Pendidikan Sang Pemimpi dari Sukadamai Membayangkan saung pos ronda kebanyakan, tak akan jauh berbeda dengan saung yang satu ini. Keduanya sama-sama terbuat dari kayu dan bambu. Jika berada di kedua saung itu pun, semilir angin begitu terasa dan air hujan dengan bebas masuk ke dalamnya karena tak ada dinding yang menahannya.
Hanya bedanya, saung ini lebih luas, kira-kira 7 x 5 meter persegi dengan lantai yang lebih rendah dari saung pos ronda kebanyakan. Lantai yang terbuat dari bambu itu pun sebagian terserak. Atapnya keropos. Letak saung yang satu ini pun jauh dari permukiman warga, meskipun dekat dengan sejumlah rumah. Saung itu adalah Sekolah Dasar Islam Cita Madani. Jangan menebak sekolah sangat sederhana ini berada di pedalaman Kalimantan bahkan Papua. Saung ini berada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lebih tepatnya di Lereng Gunung Sieum, Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Lebih tepatnya lagi sekolah ini berjarak 74 kilometer dari ibu kota negara Indonesia dan 35 kilometer dari Cikeas, kediaman Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Meski demikian, bagi Anda yang begitu fanatik dengan HP harus siap gelisah karena sinyal HP di sana naik turun berkisar nol hingga dua batang sinyal. Bahkan, listrik belum bisa dinikmati. Untuk menuju ke sekolah ini, Anda harus menempuh tujuh belas kilometer dari jalan utama, Jalan Mengker, Kab. Bogor. Jalannya tidak sepenuhnya beraspal. Sekitar tujuh kilometer menuju Cita Madani, jalan berbatu dan tanah menanjak menjadi satu-satunya pilihan. Tidak ada angkutan umum, alias harus berjalan kaki. Untuk mengantisipasi keterlambatan, siswanya pun berangkat pada pukul 12.00 WIB, setelah pagi hari mereka membantu orang tuanya. Kegiatan belajar dimulai pukul 14.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.30 WIB. Petang itu bisa dikatakan penulis beruntung karena hari hanya gerimis sehingga masih ada anak-anak yang datang. Itu pun sebenarnya jumlah anak sudah berkurang cukup banyak. Ada tujuh puluh siswa yang seharusnya hadir. Di sek0lah itu, setiap hari hanya empat guru yang bertugas mengajar. Semuanya adalah honorer dengan rata-rata penghasilan sebesar Rp 450.000 setiap bulan. Setiap hari tidak semua siswa hadir ke sekolah itu. ”Karena beberapa hari terakhir hujan, jalannya pasti susah. Apalagi di RT 1 dan 2, jalannya masih berupa tanah merah. Jadi sekitar lima belas anak dari sana pasti tidak bisa lewat, meskipun ini sekolah terdekat mereka,” kata Zayyadi, pendiri sekolah itu. Namun, hal itu tidak berarti belajar-mengajar diliburkan. Mereka tetap belajar sesuai ”ruang kelas” masing-masing yaitu taman kanak-kanak, kelas II, dan IV. Saat itu, siswa kelas I dan III tidak ada yang hadir. Imajinasi para siswa pun cukup kuat, terutama saat harus membayangkan di sekitar mereka ada dinding pembatas antarkelas. Tentunya dinding imajinasi itu akan membuat mereka tidak terlalu terganggu oleh suara dari ”ruang kelas” lain. Bagi Zayyadi, sedih rasanya melihat generasi Indonesia menyongsong masa depan dengan fasilitas serba terbatas. Apalagi, dari hasil pantauan para guru, murid-murid tadi mempunyai daya tangkap, daya serap, dan respons yang baik. Tidak kalah dengan murid sekolah berdinding tembok. Hal menonjol dari mereka yaitu punya daya juang yang tinggi. ”Makanya, saya sedang berusaha mendapatkan bantuan bangunan fisik. Saya sudah menyelesaikan syarat administrasi untuk mengurus izin di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, tetapi entah kenapa sampai sekarang tidak ada tindak lanjut. Padahal, saya sudah punya izin dari Kementerian Pendidikan Nasional,” tutur Ketua Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Kabupaten Bogor itu. ** Itu hanyalah sekelumit gambaran pendidikan anak-anak daerah terpencil di Indonesia. Pemerataan layanan dan akses pendidikan di Indonesia belum dirasakan benar oleh semua penerus bangsa, sekalipun begitu dekat dengan ibu kota negara atau tidak terlalu jauh dari rumah Presiden Yudhoyono. Bagi mereka, pendidikan masih menjadi barang elite alias mahal. Di Indonesia, ada 2,15 juta anak usia 7-15 tahun belum mengecap pendidikan pada 2008. Jabar menyumbang 35 persennya (lihat tabel). Salah satu penyebabnya adalah minimnya layanan pendidikan dan sulitnya akses pendidikan. Padahal, Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (untuk usia tersebut) adalah program pemerintah yang dicanangkan sejak 1994. Melihat kondisi pendidikan seperti itu, tak heran jika target penuntasan program itu ngaret. Awalnya ditargetkan selesai pada 2004, lalu 2008, sekarang diperpanjang lagi hingga 2014. Selain tidak memungkinkan anak-anak mengenyam pendidikan, minimnya layanan dan akses pendidikan juga menambah angka putus sekolah dan keterlambatan usia masuk sekolah. Seperti yang terjadi di Desa Sukadamai tadi, dengan akses yang sulit, calon siswa baru masuk ke sekolah pada usia tidak ideal. Biasanya mereka duduk di kelas III atau IV pada usia 17 tahun. Karena minder atas usia atau tubuh yang lebih besar, mereka cenderung memilih keluar. Kalaupun tamat SD, mereka harus berhitung untuk melanjutkan. Pasalnya, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas biasanya terletak di ibu kota kecamatan. Ketua Lembaga Advokasi Pendidikan Dan Satriana menuturkan, layanan pendidikan tak melulu berbicara tentang sekolah formal dengan bangunan lengkapnya. Pemerintah sebaiknya menyusun program pendidikan yang kreatif dan fleksibel dengan kondisi anak di daerah terpencil. ”Jangan berpikir harus selalu membangun sekolah formal. Itu tidak akan efisien karena jumlah siswa pun relatif sedikit dan kenyataannya belum didukung oleh kemudahan akses transportasi,” ujarnya. Menurut dia, akan lebih baik pemerintah mendorong pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dengan melibatkan masyarakat atau mendorong guru kunjung. ** Sayangnya, tindak lanjut Wajar Dikdas Sembilan Tahun tidak tersentuh dalam program seratus hari Menteri Pendidikan Nasional 2009-2014. Sesuai dengan program seratus hari itu, beberapa waktu lalu Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Wachyudin Zarkasyi mengatakan, untuk daerah terpencil akan digunakan pendekatan informasi dan teknologi (IT) karena sedikitnya jumlah siswa dan sulitnya distribusi guru. ”Untuk IT, SDM-nya (sumber daya manusia) sedang ditatar bekerja sama dengan LPMP (lembaga penjaminan mutu pendidikan),” ujarnya. Sementara itu, untuk masalah guru di daerah terpencil (gurdacil), kata dia, pemerintah pusat sedang menyusun kebijakan khususnya. Menurut Dan Satriana, pendekatan IT bukanlah langkah yang tepat untuk daerah terpencil. ”Sinyal dan listriknya saja tidak ada,” katanya. (Amaliya/”PR”)*** Web: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=126563