Sekilas Sejarah Sunda

Berdasarkan data dan penelitian
arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak
lama sebelum Tarikh Masehi. Situs purbakala di Ciampe’a (Bogor), Klapa
Dua (Jakarta), dataran tinggi Bandung dan Cangkuang (Garut) memberi bukti dan
informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat
yang memiliki sistem kepercayaan, organisasi sosial, sistem mata pencaharian,
pola pemukiman, dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat
manusia betapapun sederhananya. 

Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada pertengahan abad ke-5 seiring
dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat
pada batu dengan menggunakan Bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa.
Prasasti-prasasti itu yang ditemukan di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang
dibuat pada zaman Kerajaan Tarumanagara dengan salah seorang rajanya bernama
Purnawarman dan ibukotanya terletak di daerah Bekasi sekarang. Pada masa itu
sampai abad ke-7, sistem kerajaan sebagai merupakan pemerintahan, Agama Hindu
sebagai agama resmi negara, sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial,
dan hubungan antar negara telah mulai terwujud, walaupun masih dalam tahap awal
dan terbatas. 

Sriwijaya di Sumatera, India dan Cina merupakan negeri luar yang menjalin
hubungan dengan kerajaan Tarumanagara, tetapi kebudayaan Hindu dari India yang
dominan dan berpengaruh di sini. Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru
muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanagara. 
Pusat kerajaannya berada di sekitar Bogor sekarang. 

Paling tidak, ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda sebagai nama
kerajaan. Pertama, dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi); kedua, beberapa buah
berita orang Portugis (1513,1522,1527); dan ketiga, beberapa buah naskah lama
(Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kanda’ng Karesian). Ibu kota Kerajaan
Sunda dinamai Pakuan Pajajaran. 

Dalam tradisi lisan dan naskah sesudah abad ke-17, Pakuan biasa disebut
untuk nama ibukota, sedangkan Pajajaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan 
ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuhnya sekitar tahun 1579.
Pernah mengalami masa kejayaan yang antara lain ditandai dengan luas wilayah
yang meliputi seluruh Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan
stabil, hubungan dengan dunia luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan
baik. Dikenal ada dua raja termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala Wastukancana
dan Sri Baduga Maharaja). Ibukotanya pernah berada di Kawali, Galuh. Pada masa
pemerintahan Prabu Maharaja (1350-1352) terjadi konflik dengan Majapahit,
karena masalah pernikahan puteri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Pada
masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) dan puteranya, Prabu
Surawisesa, (1521-1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara
kerajaan Pajajaran dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. 

Dari kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang banyak sehingga bisa diekspor.
Kota pelabuhan yang besar antara lain Banten,
Kalapa (Jakarta sekarang), dan Cirebon. Sistem ladang merupakan cara bertani
rakyatnya. Ada jalan raya darat yang menghubungkan ibukota kerajaan dengan
Banten di sebelah barat, Kalapa disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh di
sebelah timur. Dari daerah pedalaman ke pesisir utara dihubungkan dengan jalur
lalulintas sungai dan jalan menyusuri pantai. 

Para pedagang Islam sudah berdatangan ke kota-kota pelabuhan Kerajaan Sunda
untuk berdagang dan memperkenalkan agama Islam. Lama kelamaan para pedagang
Islam bermukim di kota-kota pelabuhan Sunda, terutama di Banten, Karawang, dan
Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang mengnanut Agama Islam. Bberkat
dukungan Kesultanan Demak, berdirilah kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten
yang dalam perkembangan selanjutnya mendesak kekuasaan Kerajaan Sunda sampai
akhirnya menumbangkannya sama sekali (1579). Sementara di daerah pesisir
berkembang kekuasaan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan di
daerah pedalaman muncul kabupaten-kabupaten yang masing-masing berdiri sendiri,
yaitu: Sumedang, Galuh, Sukapura, Limbangan, Parakanmuncang, Bandung,
Batulayang, dan Cianjur. 

Periode selanjutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda mengalami babak baru,
karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan Kompeni
Belanda (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan
Mataram (sejak 1625). Secara perlahan-lahan tetapi pasti akhirnya seluruh Tanah
Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19), karena itu
mulailah zaman kekuasaan kolonial Hindia Belanda. 

Pada masa ini masyarakat dan Tanah Sunda dieksploitasi oleh kaum kolonial,
mula-mula dengan menggunakan cara penyerahan wajib hasil bumi tanaman ekspor
(lada, nila, kopi) dan kerja paksa (rodi) yang dikenal dengan sebutan Sistem
Priangan (Preanger Stelsel); kemudian sejak tahun 1871 melalui cara penanaman
modal swasta dengan membuka macam-macam perkebunan (teh,karet,kina),
perdagangan, industri, pelayaran, pertambangan, dan lain-lain yang tenaga
kerjanya (tenaga kerja murah ) diambil dari masyarakat pribumi; model
eksploitasi ini dikenal dengan sebutan Sistem Imprealisme. 

Tanah Sunda yang subur dan orang-orangnya yang rajin bekerja menjadikan
pengeksploitasian tersebut sangat menguntungkan penguasa kolonial sehingga
membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal di sini dan yang
berada di tanah leluhur mereka (Belanda). Sebaliknya rakyat pribumi tidak
mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan
banyak yang hidupnya menderita; kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat
dan bekerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum Menak. 

Pada sisi lain masuknya penjajahan itu menimbulkan ketidakpuasan dan bahkan
penentangan sebagian masyarakat. Dibawah beberapa orang pemimpinnya timbullah
serangkaian perlawanan dan pemberontakan rakyat, seperti, yang dipimpin oleh
Dipati Ukur di Priangan (1628-1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran
Purbaya di Banten (1659-1683), Prawatasari di Priangan (1705-1708), Kiai Tapa
dan Bagus Buang di Banten (1750-1752), Bagus Rangin (1802-1818) Kiai Hasan
Maulani di Kuningan (1842), Kiai Washid di Banten (1888), Kiai Hasan Arif di
Garut (1918). 

Ketidakpuasan masyarakat terus berlanjut, walaupun penguasa kolonial
mengupayakan perbaikan kehidupan masyarakat melalui program pendidikan,
pertanian, perkreditan, dan juga menerapkan sistem otonomi bagi pemerintahan
pribumi. Sejak awal abad ke-20 muncul gerakan penentang sosial dan organisasi 
politik
seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Paguyuban Pasundan dan Partai Nasional
Indonesia. 

Melalui pendudukan Militer Jepang (1942-1945) yang menumbangkan kekuasaan
kolonial Hindia Belanda (menyerah di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942) dan
menumbuhkan keberanian di kalangan orang pribumi untuk melawan kekuasaan asing
dan memberi bekal ketrampilan berperang; pada tahun 1945 masyarakat Sunda,
umumnya masyarakat Indonesia, berhasil mencapai dan mempertahankan kemerdekaan.
Sejak itu masyarakat dan tanah Sunda berada dalam
lingkungan negara Republik Indonesia. 

Seiring bergulirnya perobahan sistem pemerintahan yang tadinya
unitaristik-sentralistik menjadi otonomi-desentralistik, maka kini saatnyalah
bagi Masyarakat Sunda untuk membuktikan kesungguhan perjuangannya dalam
mewujudkan Tatar Sunda anu Tata-Tengtrem Karta Harja sebagai kontribusi Ki
Sunda kepada negara Republik Indonesia. 

Kenyataan lain, yaitu pemekaran Propinsi Jawa Barat dengan terbentuknya
Propinsi Banten. Walau demikian tetap saja kedua propinsi itu masih dalam
ikatan Tatar Sunda. Untuk terjalinnya ikatan batin yang kuat perlu ditumbuhkan
antara lain melalui kesadaran atas adanya kesamaan Religi (dalam hal mayoritas
Urang Sunda beragama Islam). Selain itu harus adanya kesadaran akan nilai-nilai
pandangan hidup yang Nyunda, kesadaran akan alur sejarah Sunda yang tidak
terputus serta kesadaran untuk memelihara Bahasa Sunda dan bahasa dialek
setempat agar tetap digunakan di setiap keluarga Sunda. 

Buku tentang Sejarah Sunda yang lebih rinci bisa disimak antara lain
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. 4 jilid - Proyek Penerbitan
Sejarah Jawa Barat Pemda Tk I Jabar, 1983-1984. 

Sumber: Ensiklopedi Sunda - Pustaka Jaya.
Dan beberapa catatan lainnya**sundanet.com** 

Nad,
April – 04/2009 

   



"Dengan ILMU hidup menjadi MUDAH, dengan IMAN hidup menjadi TERARAH dengan SENI 
hidup menjadi INDAH"   TULISLAH WALAU HANYA SATU KATA  JIKA ITU BERMANFAAT BAGI 
SESAMA  Semoga Bermanfaat. 
           Salam      Utju Ali Basya     Hp:+6281377273456    


--- On Fri, 4/3/09, wahyu spl <wahyu...@yahoo.com> wrote:

From: wahyu spl <wahyu...@yahoo.com>
Subject: Re: [Urang Sunda] Halo Halo Bandung
To: urangsunda@yahoogroups.com
Date: Friday, April 3, 2009, 10:46 PM











    
            Pha kiban kang arif ?
tos keuna ku asam sunti ...
Kang arif , salam ka wartawan senior serambi  bang Nasir Jamil 





From: nia surniasari <niasurniasari@ yahoo.com>
To: urangsu...@yahoogro ups.com
Sent: Friday, April 3, 2009 6:14:05 PM
Subject: Re: [Urang Sunda] Halo Halo Bandung





Kang Arif,
Punten atuh judul buku na teh naon nya ?
Sareng anu ngarang na teh saha ?
 
Hatur nuhun,





From: arif ramdlan <riframadlans@ yahoo.com>
To: urangsu...@yahoogro ups.com
Sent: Thursday, April 2, 2009 6:51:37 PM
Subject: Re: [Urang Sunda] Halo Halo Bandung







akang akang wajib baca buku Aceh di Mata Urang SUnda..
geus terbit tuh bukuna... heh eehehe
ceuk saya bener urang kudu boga Provinsi ngarana Priangan...
saya geus lila gogorokan soal eta,..
eh kadong disaleungseurikan. .

Sunda itu sanes Jawa, 
jawa oge sanes Sunda...
kumaha tah? erek anggeur wae ngaran Jawa Barat?

Hudang!!!!

Arif Ramdan


--- On Thu, 4/2/09, Awan Gunawan <sirawing_peageers@ yahoo.com> wrote:


From: Awan Gunawan <sirawing_peageers@ yahoo.com>
Subject: [Urang Sunda] Halo Halo Bandung
To: urangsu...@yahoogro ups.com
Date: Thursday, April 2, 2009, 3:19 AM





Sampurasun Baraya sadaya,
kumaha daramang?

Tos lami si kuring tara kutrak ketrok dinu kibod.
Ayena jadi hoyong lalaguan, judulna teh Halo-halo Bandung,
ceuk cenah mah jieunan Ismail Marzuki, tapi duka teuing.

Yu, babarengan,
hiji. dua.. tilu...

-=-
Halo Halo Bandung
Ibu kota Priangan
Halo Halo Bandung
Kota kenang-kenangan
Sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau
Sekarang sudah menjadi lautan api
Mari Bung rebut kembali
-=-

Tuh tinggali, Bandung teh ibu kota Priangan, lain ibu kota Jawa Barat.
Tuh tinggali, geus ti saprak lila jelema nu ti jauh oge nyahoo ngeunaan eta 
perkara.
Nu matak, mun ek ngarobah ngaran jadi Provinsi Priangan, geus sapatutna, eta 
mah hak urang, geus puguh loba jelema nu geus nyahoo.

Ayeuna Bandung geus panas, geus rumeuk, geus heurin ku tangtung.
Ceuk cenah,
 Bandung bakal mulang deui jadi danao lamun Bandung geus heurin ku tangtung.

Kumaha atuh? Duka teuing...

Hayu urang hudang...
Hayu urang bergerak...
Hayu urang rebut deui...

Atawa,

Antep sina titeuleum deui, jadi danao deui,
sahingga jaga, Priangan jeung eta Ibu kotana ngan ukur jadi kenangan wungkul.


Cag ah,
Si Rawing








      
 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke