Kamari demo 100 poena SBY & Boediono marentah. Salah sahiji topik nu diramekeun 
kunu demo, perkara perdagangan bebas jeung Cina. Loba nu sieuneun ku 
perdagangan bebas jeung China teh, sabab barang China hargana relatip murah 
dibandingkeun jeung jijieunan dalam negeri. Artikel Lie Charlie dina Kompas 
Jabar poe kamari oge nulis perkara perdagangan bebas jeung China ieu. 

Nyanggakeun artikelna jeung kudu kumaha urang nyikepanana?


Asep dan Aseng
Perdagangan Bebas

Kompas, Kamis, 28 Januari 2010 | 14:01 WIB

Oleh Lie Charlie

Ketika Asep berorasi menolak pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN dengan China 
di depan Gedung Sate, Aseng sedang mengelas di pabrik tempat ia bekerja, The 
Double Happiness Steel Industry, di Guandong. Asep berjuang agar barang China 
tidak masuk ke Pasar Baru, sedangkan Aseng tidak peduli apa pun kecuali 
bekerja, makan, tidur, dan menonton film Jackie Chan. Asep memikirkan nasib 
bangsa, tetapi Aseng hanya memikirkan sejengkal perutnya sendiri. Asep 
bercita-cita ikut membangun negara, sedangkan Aseng memimpikan Amei dan Megan 
Fox.

Asep datang mengadu ke DPR karena merasa dizalimi dan dibayar rendah. "Kami 
bukan sapi perah," teriak Asep sampai dari dalam mulutnya keluar api. Saat itu 
Aseng sedang mengelas. Asep merokok satu pak sehari, yang berarti menghabiskan 
20 persen gajinya sebulan. Ia juga mengeluarkan sekurang-kurangnya Rp 200.000 
sebulan untuk membeli pulsa telepon seluler. Aseng bisa menahan diri dan cuma 
merokok sebungkus seminggu dan jarang memakai telepon seluler.

Asep tiba-tiba menjadi nasionalis sejati dan khawatir pabrik (tempatnya 
menuntut-nuntut) ditutup karena hasil produksinya tidak dapat bersaing lagi 
dengan produk impor dari Chung Kuo. Padahal, dengan mangkir untuk 
berdemonstrasi, ia menjadi kontraproduktif. Aseng konsisten mengelas dan 
menabung sebab bercita-cita membuka warung bakmi sendiri. Ia tidak tertarik 
membahas ideologi dan macam-macam paham sebab di negara komunis segala sesuatu 
harus berwarna merah. Aseng dipuji produktif.

Asep melihat bosnya bersembunyi dan hanya meninggalkan amplop ketika petugas 
pajak mengunjungi pabrik dan mendengar beliau mengeluh, "Gue sudah hampir 
bangkrut," sewaktu turun dari Alphard menjawab wartawan mengenai prospek 
usahanya pada masa yang akan datang. Padahal, pabrik masih beroperasi 24 jam 
memenuhi pesanan dari Jepang dan Thailand. Aseng melihat bosnya dan ketua 
partai berkuasa setempat akur-akur saja dan tahu pabrik dilindungi pemerintah 
daerah biarpun memproduksi barang palsu. Kacau dan rancu

China yang kita takuti secara ekonomi sebenarnya tidak punya rahasia sukses 
apa-apa kecuali bekerja keras dalam makna sesungguhnya. China juga tidak 
ujug-ujug berhasil seperti sekarang. Tiga puluh tahun lalu China tidak 
memproduksi apa-apa kecuali bayi.

Kemudian China mengorbankan apa saja demi pembangunan industri manufaktur. 
Mereka pun merakit mesin sendiri. China juga menggunakan batu bara kendatipun 
limbahnya mencemari lingkungan.

Kita mengimpor mesin terbaru serba otomatis buatan Eropa atau AS yang dapat 
berhenti bila operatornya (maaf) kentut serta ramah lingkungan. Jika tidak, 
petugas berseragam akan datang memeriksa dan menyegel pabrik. Pak Gunawan 
pandai berhitung dan ingin modalnya kembali dalam setahun. Alasannya, "Habis 
Asep sering demo." Maka, produk kita kudu dijual lebih mahal daripada buatan 
The People of the Republic of China yang membiarkan return of investment (ROI) 
bergulir 10 tahun ke depan.

"Belum lagi disebutkan bahwa bunga pinjaman bank kita relatif tinggi. 
Bayangkan, minimal 18 persen per tahun. Maka, industri sektor riil kita tinggal 
menunggu waktu untuk gulung tikar," papar ketua asosiasi. Maksudnya, minta 
pemerintah mengucurkan dana subsidi. Jadi ingat kasus Bank Century. Kalau 
pemerintah terharu dan terkecoh, pemilik pabrik akan menggunakan uang yang 
turun untuk membangun bisnis lain yang lebih menguntungkan, seperti membuka 
restoran. Satu atau dua tahun kemudian pasti ada panitia khusus lagi.

Lantas kita membandingkan Cibaduyut dengan The Great Wall Footwear Industry di 
Shen-Chen yang memproduksi sneakers Reebok dan Nike. Analisis kita tambah kacau 
dan rancu saat menyebut "pabrik" tekstil di Majalaya sudah berhenti berproduksi 
dan sekian ribu tenaga kerja telah kena PHK. Maka, kita membutuhkan "jaring 
pengaman sosial" triliunan rupiah. Hebat benar dampak free trade agreement 
(FTA) tersebut! Baru berlaku beberapa hari sudah menimbulkan dampak sedahsyat 
ini. Padahal, faktanya adalah bahwa "pabrik" yang belum mengganti mesin tenun 
bertarikh 1942 memang sudah waktunya tutup.

Kita bisa

China punya sejumlah kelemahan dan kita dapat masuk menelikungnya dengan 
memasok, misalnya, produk makanan dan minuman serta barang-barang kerajinan 
tangan kreatif khas. Sejak memasukkan melamin ke dalam susu, industri makanan 
dan minuman China menuai sentimen sangat negatif. Baru-baru ini terbukti produk 
perhiasan imitasi China juga mengandung kadmium, logam berbahaya yang konon 
dapat memicu penyakit kanker. Industri makanan kita, juga sentra perak Kotagede 
serta intan dan akik di Martapura, punya peluang besar mengekspor.

Tidak perlu menantang China dalam sektor yang mereka jagoi, seperti elektronik 
dan mainan anak-anak. Tandingi China dalam sektor yang tidak mereka kuasai. 
China tidak memiliki cukup sumber daya alam dan energi. Buktinya, China 
mengimpor banyak jenis bahan mentah dari kita, termasuk minyak dan gas bumi. 
Mengekspor rotan dan mengimpor perabot rotan kiranya bukan masalah asal 
harganya realistis.

Kalau kita dapat membelikan Santi sehelai blus buatan China dengan harga Rp 
150.000, padahal blus yang mirip produksi dalam negeri berharga Rp 250.000, 
kita patut bersyukur dan menyesal selama ini sudah digorok pemilik pabrik 
garmen lokal yang berumah di Dago Pakar. 

LIE CHARLIE Pegawai Swasta di Bandung



Kirim email ke