sapamendak abdi anu tos hampir 20 tahun linggih di tatar betawi, hartosna setu 
mah situ, sanes saptu...hatur nuhun.

--- Pada Jum, 3/4/09, Kang Iman <firman.raha...@urang-sunda.or.id> menulis:


Dari: Kang Iman <firman.raha...@urang-sunda.or.id>
Topik: Re: Bls: [Urang Sunda] Jacok Klaim "Pasar Sunda Nguyang ti Jawa"?
Kepada: urangsunda@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 3 April, 2009, 4:12 AM






Aya Kang (baheulana mah), kuring nyaho teh tina acara "jalan-jalan jakarta"
Ngan teuing dimana horeng eta tempat teh (dina acara mah disebutkeun)
tapi kuring teu inget
soalna teu dipake jadi ngaran tempat
jeung deuih lamun pasar saptu teh, disebutna pasar setu
da setu hartina teh saptu








2009/4/3 yayan sopyan <yayan_sopyan68@ yahoo.com>










tapi kunaon di jakarta teu aya pasar selasa jeung pasar sabtu? aya naon jeung 
dua poe ieu? mungkin dikatagorikeun poe sial, tong dieusi kagiatan jual beuli? 
saha nu terang?

--- Pada Jum, 3/4/09, mh <khs...@gmail. com> menulis:


Dari: mh <khs...@gmail. com>
Topik: [Urang Sunda] Jacok Klaim "Pasar Sunda Nguyang ti Jawa"?
Kepada: "Ki Sunda" <kisu...@yahoogroups .com>, "Baraya Sunda" <baraya_sunda@ 
yahoogroups. com>, "Urang Sunda" <urangsu...@yahoogro ups.com>
Tanggal: Jumat, 3 April, 2009, 12:00 AM




Pasar Tradisi
Pada Mulanya bukan Sekadar Pasar

KERAMAIAN itu tercipta dini hari dan, segera saja, menimbulkan
kemacetan di Desa Rancapanggung, Kec. Cililin, Kab. Bandung Barat.
Jalan yang tak begitu besar penuh sesak oleh orang dan kendaraan.
Anehnya, sama sekali tak ada sumpah serapah di sana. Semua orang
begitu enjoy, sama sekali tak terganggu. Menjelang siang, keramaian
terurai berubah lengang.

Ya, begitulah suasana Rancapanggung setiap Rabu, setiap hari pasar. Di
luar itu, suasana desa begitu sepi karena keramaian bersimpul di lain
tempat.

Sejak dulu, masyarakat di (eks) Kewedanaan Cililin memberlakukan pasar
yang setiap hari berpindah, dari lokasi satu ke lokasi yang lain.
Uniknya, keadaan itu berlangsung sampai kini. "Memang sih ada beberapa
pasar yang kemudian dibuat tiap hari. Contohnya, Pasar Batujajar, dulu
kan cuma buka pada hari Jumat dan Senin. Lalu, Pasar Tagog Padalarang,
dulu cuma hari Sabtu. Sekarang, kedua pasar itu sudah dibuka setiap
hari," ungkap pengamat pasar di Kab. Bandung Barat Deden Saeful Anwar
(32).

Sesungguhnya, beberapa wilayah lain di Provinsi Jawa Barat, dulu, juga
memberlakukan itu. Tetapi, banyak lokasi di wilayah lain itu justru
sudah menjadi kawasan. Pasar Jumat di Purwakarta, misalnya, kini telah
menjadi pusat kota.

DKI Jakarta pun sebenarnya sempat memberlakukan pasar bergiliran
seperti itu. Tetapi, kini, kawasan-kawasan pasar itu sudah tinggal
nama, seperti Pasar Minggu, Pasar Senen, dan seterusnya.

Tak hanya Pulau Jawa, pasar bergiliran juga terdapat di sejumlah
daerah di Sumatra. Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, memiliki pasar
bergilir yang diistilahkan sebagai uroe gantoe. Lalu, masyarakat di
pedalaman Sumatra Selatan menamakan pasar jenis ini sebagai kalangan.

**

LANTAS, dari mana semua itu bermula? Budayawan Jakob Sumardjo
mengungkapkan, pasar bergilir itu, sebenarnya, berasal Jawa (Tengah).
Masyarakat Jawa --yang berkebudayaan sawah-- sangat membutuhkan pasar.
Sebab, mereka memproduksi sejumlah komoditas dalam jumlah besar
sehingga perlu dijual ke luar kampung. "Sebaliknya, orang Sunda --yang
berkebudayaan ladang-- tidak mengenal pasar. Soalnya, mereka sudah
bisa memenuhi kebutuhan sendiri, melalui leuit," ungkap budayawan
Jakob Sumardjo, Jumat (27/3).

Dalam hal ini, kata dia, masyarakat Jawa menggunakan macapat kalima
pancer, konsep yang berlaku di seluruh aspek kehidupan mereka. "Jadi,
tidak hanya pasar, dalam membangun rumah atau pendopo pun, misalnya,
mereka menggunakan konsep itu. "Harus terdiri atas empat tiang. Tiang
kelima, yang seharusnya berada di tengah-tengah, ditiadakan. Itu
sengaja dibuat demikian. Sebab, anggapan orang Jawa, pusat merupakan
puncak dari segala-galanya. Tetapi, simbolnya terlihat dari puncak
rumah atau pendopo yang lebih tinggi daripada bagian atap yang lain,"
katanya.

Karena menggunakan konsep itu, tak heran jika kegiatan pasar
diselenggarakan di lima kampung berbeda, setiap harinya, sesuai hari
pasaran. Pasar Kliwon digelar di kampung pusat, Pon (kampung di
utara), Legi ( kampung di selatan), Wage (kampung di timur), dan
Pahing (kampung di barat). "Konsep pasar berpindah ini, sebenarnya,
bertujuan untuk pemerataan saja. Ya, agar setiap kampung di wilayah
itu mendapat giliran," katanya.

Pakar Ekonomi Universitas Padjadjaran Ina Primiana menilai, dari sudut
ilmu ekonomi, sebenarnya pasar bergilir itu tak ada bedanya dengan
pasar menetap. Artinya, jumlah uang yang dikeluarkan oleh pembeli
(juga yang akan diperoleh penjual) sama saja. "Namun, biasanya, hari
pasar itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Selain itu, kalau
di luar negeri, komoditas yang dijual memiliki ciri khas tertentu.
Jadi, ada kreativitas di sana. Orang (yang bermaksud berdagang) akan
berlomba-lomba membuat sesuatu yang bisa habis, nanti, pas hari pasar.
Dia memiliki banyak waktu sehingga kualitas bisa terjamin," ujarnya.

Itulah pula yang berlaku pada pasar bergilir dalam konsep Jawa. Setiap
pasar memiliki keunikan tersendiri. Apalagi, setiap hari pasaran
mewakili warna tertentu. Pon mewakili warna hitam, Legi (merah), Wage
(putih), dan Pahing (kuning). Sementara Kliwon, sebagai pusat,
mewakili semua warna. "Makanya, buah-buahan berwarna hitam, seperti
manggis, hanya boleh dijual di Pasar Pon. Kalau rambutan hanya boleh
dijual di Pasar Legi. Demikian seterusnya. Nah, sementara Pasar Kliwon
bisa menampung seluruh komoditas," katanya.

**

KONSEP macapat kalima pancer itu kemudian ditularkan --salah satunya--
ke masyarakat Sunda. Padahal, sebelumnya, orang Sunda sudah mengenal
konsep tritangtu. Dalam hal ini, masyarakat Sunda "hanya" mengenal
tiga kampung: kabuyutan (berada paling dalam), nagara (tengah), dan
syara (berada di luar). Masyarakat ketiga kampung ini saling
berhubungan. "Itu tadi, mereka tak mengenal pasar seperti di Jawa.
Kendati demikian, ada juga subkomunitas yang aktif berhubungan dengan
orang luar, termasuk jual beli. Ya, itu... orang kampung syara.
Masyarakat kampung kabuyutan dan nagara ’membeli’ barang-barang dari
masyarakat kampung syara," katanya.

**

SEIRING perkembangan zaman, konsep pasar itu sekarang tinggal
kenangan. Padahal, banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari
keberadaan konsep pasar semacam itu. "Salah satunya menyambungkan
silaturahmi, " ujar H. Abdurrahman (48), tokoh masyarakat Desa
Rancapanggung, "Nya indung budak we ieu mah. Pas ameng ka pasar anu
rada tebih, tiasa papendak sareng dulurna. Padahal, eta teh tos
mangtaun-taun teu papendak. Ah, tos carang nganjang we lah".

Satu hal lagi, pasar bergilir kerap menjadi pusat informasi buat
warga. Informasi penting bisa dengan segera tersebar dari mulut ke
mulut. "Ini tentu memudahkan aparat jika, misalnya, ada kebijakan yang
harus diinformasikan kepada warganya. Begitu pula kalau ada informasi
warga yang meninggal dunia dan sebagainya. Jadi, dulu, pasar itu tak
sekadar pasar," katanya. (Hazmirullah/ "PR")***

cite: http://newspaper. pikiran-rakyat. com/prprint. php?mib=beritade 
tail&id=67673



Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang! 

















      Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

Kirim email ke