Ieu mendak seratan kang Gibson tina facebook ngeunaan HHM deui. Mangga, 
nyanggakeun.

AG
http://naskah-sunda.blogspot.com

Forum Budaya

KH Mustofa: Jejak Akhir Relasi Budaya Lokal dan Pesantren

Sabtu, 28 Maret 2009 | 11:27 WIB



Oleh Ahmad Gibson Al-Bustomi



Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab; jadi kaula nyundakeun Arab
nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab (Hasan Mustapa,
Qur'anul Adhimi).



Relasi kebudayaan Sunda dan Islam telah cukup lama menjadi pembicaraan,
khususnya di kalangan akademisi, baik dari sisi historis maupun kajian
budaya. Keakraban antara dunia pesantren dan kebudayaan Sunda di
antaranya ditandai dengan banyaknya nadoman dan pupujian berbahasa
Sunda dan biasa dilantunkan di pesantren atau majelis taklim di masjid.



Di antara sejumlah karya seni yang mengindikasikan adanya relasi antara
tradisi pesantren dan tradisi lokal Sunda dalam kadar cukup kental
adalah karya dangding (puisi) KH Hasan Mustapa (HHM), tokoh yang kedua
kakinya sangat kokoh menapak di wilayah tradisi pesantren-Islam dan
kebudayaan lokal Sunda.



Sosok HHM, baik sebagai tokoh agama (kiai) maupun tokoh budaya, berada
di persimpangan. Ia hadir sebagai sosok dari tokoh misterius. Sebagai
bujangga, seperti dikatakan Hawe Setiawan, apa pun peran dan posisi HHM
dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, yang jelas karya sastranya
sangat luar biasa dan sampai sekarang sulit dicari tandingannya di
Tatar Sunda.



Dengan kata lain, posisi HHM dalam khazanah sastra lokal Sunda tidak
diragukan dan tidak ada yang meragukannya, baik dari sisi kualitas
maupun kuantitas. Siapa di antara budayawan Sunda, bahkan mungkin
nasional, yang memiliki produktivitas di atas 10.000 dangding? Hal itu
tidak hanya menyangkut jumlah, tetapi juga kualitas karya sastranya.



Meski demikian, ada misteri besar berkenaan dengan ketokohan HHM baik
sebagai bujangga (sastrawan) maupun elite agama. Kebesaran nama dan
karyanya tidak sebesar pengenalan masyarakat agama dan
budayawan-sastrawan lokal terhadap karya-karya besarnya.



Misteri tidak populernya pemikiran dan ketokohan HHM dalam bidang
pemikiran keagamaan di kalangan pesantren sebenarnya masih bisa
dimengerti. Sebab, wilayah pemikiran keagamaan HHM mengindikasikan
faham sufistik (wujudiah) yang dengan tegas ditolak banyak komunitas
pesantren dan komunitas agama lain, khususnya dari kalangan pembaru.



Budayawan



Lalu, bagaimana dari kalangan budayawan? Sejauh mana sebenarnya
budayawan lokal Sunda mengenal HHM sebagai bujangga? Selain itu,
seberapa sering dan komunitas budaya lokal Sunda mana yang sering
mementaskan karya besar HHM? Kalau ada, dangding yang mana yang biasa
dan sering dipentaskan? Rasanya sangat langka, untuk tidak mengatakan
tidak pernah ada, komunitas budaya lokal yang pernah dan biasa
mementaskan karya-karya besar HHM, kecuali kalangan sangat terbatas
serta secara spesifik membicarakan dan mengupas karya dan ketokohan HHM.



Hal itu masih sangat jarang dilakukan. Bahkan hal itu juga tidak
menjadi salah satu pokok bahasan dalam materi pengajaran bahasa dan
kebudayaan Sunda di sekolah-sekolah Tatar Sunda.



Konon kesulitan terbesar dari kalangan budayawan dalam mengapresiasi
karya-karya HHM justru disebabkan karya tersebut sarat dengan pemikiran
dan petuah religius (sufistik) yang sangat sulit dipahami dan
dimengerti.



Asumsi dan argumen ini secara tidak langsung mengindikasikan
renggangnya relasi budaya lokal dengan pesantren serta terjadinya
proses pewarisan budaya di kalangan komunitas budaya yang tidak
lengkap, hanya mengedepankan aspek permukaan (artistik) dari karya
budaya pendahulunya, dan mengesampingkan makna serta piwuruk yang
terkandung dalam karya mereka.



Karya HHM, bila kita simak, merupakan salah satu jembatan besar yang
menghubungkan tradisi pemikiran pesantren dengan kebudayaan lokal
Sunda. Namun, ketika karya HHM tersebut telah sekian lama, bahkan
sampai kini, tidak cukup dikenal dan tidak disentuh kedua belah pihak,
kita harus menyebut bahwa karya HHM telah menjadi prasasti dari jejak
akhir relasi budaya lokal Sunda dan pesantren.



Jejak awalnya konon sejak awal ditanamkan secara kuat oleh pionir
penyebar Islam di Tatar Sunda yang telah melahirkan ragam budaya lokal
yang sangat kaya dan monumental. Dengan demikian, dari sisi apa pun HHM
tak lebih dari sekadar tokoh legenda Tatar Sunda atau bahkan tokoh
mitologis.



Keindahan karya dangding HHM memang tidak terletak pada penggunaan
kata-kata yang puitis, tetapi pada keindahan dan kepiawaian penggunaan
logika. Hawe Setiawan menyebutkan, penggunaan ungkapan paradoks HMM-lah
yang membuat karya puisinya demikian luar biasa di samping
kepiawaiannya dalam menciptakan diksi-diksi baru.



Diksi-diksi yang diambil dari term dan bahasa Arab, atau lebih tepat
term keagamaan Islam, yang menjadi bagian dari "tradisi" kepesantrenan,
dimodifikasi dan disesuaikan dengan pola pelafalan lidah masyarakat dan
bahasa Sunda.



Jembatan dua tradisi



Apa yang diupayakan HHM dalam menjembatani tradisi lokal dan tradisi
pesantren sebagai ikon tradisi keagamaan dan pemikiran Islam, dari sisi
pemikiran, secara substansial telah berhasil. HHM mampu meramu dan
mendialogkan kedua sistem nilai tersebut dengan cara yang HHM katakan,
"Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab; jadi kaula nyundakeun Arab
nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab." Namun, secara
sosiokultural itu telah gagal. Jangankan menjembatani kedua komunitas
tersebut, bahkan namanya sendiri semakin lama semakin tenggelam dari
sejarah ingatan masyarakat Sunda, baik kalangan pesantren maupun
budayawan.



Jangan-jangan masyarakat Sunda dan komunitas pesantren di Tatar Sunda
sendiri tidak berhasil, bahkan tidak peduli, dengan upaya
"rekonsiliasi" serta upaya menjembatani budaya lokal Sunda dan tradisi
pesantren. Jadi, apa yang HHM lakukan pun tidak pernah mendapatkan
perhatian dan sambutan yang layak serta dianggap angin lalu.



Sejumlah komunitas dan perseorangan secara serius mengungkapkan dan
menyosialisasikan karya-karya HHM. Namun, sampai sekarang, alih-alih
dijadikan media yang menyambung kembali relasi pesantren dengan budaya
lokal Sunda, sekadar mengangkat dan menjadikan karya HHM sebagai karya
yang layak dipentaskan dan diapresiasi publik pun belum bisa disebut
berhasil.



Belum berhasil tentu bukan berarti tidak berhasil karena mungkin upaya
yang dilakukan masih pada tahap pengenalan ulang terhadap karya
besarnya. Hal ini bisa dimaklumi karena memang karya-karya HHM bukan
sekadar karya seni pintonan panglipur lara, melainkan karya yang sarat
dengan pangwuruk dan penyintreuk yang tidak bisa dinikmati, disimak,
dan disajikan sambil lalu.



AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI Dosen Filafat dan Teologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung





http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/28/11270064/kh.mustofa.jejak.akhir.relasi.budaya.lokal.dan.pesantren


      

Kirim email ke