Rarasaan mah kuring kungsi nulis didideu, pasesaan sajarah di urang lolobana 
ukur tempat pamujaan siga candi. Asa acan kapanggih nu jelas pisan urut kota 
atawa pamukiman jelema anu jejel (padet). "Urut" Majapahit ge nu sok 
disebut-sebut karajaan gede,  ukur kira-kira, nyaeta di Trowulan. Naha kunaon 
nya, padahal Majapahit teh umurna ampir sarua jeung waktu ngadegna Universitas 
Cambridge di Inggris?

Nyanggakeun seratan GM di Caping Tempo minggu ieu, nu ngira-ngira kunaon bet 
siga kitu .....

Trowulan

Tempo, Senin, 28 Desember 2009

SEBUAH kota abad ke-13 yang hilang di pelosok Jawa Timur mungkin bisa bicara 
tentang kita.

Sisa-sisanya ditemukan di sebuah tanah lapang di Kecamatan Trowulan, Mojokerto. 
Di area seluas 63 x 63 meter persegi itu, di bawah atap rendah, berderet petak 
galian, semuanya cuma sekitar setengah meter dalamnya. Tapi warna gelap bumi 
seakan-akan melindungi apa yang hanya sedikit terungkap di sana: bekas-bekas 
rumah, pola lantai halaman, gerabah yang halus, tangga, lorong parit, gobang, 
ribuan artefak..

Rumah, bukan candi, bukan gerbang, bukan tempat ritual keagamaan. Arkeolog 
Mundardjito, guru besar dari UI yang telah bertahun-tahun bekerja dalam 
ekskavasi besar ini, menunjukkan betapa pentingnya yang ditemukan di sana: 
sebelum Trowulan, para arkeolog belum pernah menemukan sisa-sisa sebuah kota.

Dengan kata lain, inilah buat pertama kalinya mereka berhasil. Inilah sebuah 
pintu baru ke masa silam!

Tak urung, saya (yang tak pernah berpikir sebelumnya tentang itu) tertular oleh 
semangat itu dan pergi ke Trowulan-mengikuti Mundardjito berjalan dari situs ke 
situs, menggali, menelaah, membuat hipotesis. "Kalau di lapangan, umur saya 
bukan 73, tapi 37," katanya, setengah bergurau.

Umur + energi tambahan memang diperlukan untuk kerja besar ini, yang sebenarnya 
dimulai pada 1924, ketika Bupati Mojokerto, Kromodjojo Adinegoro, bersama 
Arsitek Henry MacLaine Pont mendirikan Oudheidkundige Vereeneging Majapahit 
(OVM). Mundardjito bersama para arkeolog yang lebih muda adalah penerus ikhtiar 
OVM-mungkin dengan gairah dan rasa ingin tahu yang berbeda.

Masa lalu memang sederet panjang tanda tanya. Di wilayah sekitar 100 kilometer 
persegi, di mana lapangan ekskavasi tadi terletak, sejarah Majapahit terpendam. 
Tapi kenapa terpendam? Kenapa Majapahit yang berdiri di abad ke-13 kini tak 
bersisa, sedangkan Cordoba dan masjidnya, yang mulai dibangun kerajaan Islam di 
Spanyol di abad ke-8, masih bisa utuh? Kenapa Majapahit, yang kurang-lebih 
seumur Cambridge University di Inggris, kini hanya bekas yang terserak dan 
tersembunyi?

Mungkin perang telah merusak semuanya, hingga kota itu ditinggalkan dan 
pelan-pelan rubuh. Mungkin iklim merapuhkan bahan-bahan yang membentuknya. 
Mungkin gempa atau wabah. Tidak atau belum ada penjelasan. Tapi bahwa ia tak 
mampu bertahan terus (sebuah kronologi Jawa menyebutnya "sirna ilang") 
menunjukkan sebuah kelemahan dasar: di kota itu tampaknya tak ada kekayaan 
sosial-dalam bentuk harta dan pemikiran-yang secara kontinu bisa merawat, 
merenovasi, dan merekonstruksi diri.

Bila sebuah catatan dari Cina abad ke-15 menggambarkan Majapahit, yang 
dicatatnya adalah istana: bersih dan terawat, dikelilingi tembok bata merah 
setinggi lebih dari 10 meter. Dalam kompleks istana, bangunan bertiang kayu 
yang besar setinggi 10-13 meter. Atap bangunan terbuat dari sirap. Atap rumah 
rakyat dari ijuk atau jerami.

Itu semua memang bahan yang tak tahan lama, tapi akan bisa diperbaharui 
terus-menerus seandainya kekuasaan dan struktur masyarakatnya punya basis 
ekonomi yang luas, bila mereka tak cuma tergantung kepada satu poros.

Tapi mungkin Majapahit benar-benar cuma tergantung kepada satu poros. Mungkin 
Majapahit satu contoh yang disebut Marx sebagai "despotisme timur": sang 
baginda punya kuasa yang absolut; ia tak mengizinkan kekuatan sosial-ekonomi di 
luar dirinya. Dalam despotisme ini, tak boleh ada satu lapisan elite yang 
kurang-lebih mandiri.

Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, adalah sebuah kerajaan yang 
dahsyat. Sultan yang perkasa ini-yang dengan kekuatan militernya mengalahkan 
sebuah armada Portugis dan menaklukkan pelbagai kerajaan di 
Semenanjung-memegang dengan ketat monopoli perdagangan. Dengan itu ia buat 
"orang kaya", satu lapisan elite yang sedang tumbuh, tergantung kepada belas 
kasihnya.

Di Mataram abad ke-17, Amangkurat I bertindak mirip: ia menampik saran seorang 
tamu Belanda agar baginda membuat rakyatnya kaya. Jika mereka berharta, kata 
raja Mataram yang bengis itu, "mereka bisa melawanku".

Tapi dengan demikian kekuasaan para sultan seakan-akan berdiri di atas pedestal 
yang tinggi tapi sendiri. Ketika takhta guncang, ketika para raja kehabisan 
sumber kekayaan dan gagasan, tak ada penyangga sosial lain. Tak ada kelompok 
masyarakat yang mandiri seperti halnya kaum burger dalam sejarah kota-kota 
Eropa. Dari kalangan ini-yang kemudian disebut bourgeoisie-lahir kekuatan yang 
memperkukuh kota.

Tak aneh bila di Eropa, kota dilambangkan sebagai "tembok". Kata tuin dalam 
bahasa Belanda lama juga berarti pagar. Tapi saya tak tahu tepatkah kiasan itu 
berlaku untuk ibu kota Majapahit. Kitab Negarakartagama yang ditulis di masa 
itu hanya menyebut "kuwu": unit permukiman yang dikelilingi tembok. Tapi tak 
jelas, adakah dengan demikian kota pun lahir sebagai sebuah wilayah yang 
merdeka. Atau ia hanya sebuah tempat "di mana kita tak usah berjalan melalui 
sawah". Artinya tak ada batas yang tegas antara "kota" dan "di luarnya".

Jangan-jangan itulah yang terjadi-yang secara tak sadar berlanjut hingga kini: 
orang berpindah dari luar ke dalam kota tanpa membuat hidupnya berubah. 
Perilaku dan nilai-nilai "udik" merembes ke kehidupan urban-dan begitu juga 
sebaliknya. Yang "udik" menyebabkan gerak jadi lamban, karena harmoni harus 
dijaga dan orang saling menunggu. Sebaliknya yang "udik" membuat hidup lebih 
santai dan bisa berbagi. Walhasil, harmoni bisa memperkuat sebuah kota, tapi 
juga bisa memperlemahnya.

Itukah barangkali riwayat kota yang hilang di Trowulan itu: dirawat tumbuh 
dengan harmoni + serasi, dan tak siap untuk hidup tanpa harmoni + tak serasi?

Goenawan Mohamad


Kirim email ke