Kuring tulas tulis yeuh.

hampura teu disundakeun..


Ketika SD, saya pernah membaca suatu cerita tentang seekor katak besar
yang sombong yang hidup di suatu kolam. Dia merasa dirinya adalah hewan
paling besar di dunia. Suatu saat ada kerbau yang datang ke kolam
tersebut dan minum di sana. Melihat ada hewan yang lebih besar dari dia,
si katak tidak mau kalah. Dia meniup badannya sendiri sampai
menggelembung. Dan memang badannya membesar, namun belum bisa menandingi
besarnya kerbau. Mengetahui kenyataan ini, si katak bukannya sadar malah
memaksakan diri menggelembungkan badannya. Dan cerita ini berakhir
tragis, si katak sombong ini mati karena badannya meletus.

***

Bagi masyarakat Indonesia, selapis tipis organ tubuh manusia yang
berjenis kelamin wanita dan belum pernah menikah, merupakan hal yang
sangat bernilai. Dia menjadi mahkota yang harus dijaga, sampai suatu
saat nanti diserahkan kepada yang berhak,yaitu sang Suami.

Nilai dari selapis organ ini bukanlah terletak pada fungsinya,
sebagaimana berharganya organ otak, jantung maupun ginjal dan paru-paru.
Organ berbentuk selaput ini bernilai karena dia merupakan simbol. Simbol
dari 'sikap baik' seorang perempuan yang bisa menjaga diri dan
kehormatannya.

Namun, jaman sekarang ini telah ada teknologi yang memungkinkan untuk
"merenovasi" kondisi organ spesial wanita ini, dari yang semula rusak
menjadi utuh seperti sediakala. Nah, dengan adanya teknologi ini,
berarti 'sikap baik' perempuan bisa ditulis ulang. Dengan demikian, jika
simbol 'sikap baik' perempuan adalah organ ini, masih relevan nggak ya?

Orang-orang indonesia adalah orang-orang yang mengerti simbol dan suka
simbol. Bahkan mungkin banyak yang terobsesi dengan simbol. Mobil mewah,
rumah megah, istri yang selalu menerbitkan gairah, adalah simbol dari
kemampuan finansial seseorang. Dia tidak perlu berkata kepada setiap
orang, bahwa uang miliknya sekian ratus miliar. Cukup dia naik mobil
jaguar saja, maka semua orang akan tahu bahwa dia orang kaya.

Setelah semua orang tahu bahwa dia itu kaya, lantas apa? Inilah hal yang
jadi tujuan sebenarnya dari semua aktifitas simbolisasi itu. Orang
disekitar dia akan membaca simbol yang dia tampilkan. Setelah semua
orang membaca simbol tersebut, akan muncul penilaian terhadap orang
tersebut. Nah penilaian inilah yang memberikan rasa 'harga dirinya
tinggi'. Rasa inilah yang menjadi candu bagi setiap orang.

Entah sejak kapan tradisi simbolisasi ini muncul di masyarakat kita, dan
entah akan berlangsung sampai kapan. Namun yang jelas, ketika
kehebatan/nilai seseorang diukur dari atribut apa yang melekat pada
orang itu, maka orang akan tetap giat bersimbolisasi.

Jika simbol yang ditampilkan seseorang memang mewakili keadaan
sebenarnya, ya tidak masalah. Namun jika simbol yang ditampilkan
seseorang itu, tidak mewakili keadaan yang sebenarnya ini yang masalah.
Masih mending simbolnya kecil tapi kenyataanya besar, daripada simbolnya
besar tapi kenyataannya kecil.

Di sekitar kita pasti ada saja orang-orang  yang 'keberatan simbol'. Dia
berusaha mengenakan simbol yang besar, padahal kenyataanya dia itu
kecil. Yang dia kejar adalah candu 'harga diri tinggi'.Seperti cerita
katak diatas, dia ingin sebesar kerbau, namun dengan membahayakan
dirinya sendiri.

Kalau begitu, apakah simbolisasi ini baik atau tidak baik ya?

Kirim email ke