Semua Kecipratan Rezeki Sebelum ramai oleh rumah makan besar, pinggiran jalan raya Nagreg-Limbangan, Kabupaten Garut dirajai warung-warung nasi. Bentuk bangunannya sederhana dengan menyodorkan menu sederhana pula. Harga disesuaikan kantong pengunjung yang kebanyakan sopir truk atau mobil angkutan lain. Uang sepuluh ribu rupiah cukup untuk satu paket menu.
Pembedaan pasar berlangsung alamiah. Dengan cara itu, masing-masing warung dan rumah makan bertahan. Secara sederhana, pengunjung dikelompokan kelas truk dan mobil pribadi. Yang satu berkocek tipis, yang lain sanggup membayar mahal asal pelayanan memuaskan. Warung-warung nasi biasanya dibangun warga setempat. Tetangga membantu menunggui warung. Selain nasi beserta sayur dan lauknya, mi rebus dan goreng menjadi menu andalan. Tidak sedikit yang buka selama 24 jam. Ketika restoran menjamur satu dasawarsa terakhir, warung-warung nasi tidak lantas gulung tikar. Jumlahnya malah terus bertambah. Cipratan rezeki di jalan Nagreg-Limbangan tak pernah kering seiring makin ramainya jalur nasional tersebut. “Kami punya pasar sendiri. Sopir truk rata-rata memilih warung kecil,” kata Lena (20), salah seorang penjaga warung makan Garunggang. Pelanggan setia Garunggang adalah sopir dan penumpang travel dari Ciamis dan Tasikmalaya menuju Jakarta, Bekasi, dan berbagai kota besar lain di utara. Menu utamanya nasi liwet. Jika di restoran harga satu paket nasi liwet Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu, di sini menu yang sama harga bisa separuhnya. Selain ruang makan utama yang dibuat lesehan, Garunggang menyediakan dua saung sederhana di bawah bangunan depan, persis di samping Sungai Cipancar. Warung nasi baru yang lain adalah milik Oneh (40). Dinamai sesuai nama pemiliknya. Warung yang baru berjalan enam bulan ini menawarkan menu gulai dan sate kambing serta sapi. Oneh, yang bekas subagen koran di Bandung menggunakan rumah dan pelataranuntuk warung. Harga satu porsi gulai dan sate sama dengan harga nasi liwet di Garunggang, Rp 10.000. Dengan memasang harga sebanyak itu, dia tak membatasi pengunjungnya. “Mau mobil atau truk yang datang, ya diterima. Harga segitu saya kira tidak terlalu mahal,” ujar Oneh yang mengaku menerima uang sekitar Rp 400.000 setiap harinya. Yeni (35), pemilik Saung Desa, memilih pendekatan berbeda. Ada dua tipe menu yang disiapkan, prasmanan dan menu dadakan. Ada paket murah, ada juga yang mahal. Saung-saung kecil di pinggir sawah membuat pengunjung leluasa menikmati panorama perdesaan. “Sopir-sopir truk juga biasa mampir ke sini. Tak apalah untung kecil. Asal uang bisa berputar,” ujar Yeni. ** Jika warung-warung nasi kebanyakan dimiliki warga setempat dengan mempekerjakan beberapa tetangga atau saudara, restoran-restoran biasanya dibangun pemodal dari luar daerah. Ada yang dari Bandung, Sumedang, dan bahkan dari Jakarta. Tak sedikit rumah makan merupakan cabang dari restoran yang sebelumnya sudah ada di tempat lain, seperti Ampera, Mergosari, dan Cibiuk. Umumnya, mereka membawa juga pekerja dan orang-orang kepercayaan dari tempat asal. Ada kesepakatan tak tertulis untuk mempekerjakan warga sekitar. Pekerjaan meliputi pramusaji, resepsionis, tukang parkir, atau penjaga keamanan. “Memang tak ada aturannya, tetapi kami dan pengelola saling mengerti. Kami harap, makin banyak warga sekitar yang direkrut,” kata Sekretaris Kecamatan Limbangan Wawan Yanuarman. Rumah Makan Tahu Sumedang mempekerjakan tak kurang 30 warga sekitar dari 40 pekerja. Jumlah yang banyak karena rumah makan ini memiliki pabrik pembuatan tahu sendiri. Racik Desa dengan 44 pekerja memiliki persentase serupa. Sekitar delapan puluh persen di antaranya merupakan warga lokal. Balai Tingtrim melakukan hal serupa dengan jumlah pekerja dua puluh orang. “Ini semacam tanggung jawab sosial kami pada masyarakat sekitar. Sekaligus, kami ingin menjalin relasi yang baik,” kata Taufik Rahman (56), karyawan di Balai Tingtrim. Persoalannya, kebanyakan jenis pekerjaan pada warga sekitar bukan yang strategis. Hal ini yang ke depannya mesti diubah. Juju, di Racik Desa, memulai hal itu. Secara sadar, ia ingin agar warga sekitar belajar juga cara mengelola rumah makan. “Tidak masalah kalau suatu saat ada karyawan mendirikan rumah makan sendiri. Justru ini keberhasilan,” ucap pensiunan Guru Besar Pendidikan Nonformal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tersebut. (Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”/Lingga S. Wiangga )*** Web: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=132299 2010/3/12 mh <khs...@gmail.com>: > Usaha Kuliner > Limbangan Berliku, Tetapi Menggoda > > DI Limbangan, Kabupaten Garut, makan bukan sekadar mengenyangkan > perut. Akan tetapi, juga menyangkut petualangan terhadap khazanah > kuliner, semacam wisata yang menjadikan makanan sebagai objek pemicu > rasa senang. > > Oleh karena itu, orang-orang yang mampir di belasan rumah makan di > kanan-kiri jalan antara Nagreg dan Tasikmalaya itu mendapatkan > pengalaman kuliner yang berbeda. Pemandangan alam khas perdesaan nan > indah, makin menambah kepuasan. > > Misalnya, selain nasi liwet yang lumer di mulut, orang yang makan juga > mendapat suguhan pemandangan alam yang membuat betah mata. Belum lagi > beragam layanan tambahan mulai dari memetik stroberi, memancing ikan, > bermain flying fox, memandikan kerbau, hingga menanam padi langsung di > sawah, itu semua makin melengkapi kesenangan pengunjungnya. > > “Suasana di sini khas sekali. Tak hanya lapar, rasa lelah di jalan > hilang seketika melihat pemandangan yang indah,” kata Irwan (41), > pengunjung Bale Tingtrim. > > Dari saung tempat bersantap, warga Jakarta yang tengah melakukan > perjalanan ke Ciamis itu bisa leluasa memandang hamparan sawah yang > elok dalam sistem terasering. Beberapa petani tampak tengah menyiangi > padi umur sebulan yang hijau-segar. Jauh di belakang, bukit-bukit > terlihat biru samar sebagai latarnya. Angin semilir terasa segar > menerpa wajah. > > Bale Tingtrim, dulunya bernama Nasi Liwet Banen, adalah salah satu > pioner rumah makan besar di jalur tengah penghubung Jawa Barat-Jawa > Tengah ini. Sebelumnya, warung-warung nasi sederhana yang merajai > jalur ini. > > Beroperasi sejak 2001, Nasi Liwet Banen-lah yang pertama kali > menawarkan konsep restoran bercita rasa perdesaan dengan membangun > sembilan saung di lokasi yang strategis. Konsep ini diikuti > restoran-restoran lain yang menjamur di kemudian hari. > > Racik Desa, misalnya, mengusung juga cita rasa Sunda, baik dalam > sajian menu maupun dalam penataan ruang. Lebih dari dua puluh saung > bambu didirikan di kompleks rumah makan di Kampung Cigagade itu. > > Nyaris tanpa batas dengan hamparan luas sawah di sekelilingnya. Di > atas kolam-kolam ikan di areal tersebut, melintang tambang sepanjang > lima puluh meter sebagai sarana ber-flying fox bagi pengunjung. > Restoran yang didirikan pada Mei 2006 ini juga melayani permintaan > rombongan anak sekolah melangsungkan kegiatan alam, seperti belajar > menanam padi, memandikan kerbau, dan kemah di alam terbuka. > > Juju Sujana, pemilik Racik Desa, mempunyai sepetak sawah tak jauh dari > lokasi rumah makan tersebut. Di situlah, beragam kegiatan luar ruangan > dilakukan dengan melibatkan petani sekitar. “Datang ke sini, orang > tidak hanya ingin makan. Mereka juga ingin berekreasi,” katanya. > > Beberapa ratus meter sebelum masuk Kecamatan Limbangan dari Nagreg, > ada Rumah Makan Asep Stroberi. Menu dan tampilan ruangnya mirip dengan > kedua restoran sebelumnya. Pemandangan alam perdesaan juga menjadi > suguhan andalan. > > Jika Racik Desa berada di lokasi landai yang sejajar dengan sawah, > restoran ini menyesuaikan diri dengan kemiringan lahan. Layanan > tambahan khas di sini adalah kegiatan memetik stroberi. > > Masakan Sunda memang mendominasi menu makanan di belasan rumah makan > di Limbangan, seperti nasi liwet, nasi timbel, pepes, serta berbagai > jenis ikan goreng dan bakar, lengkap dengan lalapan dan sambal. Akan > tetapi, bukan berarti tidak ada menu lain yang layak dicoba. Ada rumah > makan yang secara khusus mempromosikan ikan laut. Ada juga yang > menyodorkan menu lain, mulai dari gulai, sate, nasi rames, hingga tahu > Sumedang. Variasi menu terus bertambah dari tahun ke tahun. > > ** > > Limbangan, sebuah kecamatan di bagian utara Kabupaten Garut. Jaraknya > sekitar 32 kilometer dari pusat kota. Penduduk Limbangan sekitar 80 > ribu jiwa. Lebih dari separuhnya bekerja menggarap sawah. Dari > Bandung, kawasan ini dapat ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan > dengan mobil melalui ruas Tol Bandung-Cileunyi. Jalan nasional yang > menembus pegunungan ini memang berliku, tetapi keberadaan belasan > rumah makan dengan berbagai tawaran menarik, sangat menggoda > pengendara, terutama saat rasa lapar dan lelah datang menghinggap. > Limbangan menjadi tempat strategis bagi usaha kuliner. Apalagi > didukung pemandangan alam yang menarik. > > “Pasar kami adalah semua pengendara yang melintas menuju atau dari > Jabar selatan. Juga, semua yang menuju Jawa atau sebaliknya. Jumlahnya > kan luar biasa banyak. Apalagi saat akhir pekan dan liburan,” kata > Iman S.P, Manajer Rumah Makan Tahu Sumedang, mewakili optimisme para > pengelola rumah makan yang lain. > > Dibukanya akses tol dari Cileunyi sampai Purwakarta (Cipularang), yang > menghubungkan dua kota besar Bandung dan Jakarta, benar-benar > berpengaruh besar pada peningkatan volume kendaraan yang melintas di > Limbangan. Ditambah lagi dengan pelebaran jalan Nagreg dan pembangunan > jalan layang. > > Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daeerah (RPJMD) Garut > 2009-2014, Limbangan sebenarnya tidak diproyeksikan sebagai kawasan > bisnis di Garut utara. Justru Malangbong yang masuk dalam rencana. > Namun, Limbangan berkembang lebih cepat. Hal ini tidak terlepas dari > kabar akan adanya pembangunan jalan tol dari Cileunyi ke Nagreg. > > "Belum juga tol dibangun, pengembangan malah sudah berjalan. Dan > kelihatannya bagus," kata Kepala Dinas Permukiman Tata Ruang dan Cipta > Karya (Pertacip) Garut Deny Suherlan. > > Perkembangan pesat tak terduga ini membuat pemkab berancang-ancang > membangun infrastruktur tambahan di waktu mendatang. Limbangan akan > dijadikan pusat pengembangan suvenir dengan membangun Garut Trade > Centre, sebagai etalase bisnis Garut di wilayah Selatan. “Daya dukung > lahan dan lingkungan cukup memadai. Selama masih bisa bertahan, kenapa > tidak potensi itu kita olah dan wadahi,” ucap Kepala Bidang Tata Ruang > Dinas Pertacip Luna Afianti. > > Dari sisi pengembangan wisata, pertumbuhan bisnis kuliner di Limbangan > juga menyiratkan optimisme tersendiri. Selama ini, meski ada tak > kurang dari 28 objek wisata di Garut, belum ada yang bisa menyamai > kontribusi kawasan pemandian air Cipanas, yang jadi primadona. “Kami > bisa perkenalkan Limbangan sebagai paket wisata dengan agowisata > Malangbong yang tengah dipersiapkan,” kata Kepala Dinas Pariwisata > dan Kebudayaan Yatty Rochayati. > > Limbangan akan terus tumbuh. Lokasi strategis dengan alam yang elok, > menggoda investor. Restoran-restoran baru boleh jadi akan segera > bermunculan. Oleh karena itu, optimisme harus diimbangi dengan > kebijakan tepat dalam mengatur tata ruang. Jika tidak, optimisme bisa > menjadi bumerang. > > “Jangan sampai semua sawah di sini dijadikan rumah makan. Pemkab harus > selektif dalam memberikan izin. Kalau semua jadi bangunan, kami bisa > melihat apa?” ujar Sari (36), warga Banjar sempat mampir makan di > Racik Desa. Bersama suaminya, Rahmat (37), dia asik menyantap nasi > liwet sambil membuang pandangan di hamparan sawah yang menghijau, > persis di samping saung mereka. (Ririn N.F./Ag. Tri Joko Her > Riadi/"PR"/Lingga S. Wiangga)*** > > Web: > http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=132300 >