Jakarta (Batavia), dina pelajaran Sajarah di Sakola, cenah Jakarta tadina 
aranna Sunda Kalapa tapi diganti aranna jadi Jayakarta ku Fatahillah sanggeus 
manehna naklukeun ti pangawasa samemehna (Pajajaran?). Tapi ieu aya artikel 
tina website Budaya Betawi nu boga versi sejen. Dina versi ieu aran Sunda 
Kalapa teh sabenerna aran ti urang bule, nu aslina mah ukur KALAPA.  Aran 
Jayakarta lain ti Fatihillah, tapi geus aya ti beh ditu, sabab catetan urang 
Protugis geus nyebut Xacatara.

Nu leuwih penting deui, dina versi ieu tokoh Fatahillah teh leuwih condong 
disebut "Sang penyerebu" nu ngacak-ngacak KALAPA, tinimbang Pahlawan nu ngusir 
pangaruh Protugis.

Mana Nu bener? Ah ...nyanggakeun we artikelna:


22 Juni Itu Hari Perayaan Apa? (Ridwan Saidi)

Portugis menggunakan nama Xacatara (Jayakarta), jauh sebelum invasi Fatahillah

http://www.budayabetawi.com/index.php?id=55

Atas prakarsa Walikota Jakarta Raya Soediro, ahli sejarah Prof. Dr. Mr. 
Soekanto pada tahun 1958 melakukan penyelidikan untuk menetapkan hari jadi kota 
Jakarta. Selidik punya selidik sang profesor berkesimpulan bahwa hari jadi kota 
Jakarta adalah tanggal 22 Juni, karena pada tanggal itu nun di tahun 1527 
pasukan koalisi Cirebon-Banten-Demak pimpinan ahli perang asal Gujarat bernama 
Fatahillah berhasil merebut pelabuhan Kalapa yang berada di bawah kekuasaan 
"penyembah berhala". Setelah diutak-atik, sang profesor merasa sangat yakin 
tanggal 22 Juni itulah garda Pajajaran menekuk mereka punya lutut di hadapan 
Jenderal Al Gujarati. Walau Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat sendiri 
berkeyakinan bahwa pelabuhan Kalapa direbut pada akhir tahun 1526.

Dosa tak berampun yang dibuat "penyembah berhala" adalah mereka telah melakukan 
persengkongkolan dengan Portugis sebagai adikuasa di zaman itu. Portugis 
beroleh konsesi setumpuk tanah untuk membangun loji, kemudian mendapat pasokan 
lada yang teratur dari Pajajaran. Sementara Pajajaran mendapat jaminan keamanan 
bila ada musuh yang menyerang. Perjanjian ditandatangani pada 21 Agustus 1522 
dan dipatri dalam sebuah padrao agar khalayak ramai mengetahui. Ini yang 
membuat gusar Demak. Pajajaran yang di bawah kekuasaan Prabu Surawisesa 
(1521-1535) beberapa kali di tahun 1526 berkunjung ke Malaka, yang sudah 
menjadi koloni Portugis, untuk menggarap perjanjian ini. Demak merasa 
tersinggung karena menafsirkan perjanjian ini tertuju kepada mereka. Seolah 
jika Demak menyerang, maka Portugis akan tampil membela Pajajaran. Padahal 
perjanjian itu dapat ditafsirkan lain, Pajajaran memberi konsesi tanah dan 
pasokan lada teratur kepada Portugis agar kerajaannya tidak diserang Portugis. 
Pajajaran tidak ingin jadi Malaka II atau Pasai II. Dua kerajaan ini telah 
diserang dan ditaklukkan Portugis.

Dengan dalih islamisasi persiapan menyerang Pajajaran dilakukan. Terlebih dulu 
kerajaan Banten Girang di bawah pimpinan Pucuk Umun diserang tentara gabungan 
Cirebon-Demak pada tahun 1526. Sisa-sisa tentara Pucuk Umun terpaksa atau tidak 
dilibatkan menyerang Kalapa. Maka Fatahillah dengan kekuatan 1452 pasukan 
menyerang Kalapa dari rusuk sebelah barat. Serangan ini tidak diduga, seperti 
halnya serangan terhadap Banten Girang, karena penguasa Cirebon adalah Sunan 
Gunung Jati yang notabene menantu Pucuk Umun. Seperti diketahui berdasarkan 
naskah Wangsakerta, Banten Girang dan Tanjung Jaya adalah kerajaan "bawahan" 
Siliwangi. Tanjung Jaya adalah kerajaan kecil di tepi kali Ciliwung yang 
mendapat kewenangan mengelola pelabuhan Kalapa.

Menjadi pertanyaan kini, apakah benar setelah merebut pelabuhan Kalapa maka 
Fatahillah memberi nama bandar ini sebagai Jayakarta yang berarti "kota 
kemenangan" untuk mengganti nama sebelumnya yaitu Sunda Kalapa? Atau, 
barangkali pertanyaannya dapat dibalik, benarkah bandar ini bernama Sunda 
Kalapa? Menurut peta Cièla yang dibuat Pangeran Panèmbong pada setidaknya 
sebelum serangan Maulana Yusuf atas Pakuan tahun 1579, kota ini disebut sebagai 
Nusa Kalapa. Pelabuhan Kalapa bukan nama spesifik, perkataan itu lebih 
mengandung keterangan tempat, yaitu pelabuhan (di) Kalapa. Çumda Calapa (Sunda 
Kalapa) adalah nama yang digunakan pelayar Portugis. Sedangkan orang Portugis 
telah menggunakan nama Xacatara untuk menyebut Jayakarta, bahkan sebelum invasi 
Fatahillah. Dalam syair Bujangga Manik yang ditulis sebelum Pasunda Bubat tahun 
1357, sang Bujangga dalam lalampahan (perjalanan keagamaan/pilgrimage)-nya 
menyebut bandar ini Kalapa.

Kata nusa dalam Nusa Kalapa berarti `pulau.' Istilah `pulau' mengacu kepada 
pengertian `kawasan yang dikitari air.' Sejak Tarumanagara daerah yang disebut 
Kalapa ini berbatas timur kali Citarum, berbatas barat kali Cisadane. Daerah 
seperti ini menurut konsep geografi purba tak laik untuk lokasi kerajaan. 
Itulah sebabnya Bujangga Manik dalam lalampahan-nya itu tidak singgah di 
kawasan Kalapa, melainkan setibanya di pelabuhan langsung menuju Pakuan melalui 
rute Pabeyaan (Pasar Ikan sekarang), Ancol Tamiang (kini Pluit), Mandi Rancang 
(diduga ini nama julukan untuk daerah yang menjadi sarang penyamun, mungkin di 
sekitar Parung), Pakancilan (kini wilayah sekitar Warung Jambu, Bogor), Lawang 
Saketeng (kini jalan di depan Museum Zoologi Bogor). Ini berarti Kalapa bukan 
daerah bertuah dipandang dari sudut religi. Jadi Kalapa adalah kawasan 
perniagaan.

Jayakarta adalah morfologi jaya + karta. Seperti telah disinggung di muka 
kerajaan kecil yang mengelola pelabuhan Kalapa adalah Tanjung Jaya. Perkataan 
jaya cukup populer digunakan di wilayah budaya Betawi, banyak nama-nama tempat 
lama yang menggunakan kata jaya, bahkan di Bekasi ada desa yang bernama 
Kertajaya. Perkataan jayakerta telah dikenal sebelum kedatangan pasukan 
Fatahillah. Jadi, kiranya dapat disimpulkan bahwa wilayah yang kemudian bernama 
Jakarta dahulunya bernama Nusa Kalapa (peta Cièla) atau Kalapa (syair Bujangga 
Manik). Kalapa digunakan juga sebagai nama pelabuhan, yang kemudian oleh orang 
Portugis disebut Sunda Kalapa. Yang pasti, kota ini belum pernah bernama Sunda 
Kalapa, bila kita mengacu pada peta Cièla dan syair Bujangga Manik. Nama Sunda 
Kalapa hanya dipergunakan oleh orang Eropa, terutama Portugis.

Nusa Kalapa, atau Kalapa, belum pernah diubah namanya menjadi Jayakarta. 
Berdasarkan naskah-naskah lama Sunda (antara lain Wangsakerta), Jayakarta, dan 
juga Surakarta, terkadang dipergunakan sebagai nama lain Nusa Kalapa, atau 
Kalapa, jauh sebelum kedatangan Fatahillah Al Gujarati.

Prof. Dr. Soekanto, dan para epigonnya, menyebarkan dongeng seolah-olah setelah 
Fatahillah merampas pelabuhan Kalapa lalu ia mengumumkan pergantian nama kota 
ini dari Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Seperti halnya K.H. Zainuddin M.Z. 
mengumumkan pergantian nama Partai PPP Reformasi menjadi Bintang Reformasi, 
sesungguhnya hal itu tidak pernah terjadi.
Versi Tionghoa

Tidak hanya naskah lokal dan Barat (terutama Portugis) yang menyebut nama 
Kalapa. Kalapa sebagai nama bandar di muara sungai Ci-Haliwung (Ciliwung) ini 
ternyata masih dikenal di kalangan orang Tionghoa bahkan jauh setelah nama kota 
ini, konon, "diganti" menjadi Jayakarta oleh Fatahillah sejak 1527 dan kemudian 
berubah menjadi Batavia sejak 1619. Karya Douglas, Carstairs, Chinese-English 
Dictionary of Vernacular or Spoken Language of Amoy (Xiamen), with the 
Principal Variations of the Changchew (Zhangzhou) and Chinchew (Quanzhou) 
Dialects, London: Trübner & Co, 1873, halaman 187a, sebuah kamus Hokkian 
selatan-Inggris, masih mencantumkan entry Ka-la-pa, Batavia (Java). Tak hanya 
itu, sampai sekarang ini para penutur dialek Hokkian selatan di daerah Riau 
juga masih menggunakan istilah Pa-sian (`Kota Pa', Pa merupakan singkatan 
Ka-la-pa) untuk menyebut Jakarta. Jadi, misalnya, orang Jakarta oleh mereka 
tetap disebut Pa-sian lang, atau `orang Kalapa'. Orang Tionghoa memang sering 
memakai nama yang terdiri dari dua suku kata untuk menamai kota-kota di 
Nusantara. Tidak jarang nama itu merupakan nama kuno sejak beberapa abad lalu 
yang sekarang sudah tak dipakai lagi.

Selain dialek Hokkian selatan, nama Kalapa ternyata juga masuk ke dalam 
"dialek" Mandarin, bahasa nasional Cina. Di kalangan generasi tua Tionghoa 
penuturnya kota ini masih sering disebut Yecheng (`Kota Kelapa'), yakni 
terjemahan dari nama Kalapa yang artinya juga `kelapa.'
Benteng Mauritius

Pedagang Portugis yang mengunjungi pelabuhan Kalapa pada tahun 1531 
terheran-heran melihat sekitar 3000 rumah di tepi Ciliwung kosong tak 
berpenghuni (Adolf Heukeun, SJ dalam buku tentang sumber-sumber historiografi 
Portugis). Keheranan orang Portugis itu dapat dijawab dengan gampang karena 
rumah-rumah itu ditinggalkan penghuninya yang orang Kalapa karena tidak dapat 
menerima kehadiran tentara pendudukan di bawah pimpinan Fatahillah. Kemungkinan 
besar mereka mengundurkan diri ke arah selatan kota. Jadi tentara Fatahillah 
bukan tentara pembebasan, di mata penduduk asli, tentara ini adalah tentara 
pendudukan. Kemudian hari wawacan Aji Mantri dapat menjelaskan hal ini.

Alasan utama Fatahillah menyerbu pelabuhan Kalapa adalah demi islamisasi, dan 
menentang konspirasi Pajajaran yang antara lain memberikan konsesi tanah kepada 
Portugis. Alasan ini tidak masuk di akal, karena tidak terdapat sedikit pun 
bukti jejak islamisasi Kalapa oleh Fatahillah dan pelanjutnya. Sebelum 
kedatangan Fatahillah proses islamisasi telah berlangsung di wilayah Pajajaran. 
Bahkan pada akhir abad ke-15 di Karawang berdiri pesantren yang diasuh oleh 
Syekh Quro. Menurut naskah lama Sunda, salah seorang santri pesantren Quro yang 
bernama Nyai Subang Larang bahkan dijadikan istri oleh Prabu Siliwangi.

Putra Prabu Siliwangi yang menjadi pelanjut tahta kerajaan sejak tahun 1521 
adalah Prabu Surawisesa Jayaprakosa yang oleh rakyat di mandala Pajajaran 
dikenal sebagai Ratu Sang(h)yang. Makam Sanghyang (Sangiang) di Jakarta Timur 
menghadap ke arah kiblat. Begitu juga ratu terakhir Tanjung Jaya yang bernama 
Kiranawati, yang merupakan istri Sanghyang, makamnya di Ratu Jaya, Depok, 
menghadap ke arah kiblat.

Selama 92 tahun (1527–1619) penjajahan tentara Demak-Banten-Cirebon atas bumi 
Kalapa, telah bertahta tiga penguasa yaitu Fatahillah,Tubagus Angke, dan Ahmad 
Jaketra. Pada masa kekuasaan Ahmad Jaketra, tepatnya tahun 1610, Belanda 
mendapat konsesi mendirikan loji yang kemudian beralih fungsi menjadi benteng 
yang diberi nama Mauritius. Sembilan tahun kemudian dari benteng ini kekuasaan 
Jayakarta dihancurkan Belanda. Maka alasan berperang yang diteriakkan 
Fatahillah pada tahun 1527 menjadi batal, karena Ahmad Jakerta ternyata 
memberikan konsesi kepada asing yang berakibat fatal.
Fatahillah Pahlawan?

Pahlawan siapa, Cirebon, Banten, atau Betawi? Sulit untuk mengatakan Fatahillah 
pahlawan jika melihat perbuatannya yang melakukan perampasan atas pelabuhan 
yang nilai ekonomisnya amat tinggi di zaman itu. Apalagi perampasan itu diberi 
selubung penyebaran agama Islam. Jelas pelabuhan itu milik Pajajaran, dan jelas 
juga bahwa Pajajaran menitahkan kerajaan "bawahan"-nya Tanjung Jaya untuk 
mengelola pelabuhan itu. Dan jelas pula menurut cerita rakyat penguasa Tanjung 
Jaya menugaskan Uwa Item sebagai "ädministrator" pelabuhan. Hanya dengan 
bantuan 20 orang jaga labuhan Uwa Item menghadapi serbuan pasukan koalisi 
berkekuatan 1452 orang tentara.

Uwa Item yang pahlawan, bukan Fatahillah!

Fatahillah juga bukan pembangun bandar Jayakarta (Kalapa). Fatahillah dan 
pelanjutnya memanfaatkan semaksimal mungkin nilai ekonomis pelabuhan di Kalapa 
untuk kepentingan kelompoknya. Mereka mendirikan kota tertutup untuk kelas baru 
penguasa di tepi barat Kali Besar. Kota mini ini terdiri atas keraton, mesjid, 
dan hunian untuk petinggi keraton. Seluruh kompleks dilingkari benteng yang 
terbuat dari tanah. Dan di tepi timurnya mereka mendirikan kompleks hunian bagi 
serdadunya yang dinamakan kawasan Arya. Tidak satu pun projek pembangunan yang 
dibuat oleh kelas baru ini, tidak juga pasar. Mereka bahkan hanya memanfaatkan 
Pasar Pisang (lokasinya di sekitar gedung Dasaad Musin Concern) yang telah ada 
sejak zaman Nusa Kalapa.

Tentu saja ada resistensi penduduk atas kelas baru ini. Selain mereka 
meninggalkan hunian di tepi Ciliwung, seperti telah disinggung di muka, mereka 
juga melakukan perlawanan intelektual. Untuk yang terakhir ini kiranya dapat 
disimak Hikayat Tumenggung Al Wazir yang ditulis oleh Yamikul.

Seperti yang ditulis oleh Hoessein Djajadiningrat dalam tesisnya tentang 
sejarah Banten, penguasa penerus Fatahillah malah asyik tengkaran sendiri 
memperebutkan kekayaan yang dihasilkan dari pelabuhan Kalapa. Tidak satu pun di 
antara mereka yang memikirkan kehidupan rakyat Kalapa.

Lantas, apa yang dirayakan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta setiap tanggal 
22 Juni itu?


Kirim email ke