http://oase.kompas.com/read/xml/2009/06/27/12052793
/Sunda.Wiwitan.Cireundeu..Kepercayaan.Baduy.Versi.Lain


Sunda Wiwitan Cireundeu, Kepercayaan Baduy Versi Lain


Kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat Cireundeu di Cimahi, Jawa 
Barat  merupakan pengembangan dari Sunda Wiwitan yang dianut masyarakat Baduy 
di wilayah Banten, walaupun ada perbedaan cukup besar yang ditemukan diantara 
kedua kepercayaan tersebut.

Perbedaan yang mendasar antara Sunda Wiwitan Cireundeu dan Baduy adalah dari 
kebiasaan mereka dimana orang Baduy sangat menghargai dan menyembah beras 
sebagai Dewa Sri, sedangkan di  Cireundeu  malah menghindari beras, kata  
Undang Ahmad Darsa, seorang Filolog terkemuka Indonesia.

Undang yang juga dosen  Jurusan Sastra Sunda Universita Padjadjaran (Unpad) 
Bandung itu menyebut masyarakat Baduy juga tidak mau mengekspos kepercayaan 
mereka karena hal itu adalah hal sakral.

Berbeda dengan di Cireundeu dimana siapapun boleh keluar masuk desa tersebut, 
dan pemuka adat memperbolehkan siapapun ikut menganut kepercayaan ini jika 
telah yakin.

Selain itu masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, 
sedangkan orang Baduy mengaku jika sebutan Sunda Wiwitan datang dari orang 
diluar Baduy yang menilai kepercayaan mereka. Orang Baduy sendiri menyebut 
kepercayaan mereka "Slam Wiwitan" atau Islam Wiwitan dimana mereka menganut 
Islam secara tarekat (konsep) saja bukan dari segi sya’riat, namun mereka 
tidak shalat dan tidak berpuasa, tetapi mempercayai Adam sebagai nabi pertama.

Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awa, dan bagi  mereka 
agama bukan sarna penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu 
mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs 
penyembahan.

Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu 
mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun 
Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam, 
kata Undang Ahmad Darsa yang juga banyak menulis buku tentang sejarah dan 
perkembangan Sunda.

Eksis di Cimahi

Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis bertahan dan memiliki penganut 
setia di wilayah Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat seperti  di lokasi pemukiman 
komunitas Sunda Wiwitan di  Kampung Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi.

Namun dari segi keunikannya, warga kampung ini masih mengonsumsi singkong 
sebagai makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan ajaran Pangeran Madrais 
dari Cigugur, Kuningan itu.

Tradisi yang masih berlangsung dikalangan komunitas Sunda Wiwitan yaitu 
menggelar  upacara Saka 1 Sura secara rutin.

Secara fisik Cireundeu memanglah kampung biasa, namun  karena ketatnya 
menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de fakta 
sebagai kampung adat.

Sebagian besar warga Cireundeu masih memegang teguh ajaran yang juga dikenal 
agama Jawa Sunda yang dibawa Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan.

Satu hal yang mencolok dari kegiatan adat masyarakat Cireundeu adalah rutinitas 
menggelar hajat peringatan tahun baru Saka 1 Sura.

Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), 
agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Mereka percaya pada 
Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar 
tidak berubah.

Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun 
lalu, dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri 
dalam hidup ini.

Menurut Abah Emen, Ketua Kampung Adat Cireundeu, ritual 1 Sura yang rutin 
digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara 
suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa 
manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup 
lainnya.

Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, 
kayu, dan langit.

"Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia 
rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup 
lain rasakan," katanya.

Selain itu masyarakat cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan 
nasi melainkan singkong.

Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana 
maka pantang makan nasi, ujar Abah Emen.

Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin 
naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.

Sunda punya tahun, bahasa, aksara, adat, budaya dan kepercayaan. Jika seorang 
yang mengaku orang Sunda tidak menonjolkan jatidiri Sundanya dan malah 
menjalankan tradisi oranglain, maka dia tak pantas disebut orang Sunda.

Tradisi penjajah didalami, ditekuni tapi kepercayaan yang asli dari kebudayaan 
kita sendiri bahkan tidak dikenali. Kalau kata peribahasa seperti "moro julang 
ngaleupaskeun peusing", kata Abah Emen.

Reply via email to