisasi para bupati "Sedio Utomo", juga Ketua
Perhimpunan Pangreh Praja Pribumi (PPBB). PPBB ini hingga 1932 memiliki
6.000 anggota di seluruh Hindia Belanda. Sebagai ketua, ia juga memimpin
media internal PPBB bernama Pemimpin yang bertiras 6.500 eksemplar.

Selain disegani pemerintahan Hindia Belanda, ia dicintai rakyat dalam arti
yang sesungguhnya. Setiap kepergian dan kedatangan WK dalam suatu perjalanan
selalu disambut rakyat banyak. Misalnya pada saat ia pergi dan pulang naik
haji. Atau saat dia akan pergi berkhotbah di Masjid Agung dan pulang kembali
ke pendopo, rakyat beriringan menyertainya. Bukti kecintaan lain ditunjukkan
saat WK akan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung. Begitu berita rencana
kepindahan itu menyebar, Syarikat Islam Cianjur berkirim surat kepada
Gubernur Jenderal agar WK tetap menjadi Bupati Cianjur.

Sementara itu, sejumlah organisasi di Bandung, seperti Pasundan, Budi Utomo,
Persatuan Guru Hindia Belanda, dan Persatuan Pegawai Staats Spoor meminta
Gubernur Jenderal agar segera memindahkan WK ke Bandung.

Tentu saja kecintaan rakyat sedemikian itu tidak menyenangkan kelompok
komunis yang meniscayakan adanya kelas dalam masyarakat. Melalui koran
Soerapati, para pegiat komunisme di Jawa Barat menghantam WK habis-habisan.
Mereka berupaya keras menjatuhkan harga diri dan kehormatan WK melalui
pemberitaan yang provokatif dan menggunakan bahasa sangat kasar.

WK dijadikan sebagai common enemy. Namun, WK menghadapi upaya insinuasi itu
dengan strategi "bermain layang-layang". WK tidak pernah melayani provokasi
kaum komunis dalam Soerapati. Ia seolah tak memedulikan mereka. Hasilnya,
pada 1926, ketika diperkirakan pemberontakan PKI akan meledak besar,
ternyata di Bandung upaya itu tidak disambut rakyat. Pemberitaan Soerapati
yang sangat kasar kepada WK justru menuai antipati rakyat pada gerakan itu.
Diam-diam, rupanya WK yang selalu rajin turun menemui rakyat secara
langsung, berhasil meredam upaya pemberontakan PKI.

*Awal karier*

WK menyelesaikan pendidikan dasar ELS di Bandung pada 1901. Setelah 3 tahun
sekolah di OSVIA Bandung, ia pindah ke Gymnasium Willem III (HBS 5 tahun) di
Jakarta yang diselesaikannya pada 1910. Setelah mengantongi diploma HBS, WK
mulai merintis karier birokrasinya sebagai juru tulis di Tanjungsari,
Sumedang. Setahun kemudian ia menjadi mantri polisi di Cibadak, Sukabumi,
dan pada 1912 menjadi Asisten Wedana Cibeureum, Sukapura (Tasikmalaya). Pada
tahun itu pula WK diangkat menjadi Bupati Ci-anjur. Saat itu ia menjadi
bupati termuda di Hindia Belanda.

Seperti dikutip di awal, WK tak segan menolak kebijakan pemerintah yang
memberatkan rakyat. Ungkapan WK itu bukan sekadar lip service untuk tebar
pesona, melainkan benar-benar dilakukannya dengan segala risiko. Misalnya
dalam kasus kenaikan pajak penghasilan pengusaha pribumi yang tidak
proporsional pada 1925. WK menyampaikan keberatannya itu dalam sidang
volksraad. Menurutnya, kebijakan itu hanya membuat rakyat susah dan
menjadikan mereka antipati pada aturan-aturan pemerintah.

Satu hal penting lainnya yang pernah diperjuangkan WK adalah kedudukan ibu
kota Jawa Barat. Sebagaimana diketahui, pada 1925 pemerintah Hindia Belanda
membagi Pulau Jawa ke dalam tiga provinsi, bagian barat, tengah, dan timur.
Sebelumnya, pemerintah telah menjanjikan bahwa ibu kota Jawa Barat adalah
Bandung. Tetapi pada saatnya, ternyata ibu kota ditetapkan di kota pelabuhan
Batavia. WK berpidato panjang lebar dalam sidang volksraad, menjelaskan soal
arti penting Bandung bagi Jawa Barat dari berbagai aspek, termasuk sejarah
dan kebudayaan. Jika sekarang kita bangga Bandung sebagai ibu kota Jawa
Barat, kita patut berterima kasih kepada upaya yang telah dilakukan Dalem
Haji. Atas kegigihannya itu, pada 1926 WK diangkat sebagai anggota dewan
provinsi Jawa Barat.

*Jejak di Cianjur*

Semasa menjabat Bupati Cianjur, WK mencapai prestasi membanggakan, antara
lain menjadi kabupaten pertama yang mendapatkan otonomi (1917). Dalam pidato
menyambut otonomi itu, dengan bangga ia mengatakan, "Kitalah yang mula-mula
beroleh kepercayaan yang maha penting ini, kitalah yang mula-mula
dipercobakan akan menjalankan perintah dengan menurut pikiran sendiri, yakni
akan memajukan negeri dan memimpin rakyat kepada kemajuan dan kepada
kesentosaannya."

Selain itu, ia juga berhasil menumpas penyakit malaria yang melanda wilayah
Cianjur. WK mengubah rawa-rawa sarang nyamuk malaria menjadi persawahan yang
luas tak kurang dari 3.000 batu, sehingga membawa kemaslahatan bagi rakyat
yang kebanyakan hidup sebagai petani. Dalam prasasti di Cihea Cianjur
disebutkan, "Ku jasana Raden Tumenggung Wiranata Koesoema Bupati Cianjur
1912-1920, rawa reungit malaria ieu, diciptakeun jadi pasawahan upluk-aplak
hejo lemboh tur karaos hasilna keur rayat turun tumurun.

Jejak lain WK di Cianjur ialah dukungannya pada pendirian sekolah Kautamaan
Istri yang dikelola R. Siti Jenab. Sekolah ini menggabungkan kurikulum model
Dewi Sartika dan Lasminingrat. Sebelum itu, di Cianjur sudah ada Madrasah
Diniah Puteri Gedong Asem. Atas saran WK, lulusan madrasah diniah dapat
meneruskan ke sekolah Kautamaan Istri.

*Jejak di Bandung*

Prestasi WK sebagai Bupati Bandung sungguh tak berbilang. Dilihat dari model
kepemimpinannya, ia meletakkan dasar-dasar pemerintahan modern, tanpa
kehilangan fondasi budaya lokal. Di Bandung, berbagai obsesi WK akan
kemodernan budaya Sunda mendapatkan tempat dan dukungan. Misalnya pada 1921,
bertempat di halaman pendopo kabupaten, WK mensponsori pementasan tunil
"Lutung Kasarung".

Aspek sakral cerita ikut dirasakan penonton, seperti dituturkan wartawan Sri
Poestaka, "Akan kesucian riwayat itu nyata benar-benar pada bahagian 13,
pada waktu hendak memotong padi. Pada bagian itu, tatkala beberapa orang
dewa turun dari kayangan, membawa segala keperluan untuk memotong padi,
seorang-seorang berlutut dan menyembah dengan tertib dan saksama; kesunyian
lakon itu terasa meresap ke dalam tulang dan sumsum, menghentinkan napas dan
debar jantung. Orang yang beribu-ribu itu diam tidak berkata, sehingga di
komidi halaman itu sunyi dan sepi sekali rasanya. Inilah bagian permainan
Lutung Kasarung yang amat bagus sekali." (Sri Poestaka, 1921).

Sukses dengan penampilan tunil, WK juga mendukung penggarapan lakon itu ke
layar lebar. Ia bekerja sama dengan "raja bioskop" Bandung, F.A.A. Buse ikut
membiayai film bisu yang dibesut duet sutradara G. Krugers dan L.
Heuveldorp, di bawah NV Java Film Company. Film itu diputar pada 21 Desember
1926 - 6 Januari 1927 di bioskop Elita dan Majestik. Film itu dianggap
sebagai tonggak sejarah perfilman nasional. Konon, kopi film ini sampai
sekarang masih tersimpan baik di perpustakaan Leiden, Belanda.

Setelah kemerdekaan, WK menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada kabinet
RI yang pertama. Sebelumnya ia anggota BPUPKI dan PPKI. Pada saat ibu kota
pindah ke Yogyakata, WK ikut hijrah dan menjabat sebagai Ketua DPA yang
pertama. WK kemudian pulang ke Bandung untuk memenuhi kehendak mayoritas
warga Pasundan, yang menginginkan dirinya menjadi Wali Negara. Bung Karno
merestui langkah ini seraya berkata, "Langkung sae Akang bae tibatan urang
NICA anu jadi. Dalam konteks seperti itulah WK menerima kedudukan Wali
Negara Pasundan. Tak lama setelah Belanda menyerahkan kedaulatan, WK segera
membubarkan Negara Pasundan dan bergabung kembali menjadi bagian NKRI. Dan
Kangjeng Wali itu wafat pada 22 Januari 1965.

Sebagaimana kepada tokoh-tokoh penting lain, orang Sunda kiwari kurang
perhatian kepada jasa-jasa Dalem Haji. Sampai sekarang belum ada biografi
lengkap yang mengupas riwayat hidupnya secara komprehensif. Sejumlah kajian
yang dilakukan masih melihat riwayatnya secara parsial, seperti dalam Menak
Priangan (1998) karya Nina H. Lubis. Dalam bukunya, penulis lebih melihat
Dalem Haji dari sudut pandang pengelola koran Soerapati.

Jika mencermati buku Menak Priangan, khususnya pada halaman 288-289, kita
akan menemukan sosok WK yang jauh dari ideal sebagai seorang pemimpin.
Kesimpulan sejarawan Unpad itu bahkan bisa menimbulkan kebencian pembaca
kepada sosok WK. Perlu ada tanggapan dari pihak lain, misalnya dari keluarga
atas kesimpulan penulis Menak Priangan terhadap kepribadian WK itu. Jika
tidak, deskripsi sosok Dalem Haji seperti yang termaktub dalam buku tersebut
akan dianggap sebagai kebenaran yang niscaya. (iip d. yahya dari berbagai
sumber)**  *TANGGAL* 22 Januari 2009 yang baru lewat adalah hari wafat tokoh
besar Sunda abad XX, R.A.A. Wiranata Koesoema. Ia lebih dikenang publik
sebagai Dalem Haji atau Kangjeng Wali. Disebut Dalem Haji karena ia pernah
pergi haji ke Mekah dan mendapatkan Bintang Istiqlal Kelas Satu dari Raja
Hijaz (1924). Dinamakan Kangjeng Wali karena ia adalah Wali Negara Pasundan
pada era Negara Pasundan. Sebagai perwakilan republik yang lebih diinginkan
rakyat Pasundan, ia terpilih menjadi Wali Negara setelah mengalahkan calon
dari pihak Belanda, yaitu Lukman Djajadiningrat. Jauh sebelum itu, ia adalah
Bupati Cianjur (1912-20) dan Bupati Bandung (periode I 1920-31, periode II
1935-42).

Wiranata Koesoma (WK) lahir pada 8 Agustus 1888. Ia bernama kecil Moeharam.
Bagi penggemar utak-atik angka, 8-8-1888 adalah angka yang unik dan menarik
untuk ditafsirkan. Begitulah sosok WK di kemudian hari, banyak tafsir yang
bisa dilakukan untuk melihat kiprahnya. Sungguh sayang jika tokoh sebesar WK
terlewat begitu saja dalam penuturan sejarah Sunda modern. Sebab, ia adalah
tokoh yang unik, disegani pemerintahan Hindia Belanda sekaligus dicintai
rakyat Pasundan.

WK menduduki berbagai jabatan penting dalam kedudukannya sebagai pegawai
pemerintah. Selain menjadi anggota volksraad dalam beberapa periode, WK juga
pernah menduduki ketua organisasi para bupati "Sedio Utomo", juga Ketua
Perhimpunan Pangreh Praja Pribumi (PPBB). PPBB ini hingga 1932 memiliki
6.000 anggota di seluruh Hindia Belanda. Sebagai ketua, ia juga memimpin
media internal PPBB bernama Pemimpin yang bertiras 6.500 eksemplar.

Selain disegani pemerintahan Hindia Belanda, ia dicintai rakyat dalam arti
yang sesungguhnya. Setiap kepergian dan kedatangan WK dalam suatu perjalanan
selalu disambut rakyat banyak. Misalnya pada saat ia pergi dan pulang naik
haji. Atau saat dia akan pergi berkhotbah di Masjid Agung dan pulang kembali
ke pendopo, rakyat beriringan menyertainya. Bukti kecintaan lain ditunjukkan
saat WK akan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung. Begitu berita rencana
kepindahan itu menyebar, Syarikat Islam Cianjur berkirim surat kepada
Gubernur Jenderal agar WK tetap menjadi Bupati Cianjur.

Sementara itu, sejumlah organisasi di Bandung, seperti Pasundan, Budi Utomo,
Persatuan Guru Hindia Belanda, dan Persatuan Pegawai Staats Spoor meminta
Gubernur Jenderal agar segera memindahkan WK ke Bandung.

Tentu saja kecintaan rakyat sedemikian itu tidak menyenangkan kelompok
komunis yang meniscayakan adanya kelas dalam masyarakat. Melalui koran
Soerapati, para pegiat komunisme di Jawa Barat menghantam WK habis-habisan.
Mereka berupaya keras menjatuhkan harga diri dan kehormatan WK melalui
pemberitaan yang provokatif dan menggunakan bahasa sangat kasar.

WK dijadikan sebagai common enemy. Namun, WK menghadapi upaya insinuasi itu
dengan strategi "bermain layang-layang". WK tidak pernah melayani provokasi
kaum komunis dalam Soerapati. Ia seolah tak memedulikan mereka. Hasilnya,
pada 1926, ketika diperkirakan pemberontakan PKI akan meledak besar,
ternyata di Bandung upaya itu tidak disambut rakyat. Pemberitaan Soerapati
yang sangat kasar kepada WK justru menuai antipati rakyat pada gerakan itu.
Diam-diam, rupanya WK yang selalu rajin turun menemui rakyat secara
langsung, berhasil meredam upaya pemberontakan PKI.

*Awal karier*

WK menyelesaikan pendidikan dasar ELS di Bandung pada 1901. Setelah 3 tahun
sekolah di OSVIA Bandung, ia pindah ke Gymnasium Willem III (HBS 5 tahun) di
Jakarta yang diselesaikannya pada 1910. Setelah mengantongi diploma HBS, WK
mulai merintis karier birokrasinya sebagai juru tulis di Tanjungsari,
Sumedang. Setahun kemudian ia menjadi mantri polisi di Cibadak, Sukabumi,
dan pada 1912 menjadi Asisten Wedana Cibeureum, Sukapura (Tasikmalaya). Pada
tahun itu pula WK diangkat menjadi Bupati Ci-anjur. Saat itu ia menjadi
bupati termuda di Hindia Belanda.

Seperti dikutip di awal, WK tak segan menolak kebijakan pemerintah yang
memberatkan rakyat. Ungkapan WK itu bukan sekadar lip service untuk tebar
pesona, melainkan benar-benar dilakukannya dengan segala risiko. Misalnya
dalam kasus kenaikan pajak penghasilan pengusaha pribumi yang tidak
proporsional pada 1925. WK menyampaikan keberatannya itu dalam sidang
volksraad. Menurutnya, kebijakan itu hanya membuat rakyat susah dan
menjadikan mereka antipati pada aturan-aturan pemerintah.

Satu hal penting lainnya yang pernah diperjuangkan WK adalah kedudukan ibu
kota Jawa Barat. Sebagaimana diketahui, pada 1925 pemerintah Hindia Belanda
membagi Pulau Jawa ke dalam tiga provinsi, bagian barat, tengah, dan timur.
Sebelumnya, pemerintah telah menjanjikan bahwa ibu kota Jawa Barat adalah
Bandung. Tetapi pada saatnya, ternyata ibu kota ditetapkan di kota pelabuhan
Batavia. WK berpidato panjang lebar dalam sidang volksraad, menjelaskan soal
arti penting Bandung bagi Jawa Barat dari berbagai aspek, termasuk sejarah
dan kebudayaan. Jika sekarang kita bangga Bandung sebagai ibu kota Jawa
Barat, kita patut berterima kasih kepada upaya yang telah dilakukan Dalem
Haji. Atas kegigihannya itu, pada 1926 WK diangkat sebagai anggota dewan
provinsi Jawa Barat.

*Jejak di Cianjur*

Semasa menjabat Bupati Cianjur, WK mencapai prestasi membanggakan, antara
lain menjadi kabupaten pertama yang mendapatkan otonomi (1917). Dalam pidato
menyambut otonomi itu, dengan bangga ia mengatakan, "Kitalah yang mula-mula
beroleh kepercayaan yang maha penting ini, kitalah yang mula-mula
dipercobakan akan menjalankan perintah dengan menurut pikiran sendiri, yakni
akan memajukan negeri dan memimpin rakyat kepada kemajuan dan kepada
kesentosaannya."

Selain itu, ia juga berhasil menumpas penyakit malaria yang melanda wilayah
Cianjur. WK mengubah rawa-rawa sarang nyamuk malaria menjadi persawahan yang
luas tak kurang dari 3.000 batu, sehingga membawa kemaslahatan bagi rakyat
yang kebanyakan hidup sebagai petani. Dalam prasasti di Cihea Cianjur
disebutkan, "Ku jasana Raden Tumenggung Wiranata Koesoema Bupati Cianjur
1912-1920, rawa reungit malaria ieu, diciptakeun jadi pasawahan upluk-aplak
hejo lemboh tur karaos hasilna keur rayat turun tumurun.

Jejak lain WK di Cianjur ialah dukungannya pada pendirian sekolah Kautamaan
Istri yang dikelola R. Siti Jenab. Sekolah ini menggabungkan kurikulum model
Dewi Sartika dan Lasminingrat. Sebelum itu, di Cianjur sudah ada Madrasah
Diniah Puteri Gedong Asem. Atas saran WK, lulusan madrasah diniah dapat
meneruskan ke sekolah Kautamaan Istri.

*Jejak di Bandung*

Prestasi WK sebagai Bupati Bandung sungguh tak berbilang. Dilihat dari model
kepemimpinannya, ia meletakkan dasar-dasar pemerintahan modern, tanpa
kehilangan fondasi budaya lokal. Di Bandung, berbagai obsesi WK akan
kemodernan budaya Sunda mendapatkan tempat dan dukungan. Misalnya pada 1921,
bertempat di halaman pendopo kabupaten, WK mensponsori pementasan tunil
"Lutung Kasarung".

Aspek sakral cerita ikut dirasakan penonton, seperti dituturkan wartawan Sri
Poestaka, "Akan kesucian riwayat itu nyata benar-benar pada bahagian 13,
pada waktu hendak memotong padi. Pada bagian itu, tatkala beberapa orang
dewa turun dari kayangan, membawa segala keperluan untuk memotong padi,
seorang-seorang berlutut dan menyembah dengan tertib dan saksama; kesunyian
lakon itu terasa meresap ke dalam tulang dan sumsum, menghentinkan napas dan
debar jantung. Orang yang beribu-ribu itu diam tidak berkata, sehingga di
komidi halaman itu sunyi dan sepi sekali rasanya. Inilah bagian permainan
Lutung Kasarung yang amat bagus sekali." (Sri Poestaka, 1921).

Sukses dengan penampilan tunil, WK juga mendukung penggarapan lakon itu ke
layar lebar. Ia bekerja sama dengan "raja bioskop" Bandung, F.A.A. Buse ikut
membiayai film bisu yang dibesut duet sutradara G. Krugers dan L.
Heuveldorp, di bawah NV Java Film Company. Film itu diputar pada 21 Desember
1926 - 6 Januari 1927 di bioskop Elita dan Majestik. Film itu dianggap
sebagai tonggak sejarah perfilman nasional. Konon, kopi film ini sampai
sekarang masih tersimpan baik di perpustakaan Leiden, Belanda.

Setelah kemerdekaan, WK menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada kabinet
RI yang pertama. Sebelumnya ia anggota BPUPKI dan PPKI. Pada saat ibu kota
pindah ke Yogyakata, WK ikut hijrah dan menjabat sebagai Ketua DPA yang
pertama. WK kemudian pulang ke Bandung untuk memenuhi kehendak mayoritas
warga Pasundan, yang menginginkan dirinya menjadi Wali Negara. Bung Karno
merestui langkah ini seraya berkata, "Langkung sae Akang bae tibatan urang
NICA anu jadi. Dalam konteks seperti itulah WK menerima kedudukan Wali
Negara Pasundan. Tak lama setelah Belanda menyerahkan kedaulatan, WK segera
membubarkan Negara Pasundan dan bergabung kembali menjadi bagian NKRI. Dan
Kangjeng Wali itu wafat pada 22 Januari 1965.

Sebagaimana kepada tokoh-tokoh penting lain, orang Sunda kiwari kurang
perhatian kepada jasa-jasa Dalem Haji. Sampai sekarang belum ada biografi
lengkap yang mengupas riwayat hidupnya secara komprehensif. Sejumlah kajian
yang dilakukan masih melihat riwayatnya secara parsial, seperti dalam Menak
Priangan (1998) karya Nina H. Lubis. Dalam bukunya, penulis lebih melihat
Dalem Haji dari sudut pandang pengelola koran Soerapati.

Jika mencermati buku Menak Priangan, khususnya pada halaman 288-289, kita
akan menemukan sosok WK yang jauh dari ideal sebagai seorang pemimpin.
Kesimpulan sejarawan Unpad itu bahkan bisa menimbulkan kebencian pembaca
kepada sosok WK. Perlu ada tanggapan dari pihak lain, misalnya dari keluarga
atas kesimpulan penulis Menak Priangan terhadap kepribadian WK itu. Jika
tidak, deskripsi sosok Dalem Haji seperti yang termaktub dalam buku tersebut
akan dianggap sebagai kebenaran yang niscaya. (iip d. yahya dari berbagai
sumber)**
http://klik-galamedia.com/indexedisi.php?id=20090201&wartakode=20090201131755

-- 
sikandar
kumincir.blogspot.com
su.wikipedia.org
www.urangsunda.or.id

Kirim email ke