Enya aneh di Indonesia mah..aya jabatan anu namina Jabatan Pulitis..kajeun
teuing teu bisa nanaon..pokona mah partey kawakilan..Tah biasana jelema2 anu
cicing dina pos ieu ngomongna pasti Knteks Tinggi..anti kritik jeung embung
disalahkeun...pokona mah HAK Ngajabat...giliran euy lima taun sakali...!
janten debat konteks renah di Indonesia mah jajauheun..di Perguruan Tinggi
oge sigana ..masih kelas menengah...Tapi mun dikelompok studi
mahasisma...enya sok dugi ka konteks rendah nepi ka silih poyok
banyolna..........

2009/6/27 mh <khs...@gmail.com>

>
>
> Debat Konteks Tinggi
>
> Oleh DEDDY MULYANA
>
> Mengapa debat antarcapres dan cawapres dalam kampanye Pilpres 2009
> membosankan? Gaya komunikasi para capres dan cawapres kita,
> sebagaimana umumnya gaya komunikasi masyarakat Indonesia dan
> masyarakat Timur (termasuk Cina dan Jepang) adalah konteks tinggi
> (samar, tidak langsung, dan lebih banyak berbasa-basi) yang dilandasi
> mentalitas kolektivis. Tujuan komunikasinya adalah untuk memelihara
> keselarasan kelompok. Maka seorang anggota budaya konteks tinggi tidak
> suka mempermalukan dan dipermalukan anggota lain, berdasarkan nilai
> harmoni ini.
>
> Dalam masyarakat kolektivis, diri (self) tidak bersifat unik atau
> otonom, melainkan lebur dalam kelompok. Kolektivisme ditandai dengan
> pandangan, tujuan kelompok lebih penting daripada tujuan pribadi. Para
> anggota kelompok percaya, untuk bertahan hidup, mereka bergantung pada
> kelompok, bukan pada diri sendiri seperti dalam budaya individualis.
> Perilaku sosial cenderung seragam dalam masyarakat kolektivis,
> mengikuti norma kelompok. Orang yang nyeleneh cenderung dijauhi
> kelompoknya. Begitu individu berselisih dengan individu lain dalam
> kelompoknya, hal itu bisa berlarut-larut, karena mereka tidak terlatih
> mengelola konflik. Itu yang terjadi antara Megawati dan SBY sejak
> bersaing dalam Pilpres 2004.
>
> Manusia kolektivis menganggap percakapan sebagai ritus alih-alih
> sarana untuk mengatasi persoalan. Ketika pertanyaan diajukan kepada
> mereka, jawabannya samar sehingga kita sulit memahami bagaimana
> pandangan mereka. Mereka mengulangi hal-hal yang sama seolah-olah
> mereka takut mengekspresikan pendapat berbeda, apalagi yang
> bertentangan. Mereka enggan menggali problem, menganalisisnya secara
> sistematis. Begitulah yang tampak dalam debat antarcapres (18/6) dan
> debat antarcawapres (23/6) putaran pertama. Mereka bukannya mencari
> kelemahan argumen lawan, melainkan saling menambahkan atau meneguhkan.
> Bahkan mereka pun saling memberi aplus dengan bertepuk tangan.
>
> Kontras dengan budaya kolektivis, budaya individualis ditandai dengan
> komunikasi konteks rendah. Manusia individualis menggunakan pola pikir
> linier, berbicara langsung, lugas, dan eskplisit. Dalam budaya konteks
> rendah, orang begitu mudah memasuki percakapan dengan orang yang tidak
> mereka kenal sekalipun. Mereka tidak begitu peduli dengan perbedaan
> status, atau sengaja mengabaikannya, yang bagi manusia kolektivis
> mungkin tampak naif atau menghina. Berondongan pertanyaan mereka dan
> keterbukaan mereka mungkin berlebihan. Kecepatan orang individualis
> berbicara, keluwesan verbal, dan fisik mereka, mungkin membingungkan
> bagi kita. Kegemaran mereka untuk membantah, berargumen tajam,
> mengganggu harmoni yang harus dijaga. Selain itu, budaya konteks
> rendah ditandai dengan kehati-hatian, rincian, ketepatan, kelugasan,
> kejujuran, pembicaraan langsung, tanpa basa-basi.Bahasa merekat teknis
> dan faktual. Mereka tidak menyukai wacana (baik ucapan ataupun
> tulisan), yang berbunga-bunga atau terlalu artistik, apalagi yang
> memanipulasi. Dalam debat antarcapres atau antarcawapres di Amerika,
> tak mungkin kandidat bernyanyi seperti yang dilakukan Wiranto dalam
> debat antarcawapres tempo hari dengan menyanyikan lagu "Indonesia
> Raya" dan "Ibu Pertiwi" sebagai pesan konteks tinggi.
>
> Begitulah, dalam debat kepresidenan di Amerika Serikat, seorang calon
> presiden tanpa tedeng aling-aling memberondong lawan bicaranya dengan
> pertanyaan-pertanyaan yang menohok ulu hati, yang dapat membuat mental
> kolektivis menciut karena merasa dipojokkan secara tiba-tiba. Dalam
> debat antarcapres AS, Ronald Reagan dan Jimmy Carter, 28 Oktober 1980,
> Reagan menyerang Carter, "Tanya diri Anda, apakah Anda lebih baik
> sekarang daripada empat tahun lalu? Apakah sekarang lebih mudah bagi
> Anda untuk pergi dan membeli barang di toko daripada empat tahun lalu?
> Apakah sekarang lebih banyak atau lebih sedikit pengangguran di negeri
> ini daripada empat tahun lalu? Apakah AS dihormati di seluruh dunia
> seperti dulu?"
>
> Debat kepresidenan antara Barack Obama dan John McCain, 26 September
> 2008, menunjukkan pertentangan dalam hampir semua isu, mulai dari
> kebijakan pajak hingga perang di Irak. Inilah salah satu debat
> kepresidenan paling panas dalam sejarah AS, namun bermutu karena
> disertai dengan data. McCain menuduh Obama bersedia duduk dengan
> sejumlah pemimpin seperti Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad tanpa
> prasyarat. "Tindakan demikian akan melegitimasi dia," kata McCain.
> "Itu tidak hanya berbahaya, juga naif." Namun, bagi Obama pernyataan
> McCain itu absurd dan bahwa ia punya hak sebagai "presiden" untuk
> berbicara kepada siapa pun jika itu demi kepentingan nasional AS.
>
> Dari paparan tersebut jelas untuk saat ini, terlalu berlebihan untuk
> berharap capres dan cawapres kita dapat berdebat seperti debat capres
> dan cawapres AS yang berkomunikasi konteks rendah, suatu gaya
> komunikasi yang sudah ratusan tahun dibangun bangsanya. Debat konteks
> rendah memang seru, namun perubahan mindset tidak bisa mendadak.
> Kalaupun itu dipaksakan, risikonya terjadi perseteruan antarpendukung
> kandidat politik bersangkutan yang juga tidak terbiasa mengelola
> konflik.
>
> Jika mulai sekarang kita mengembangkan komunikasi konteks rendah,
> tetapi dengan tetap santun (saya menyebutnya komunikasi konteks
> menengah), dalam berbagai konteks sosial, mulai dari keluarga,
> tetangga, lembaga pendidikan, hingga ke masyarakat luas, suatu saat
> kelak capres dan cawapres dapat berdebat lebih langsung dan lebih
> lugas. Keluarga seyogianya mendidik anak-anak untuk lebih terbuka
> kepada keluarga, sementara mahasiswa seyogianya dididik untuk
> mengemukakan pendapat secara lebih bebas bahkan secara rutin terlibat
> dalam kompetisi debat yang lebih sistematis.***
>
> Penulis, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
> Padjadjaran.
> Cite:
> http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=83410
>  
>

Kirim email ke