bener pisan kang.. kuring sapuk jeung kang dadang yeuh...
2010/4/15 dadang dundy <dadang_du...@yahoo.com> > > > saya kira UU ini bukan untuk membatasi setiap warga negara menganut > keyakinan agama, yang diatur dalam UU ini hanyalah mengatur WNI agar tidak > coba-coba menodai kesucian agama tertentu/lain. bentuk penodaan bisa > macam-macam salah satunya "membelokan" ajaran yg sudah baku diyakini oleh > sebagain besar penganutnya bahkan oleh jumhur ulama (para cendekia) itu > benar. kalo ada orang mengaku mendapat "wangsit" bahwa mereka adalah utusan > tuhan untuk menyebarkan agama/ajaran/pemahaman baru, sebaiknya orang > tersebut mengatakan "kami sudah punya agama baru". jangan mengatakan bahwa > agama si "A" salah dan yang benar agama si "B". selama ini yang terjadi di > masyarakat kita bukanlah melarang kemunculan agama baru, tetapi meminta > pembawa ajaran "baru" untuk mendeklarasikan ajaran barunya itu secara > "terang benderang". katakan secara jelas agama kami "A" dan agama kami beda > dengan agama yang anda anut. kalo hal itu bisa dilaksanakan saya kira > tindakan penodaan terhadap agama tertentu tidak akan terjadi.......... > > > ------------------------------ > *From:* Maman Gantra <mamangantra2...@yahoo.com> > *To:* urangsunda@yahoogroups.com; kisu...@yahoogroups.com > *Sent:* Thu, April 15, 2010 2:09:11 PM > *Subject:* [cianjur] Fw: <JIL> Pidato Dukungan Pencabutan UU > No.1/PNPS/1965 > > > > Kasanggakeun kasaksian pun Luthfi Syaukani di Mahkamah Konstitusi ngeunaan > UU No 1/PNPS/1965. Pada nu di-bold alpukah sim kuring. Manawi janten > mangpaat. > > Pun, > > Maman Gantra > Jalan Salemba Tengah 51, > Jakarta 10440. > 0812-940-5441 > > --- On *Thu, 4/15/10, saidiman saidiman <idhi_mandar@ yahoo.com>* wrote: > > > From: saidiman saidiman <idhi_mandar@ yahoo.com> > Subject: <JIL> Pidato Dukungan Pencabutan UU No.1/PNPS/1965 > To: islamliberal@ yahoogroups. com, islamprogresif@ yahoogroups. com, > kahmi_pro_network@ yahoogroups. com, aliansi-kebebasan@ yahoogroups. com, > form...@yahoogroups .com, id...@yahoogroups. com, > jarik_indone...@yahoogroups. com, kmnu2...@yahoogroup > s.com > > Date: Thursday, April 15, 2010, 1:22 PM > > > > Negara Harus Melindungi Semua Agama dan Keyakinan > > Pidato Luthfi Assyaukanie yang disampaikan pada sidang Judicial Review UU > No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, > Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 17 Februari 2010. > > Assalamu’alaikum Wr. Wb. > > Majelis Hakim Yang Mulia, > Izinkan saya menjelaskan posisi saya dan mengapa saya bersedia menjadi > salah seorang tim ahli dalam persidangan Uji Materil UU No 1/PNPS/1965 > ini. Saya seorang dosen yang menekuni kajian filsafat dan pemikiran > keagamaan. Seluruh karir akademis saya, saya fokuskan untuk mengkaji > dan mengajar tentang studi agama-agama, khususnya Islam. Ketika diminta > menjadi salah satu tim ahli dalam persidangan Uji Materil ini, saya > menyanggupinya, karena, seperti pandangan banyak orang, saya meyakini > bahwa UU No 1/PNPS/1965 itu bermasalah. > Ada beberapa persoalan yang dimunculkan dari UU ini yang berdampak > bagi kehidupan sosial dan politik di negara kita. Kita semua tahu bahwa > setiap aturan pada dasarnya dibuat untuk kebaikan bersama, namun jika > peraturan itu melukai rasa keadilan, bersifat diskriminatif, dan > berpotensi memicu ketegangan di dalam masyarakat, maka sudah selayaknya > aturan semacam itu ditinjau ulang. Memelihara sebuah UU yang > diskriminatif dan berpotensi memicu ketegangan di tengah masyarakat > hanya akan menyulitkan ikhtiyar kita untuk memperbaiki kondisi negeri > ini. > Saya memandang bahwa UU No 1/PNPS/1965 melukai rasa keadilan > sebagian orang. Menangkap dan memenjarakan seorang karena alasan orang > itu menganut agama tertentu dan meyakini keyakinan tertentu yang > dianggap menyimpang adalah tindakan yang keji dan bertentangan dengan > semangat konstitusi kita yang jelas-jelas melindungi keyakinan setiap > orang (Pasal 29). Negara kita bukanlah negara agama yang sibuk menilai > iman dan keyakinan seseorang. Iman dan keyakinan adalah urusan individu > setiap orang di mana negara tidak dibenarkan untuk ikut campur. > Konstitusi kita jelas-jelas melindungi semua agama, tanpa > terkecuali. Tidak ada pembatasan jumlah agama atau jumlah aliran dan > sekte. Setiap agama dan sekte dilindungi untuk tumbuh dan berkembang, > baik agama-agama impor/pendatang (seperti Islam dan Kristen) maupun > agama-agama atau keyakinan lokal (kabatinan, kejawen, dll). Setiap > upaya untuk membatasi jumlah agama atau untuk melarang suatu agama > berkembang adalah satu bentuk penodaan terhadap UUD. Bagi saya, > penodaan terhadap UUD tidak kalah seriusnya dibanding penodaan agama. > Penjelasan UU No 1/PNPS/1965 menyebutkan 6 agama utama (yakni Islam, > Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu) dan 4 agama lainnya > (yakni Yahudi, Zaratustrian, Shinto, dan Thaoism) sebagai benchmark > (standar) untuk mengukur apakah suatu agama bisa diterima untuk hidup > di negeri ini atau tidak. Jika sebuah agama dinilai tidak sejalan > (menyimpang) dari ke-10 agama yang disebutkan itu, maka pemeluknya > dapat ditangkap dan dipenjara. Aturan semacam ini jelas-jelas bersifat > diskriminatif dan menodai rasa keadilan. > Majelis Hakim Yang Mulia, > Saya berpendapat, setiap agama berhak memiliki pandangan tertentu > tentang agama lain. Saya tidak keberatan jika MUI mengeluarkan fatwa > sesat terhadap agama lain, atau KWI menyatakan ada penyimpangan dalam > sebuah denominasi kekristenan. Sudah menjadi karakter agama sejak lama > bahwa mereka saling menganggap sesat satu sama lain. Kristen memandang > agama Islam sesat, Islam memandang agama Yahudi sesat. Orang-orang > Syi’ah memandang pengikut Sunni sesat, dan orang-orang Sunni menganggap > kaum Khawarij sesat. > Ketika agama Kristen muncul di Palestina pada paruh pertama abad > ke-1 M, orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai aliran sesat. Ketika > Islam muncul di Arabia pada abad ke-6 M, Gereja Timur mengeluarkan > dekrit bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad itu sebagai sekte sesat. > Pola muncul dan berkembangnya agama hampir selalu sama. Setiap > kemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang > sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita. > Ketika kanjeng Rasul Muhammad SAW mendaku sebagai nabi, masyarakat > Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh Nabi sebagai orang gila > dan melempari beliau dengan kotoran unta. Para pengikut Nabi > dikejar-kejar, disiksa, dan bahkan dibunuh (seperti yang terjadi pada > Bilal bin Rabah dan Keluarga Amar bin Yasar). Para rasul sebelum Nabi > Muhammad juga mengalami perlakuan sama ketika mereka mengaku sebagai > utusan Allah. Jika tidak disakiti, paling tidak mereka dicemooh atau > ditertawakan. > Hal serupa bisa terjadi pada siapa saja yang mengaku sebagai nabi. > Contoh paling nyata yang ada di sekitar kita adalah Lia Aminuddin, > seorang ibu paruh baya yang tiba-tiba mengaku sebagai nabi dan kemudian > sebagai malaikat Jibril. Orang menganggap Lia telah gila dan sebagian > mereka mendesak pemerintah agar menangkap dan memenjarakannya. > Kesalahan Lia Aminuddin persis sama seperti orang-orang sebelumnya yang > mengaku sebagai Nabi: meyakini suatu ajaran dan berusaha > menyebarluaskannya. > Saya tidak terlalu peduli kalau ada suatu lembaga agama mengeluarkan fatwa > sesat tentang suatu agama atau aliran tertentu. Itu hak mereka untuk > melakukannya. Yang menjadi persoalan adalah jika negara atau pemerintah > ikut campur dan memihak dalam persoalan yang rumit ini. Atas dasar apa > negara melindungi agama tertentu dan mengabaikan agama lainnya? Atas dasar > apa negara memenjarakan pemeluk agama tertentu dan membebaskan pemeluk > agama lain menjalankan keyakinannya? Atas dasar apa negara > mengkriminalisasi sebuah agama atau sebuah aliran? > Saya jadi teringat kata-kata Karl Popper, filsuf Inggris, yang > mengatakan: “Negara adalah suatu kejahatan yang tak terhindarkan: > kekuasaannya tidak boleh dilipatgandakan melebihi apa yang diperlukan.” > Terlalu banyak yang harus diurus oleh negara. Lebih baik negara > mengurus kesejahteraan rakyat, memberantas korupsi, dan mengentaskan > kemiskinan, ketimbang ikut campur mengurus iman dan keyakinan setiap > orang. Negara hanya akan menumpuk daftar kejahatannya jika dia > memenjarakan seorang warga hanya karena keyakinannya. > Majelis Hakim Yang Mulia, > Persoalan utama dari UU No.1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut > campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara tidak boleh > ikut campur dalam urusan agama. Tapi, karena alasan sejarah, negara > kita terlanjur memiliki hubungan yang kompleks dalam persoalan ini. > Bahwa negara mengakomodasi agama adalah bagian dari realitas politik > yang kita miliki, tapi jika negara ikut campur menentukan mana agama > yang benar dan mana agama yang salah, saya kira, negara telah masuk ke > dalam urusan yang bukan wilayahnya. > Bahwa negara bertanggungjawab menjaga stabilitas dan kedamaian > masyarakat, itu sudah menjadi kewajibannya. Tapi, jangan atas nama > ketertiban dan menjaga stabilitas, negara secara semena-mena > memenjarakan orang. Saya menganggap bahwa memenjarakan seseorang karena > alasan “keyakinan berbeda” sebagai sebuah tindakan semena-mena dan > zalim. > Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 melarang setiap orang menceritakan, > menganjurkan, dan menafsirkan sesuatu yang “menyimpang” dari > pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Saya tidak habis > pikir, apa yang ada dalam pikiran para pembuat UU ini. Seluruh sejarah > agama adalah sejarah penafsiran. Islam bermula dari sebuah ajaran yang > sederhana. Penafsiran-penafsir anlah yang membuatnya menjadi kaya dan > kompleks seperti sekarang ini. Penafsiran-penafsir anlah yang mendorong > munculnya ratusan sekte dan mazhab dalam Islam. > Sebagian dari sekte dan mazhab itu dianggap sesuai dengan mainstream, > sebagian lagi dianggap menyimpang. Tapi, penilaian cocok dan tidak > cocok, menyimpang dan tidak menyimpang sangat subyektif, tergantung > siapa yang mengatakannya dan dalam posisi apa dia mengatakan. Jika yang > mengatakannya adalah kelompok agama yang dekat dengan kekuasaan, maka > sudah pasti sekte atau mazhab yang dianggap sesat akan bernasib sial. > Mereka akan dikucilkan dan tidak jarang dimusuhi dan dikejar-kejar. > Sejarah Islam memiliki contoh yang sangat kaya tentang masalah ini. > Ketika kaum Mu’tazilah berkuasa pada abad ke-9 M, seluruh mazhab dan > sekte yang tak sejalan dianggap sesat dan dimusuhi. Majelis Ulama > Mu’tazilah (semacam MUI sekarang) membangun satu lembaga inkuisisi yang > disebut “mihnah,” di mana orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan > yang disahkan negara ditangkap, disiksa, dan dipenjarakan. Para > pengikut aliran Sunni paling banyak yang menjadi korban. Di antaranya > adalah Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali yang sangat > dihormati. Ibn Hanbal ditangkap, tangan dan kakinya dirantai, dan > dipenjarakan karena meyakini sesuatu yang tidak diyakini Majelis Ulama > Mu’tazilah. > Begitu juga, ketika kaum Sunni berhasil mempengaruhi Khalifah > al-Mutawakkil (847-861) untuk menjadikan Ahlussunnah sebagai mazhab > resmi, semua sekte dan mazhab di luar Sunni yang keyakinannya tak > sejalan dengan “pokok-pokok ajaran agama” yang diakui negara, > ditangkapi, diinterogasi, dan diminta bertobat. Jika mereka tak mau > bertobat, penjara menanti mereka. Mu’tazilah adalah kelompok pertama > yang menjadi korban balas dendam kompetisi antar sekte ini. > Dendam karena agama selalu berdampak sangat buruk. Tidak hanya memusuhi > dan menangkapi kaum Mu’tazilah, kaum Sunni di bawah Khalifah > al-Mutawakkil juga memperluas permusuhannya kepada orang-orang > non-Muslim. Selama pemerintahannya, kaum Yahudi dan Kristen tak > diperbolehkan mendirikan Sinagog dan Gereja. Mereka diharuskan > mengenakan pakaian yang berbeda dari kaum Muslim pada umumnya (persis > seperti kebijakan Nazi pada era Hitler). Kaum Yahudi dan Kristen juga > dilarang menggunakan hewan apapun untuk kendaraan mereka kecuali > menggunakan keledai. > Sayang sekali pada masa itu belum ada mekanisme Judicial Review atau > Uji Materil ke Mahkamah Konstitusi. Tentu saja, saat itu belum ada MK > dan belum ada demokrasi, seperti yang kita miliki sekarang. Siapa yang > berkuasa dialah yang menentukan hitam-putihnya suatu ajaran. Sesat dan > tidak sesat sangat bergantung kepada penguasa, menyimpang dan tidak > menyimpang tergantung bagaimana pemerintah bisa dipengaruhi oleh para > ulama yang bernafsu menerapkan satu kebenaran yang mereka anut. > Majelis Hakim Yang Mulia, > Kita hidup di zaman modern, di zaman di mana kebebasan dan demokrasi > memungkinkan kita untuk mengadu jika kita merasakan suatu ketidakadilan > dalam sebuah aturan atau undang-undang. Tujuan kita mendirikan lembaga > semacam Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengoreksi kalau-kalau suatu > produk hukum yang dibuat di masa silam tidak lagi sesuai dengan > semangat zaman, tidak lagi cocok dengan rasa keadilan di mana kita kini > semua hidup. > Tampaknya kita harus menyimak lagi apa yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau > dalam karyanya yang terkenal, The Social Contract. Rousseau menegaskan bahwa > “manusia harus diperlakukan sebagaimana dia, > sementara hukum harus diperlakukan sebagaimana baiknya.” Bukan manusia > yang mengikuti hukum, tapi hukumlah yang harus menyesuaikan diri dengan > perkembangan dan dinamika manusia. > Ketika tokoh-tokoh terhormat yang selama ini dikenal sebagai pejuang > demokrasi dan HAM, seperti almarhum KH Abdurrahman Wahid, Prof. Dawam > Rahardjo, Prof. Dr. Musdah Mulia, dan sejumlah sarjana dan intelektual > lainnya, mengusulkan agar UU No.1/PNPS/1965 ditinjau ulang, saya kira > niat mereka sangat baik: bukan untuk kepentingan mereka sendiri, tapi > untuk kepentingan bangsa ini ke depan. Jika mereka melihat bahwa UU itu > tidak bermasalah, untuk apa dipersoalkan? Untuk apa mereka dan kita > semua menghabiskan waktu dan energi berminggu-minggu membahas sesuatu > yang tak bermasalah? Jelas, ada masalah serius dengan UU ini. Dan > karena itu semua, kita berada di sini, mendiskusikannya dan mengujinya, > untuk kebaikan bangsa ini, untuk kebaikan kita semua. > Saya tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa > absennya UU semacam ini bakal memunculkan kerisauan atau kekacauan. > Sebaliknya, saya berpandangan bahwa UU inilah yang selama ini mendorong > kekacauan dan ketegangan di tengah umat beragama. Lihatlah setiap kasus > yang ditengarai sebagai kasus “penodaan agama.” Siapa yang membuat > rusuh? Siapa yang membuat onar? Dan siapa yang membuat kekacauan? Bukan > Lia Aminuddin (pendiri Salamullah), bukan Ardi Husein (penulis buku > Menembus Gelap Menuju Terang), > bukan Sumardin (pelaku shalat bersiul), dan bukan Yusman Roy (penganjur > shalat dua bahasa). Kekacauan dan onar selalu dilakukan oleh sekelompok > orang yang merasa absah melakukan tindakan brutal itu karena didukung > UU No.1/PNPS/1965. > Saya juga tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa > keberadaan UU itu telah menciptakan kerukunan umat beragama di negara > kita. Siapa bilang kita negeri yang bebas dari persekusi agama? Siapa > bilang kita negeri toleran yang menghormati kebebasan beragama setiap > orang? Simaklah laporan-laporan dan index kebebasan beragama yang > diterbitkan oleh lembaga-lembaga berpengaruh semacam Freedom House atau > Hudson Institute. Dalam daftar mereka, Indonesia selalu menempati > urutan teratas dalam hal pelanggaran terhadap kebebasan beragama. > Selama kelompok mayoritas merasa memiliki landasan hukum untuk > membubarkan atau menutup suatu sekte atau mazhab yang tidak sesuai > dengan keyakinan mereka, selama itu pula kita kesulitan memperbaiki > indeks kebebasan beragama yang kita miliki. Kita disorot dunia dan > diberi rapor merah setiap tahun. > Kita hidup di zaman modern. Negara-negara yang maju tidak lagi > mengurusi soal iman seseorang. Negara harus memberi kebebasan bagi > setiap orang menyembah atau memeluk keyakinan apapun. Satu-satunya > alasan bagi negara untuk menangkap dan mengadili penganut agama adalah > jika sang penganut itu melakukan tindak kekerasan atau jelas-jelas > membuat onar di tengah masyarakat. Jika seseorang menganut keyakinan > tertentu, menafsirkannya, dan menyebarluaskannya, sesuai dengan > seleranya, negara harus menghormati dan melindunginya. Tidak boleh ada > penangkapan atas nama iman dan keyakinan seseorang. > Akhirnya, saya ingin mengajak kita semua untuk berendah hati dan > berprasangka baik. Kita hadir di sini bukan untuk mempertontonkan > kekuasaan atau kekuatan, tapi untuk mencari solusi buat kehidupan kita > yang lebih baik ke depan. Almarhum KH Abdurrahman Wahid dan beberapa > tokoh terhormat lainnya telah bersusah-payah mengusulkan agar UU ini > ditinjau ulang, sekali lagi, bukan untuk kepentingan mereka, tapi untuk > kepentingan kita semua, untuk kepentingan bangsa ini. > > Wassalamu’alaikum Wr. Wb. > > Send instant messages to your online friends http://uk.messenger > .yahoo.com <http://uk.messenger.yahoo.com> > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > > -- ----------------------------------------------------------- AGUS PAKUSARAKAN +62 812 837 7662 www.blogs.garutleather.com ----------------------------------------------------------- www.independen.wordpress.com