[TRIVIA]

Mata Staedtler 0.3
------------------
--Anwar Holid

Pada Rabu, 29 April 2009, di buku jurnalku hari ini aku menulis begini:

Aku menulis ini dengan rapido Staedtler 0.3 seri Marsmatic. Matanya aku beli 
barusan dari Baca-Baca Bookmart, Sabuga. Kalau nggak salah aku terakhir kali 
pakai Staedtler pada 2007, waktu Deden tak sengaja menjatuhkan rapidoku dan 
membuat jarumnya patah. Sejak itulah rapido legendarisku pensiun. Setelah itu 
aku minta pada Bagas Rotring 0.2-nya yang kelihatan tersia-siakan dan nganggur. 
Dia beri rapido itu, dan aku membersihkannya. Itulah yang aku pakai selama ini 
untuk mencatat dan menulis banyak hal.

Sebenarnya aku lebih suka 0.2, tapi karena tulisanku sudah kecil, justru 0.3 
menolong membuat tulisanku jadi lebih terlihat dan terbaca. Aku ingat punya 
Staedtler 0.3 itu sejak SMA, beli di Cihapit, dan aku pakai terus-menerus, 
untuk menulis diari, surat, draft, jurnal, corat-coret, dan sebagainya, sampai 
akhirnya patah. Alangkah lama kesetiaanku pada sebuah alat tulisan.

Dibanding-banding, aku lebih suka Rotring daripada Staedtler. Bentuk Rotring 
lebih ramping dan ringan, sementara Staedtler gempal dan berat. Kelebihan 
Staedtler ia lebih mudah ditutup-buka, terutama bila akan dibersihkan--dan 
harganya lebih murah dari Rotring. 

Aku pertama kali suka rapido waktu lihat saudaraku yang sudah mahasiswa 
menggunakannya untuk mengerjakan tugas dan hitung-hitungan rumus kimia dan 
biologi atau catatan lain. Tulisannya jadi kelihatan rapi dan enak dilihat. Ini 
tentu efek dari jarum dan tintanya yang amat tajam. Tinta cina Rotring atau 
Staedtler memang sangat hitam dan tak luntur. Sejak itu aku suka 
mencoba-cobanya, lama-lama ingin punya. Harga rapido memang relatif lebih mahal 
dari pulpen biasa, meski jelas ada banyak alat tulis yang jauh lebih mahal dari 
rapido. Baru ketika di SMA aku punya kesempatan beli rapido second setelah 
nabung beberapa lama dari menyisakan uang jajan. Gara-gara pakai rapido, ada 
saja orang yang nyangka bahwa aku anak arsitektur. Memang sulit melepaskan 
prasangka umum.

Mata Staedtler 0.3 yang aku beli ini benar-benar mengejutkan: harganya Rp.10 
ribu! Jelas karena ini barang lama, meski aku yakin bukan second, karena 
kelihatan masih mengkilap. Yang baru, terakhir aku cek di toko ATK di Balubur, 
harganya Rp.50 ribu-an. Begitu lihat, aku langsung sulit menahan diri untuk tak 
membelinya. Seakan-akan tak percaya menyaksikan mata rapido dijual semurah itu.

Ceritanya mulai hari ini Baca-Baca Bookmart bikin garage sale bersamaan dengan 
pembukaan Kompas-Gramedia Fair 09 di Sabuga. Di antara majalah dan buku bekas, 
sepatu, rajutan, kaset, kriya, botol minuman keras, topi, cd, vcd, bahkan pupuk 
cair, aku lihat tumpukan mata rapido Staedtler berbagai ukuran, semua dengan 
harga Rp.10 ribu. Langsung aku ingat badan rapido 0.3 yang aku simpan di kardus 
setelah cedera parah itu. Aku simpan siapa tahu bisa beli matanya suatu ketika.

Ternyata inilah harinya. Hari ketika aku rutin mengantar Ilalang main jembe di 
Jendela Ide, Sabuga. Biasanya, aku nunggu Ilalang main sambil lihat-lihat & 
baca-baca di Baca-Baca Bookmart, pinjam buku dari perpustakaannya, ngopi, atau 
ngobrol berbagai hal dengan para penunggunya, tukar-menukar album musik dan 
mp3. Sekarang, tiap kali ke sana yang paling sering aku temui ialah Ajo, Oleh 
(Soleh), Nanang, dan seorang anak punk yang aku lupa namanya. Kalau nggak salah 
dia sering dipanggil "Bule" karena kulitnya putih, hampir selalu memakai jaket 
belel penuh dengan pin berisi banyak pesan. Dulu Andry & Frino sering aku 
temui, tapi mereka sekarang sudah punya kesibukan lain sendiri, atau datang ke 
Sabuga ketika aku tak datang ke sana. Sebagai gantinya, kadang-kadang aku 
ketemu Wiku Baskoro dari Dipan Senja/Lawang Buku. Musik Sigur Ros mengiringi 
garage sale kecil-kecilan ini.

"Sudah lihat-lihat ke dalam mas?" tanya Wiku. Maksud dia lihat Kompas-Gramedia 
Fair.
"Sudah, kayaknya pesertanya lebih banyak dari tahun kemarin ya? Standnya juga 
lebih rapi."
"Nggak belanja?"
"Enggak euy. Keuanganku lagi kacau. Mana kemarin Fenfen kehilangan dompet waktu 
pulang dari Serang."
"Gitu? Hilang di mana?"
"Di angkot, di Pasirkoja."
"Kali keselip-selip di kursi?"
"Nggak tahulah."

Waktu ambil satu mata itu, aku bilang ke Ajo, "Kalau nggak berfungsi, ini aku 
kembaliin ya?"
"Siplah," kata dia santai.
"Dapat dari mana nih barang-barangnya?" aku penasaran.
"Dari teman. Dia nitip."
"Kok bisa punya banyak begitu?"
"Nggak tahu tuh."

Dilihat langsung sih mata rapido itu kelihatannya masih baru. Begitu pulang, 
setelah ikut beres-beres rumah, aku langsung ambil badan lamanya, dan pasang. 
Ternyata benar. Jarumnya masih oke punya. Walhasil aku akan segera habiskan 
tinta di Rotring 0.2, biar bisa diistirahatkan dulu. Rotring ini kelihatan 
sudah tua. Badan bagian atasnya sudah belah-belah. Untung aku perkuat dengan 
lem super. Begitu setelah, Staedtler 0.3 ini bisa kembali diaktifkan untuk 
menulis segala sesuatu.

KEEP YOUR HAND MOVING![]

Anwar Holid kurang-lebih telah menghabiskan empat botol tinta cina untuk 
menulis dengan rapido. Dia bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; 
eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 
26 B, Bandung 40141


Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Reply via email to