Thursday, July 8, 2010 at 1:20pm
Undak Usuk Politik Sunda
Oleh ASEP SALAHUDIN

Nampaknya sudah lama diperdebatakan undak usuk kaitannya dengan bahasa,
perlu tidaknya undak usuk dipergunakan dalam komunikasi masyarakat Sunda
sekarang ketika justru pada saat yang sama bahasa nasional telah mengubah
bahasa ibu keseharian terutama di kota-kota besar.

Hampir sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sejatinya undak usuk yang
berkembang dalam pakumbuhan bahasa Sunda adalah sebagai pengaruh dari bahasa
Jawa ketika Parahiyangan dikuasai Mataram (Sultan Agung) pada abad ke-17
seperti ditulis para ahli bahasa semacam Ayatrohaedi (1980), Tini Kartini
(1977), Husain Widjadjakusumah (1971) atau dalam telaah lebih awal pra
kemerdekaan sebagaimana yang ditulis C. Coolsma (1913), DK Ardiwinata
(1916), J. Kats dan M. Soeriadirja (1927) dan R. Satjadibrata (1943).

Tentu saja Mataram menguasai tatar Pasundan bukan hanya dari sisi fisik
saja, namun juga penguasaan epistemologi dalam hal ini bahasa. Sebentuk
kolonisasi bahasa untuk mempertahankan kuasa dan wibawa. Ini menunjukkan
bagaimana eratnya bahasa relasinya dengan politik. George Orwell pernah
menulis, 'Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan kelihatan jujur
dan pembunuhan nampak sopan' (2004).

Ketika bahasa sebagai lambang paling kentara dari konstruksi budaya yang
dibelakangnya terbentang pandangan hidup, cita-cita, gagasan, sistem
kepercayaan. falsafah sudah dapat dipengaruhi dan 'dikendalikan' maka
penguasaan itu akan dianggap sebagai satu 'takdir' yang musti diterima
dengan lapang. Politik bahasa seperti ini yang disebut Gramsci sebagai
hegemoni atau reifikasi dalam pemaknaan Milan Kundera. Budaya seperti
definisi EB Taylor sebagai gugusan hal yang kompleks terbentang mulai urusan
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta
kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Atau dalam
istilah Clifford Geertz budaya sebagai serangkaian cerita mengenai diri kita
yang kita ceritakan pada diri kita sendiri. Kita dapat membayangkan
bagaimana biasnya cerita budaya itu ketika justru bahasa yang mewadahinya
sudah tidak otentik lagi, gagasan yang diriwayatkannya sudah dipenuhi oleh
kepentingan-kepentingan politik yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan akar kultural Ki Sunda itu sendiri.

Cultural Studies

Cultural Studies yang didirikan pada tahun 1964 dengan para penggagasnya
semacam Richard Hoggart, Raymond Williams, EP Thompson, dan Stuart Hall
minimal dapat mendeteksi penguasaan-penguasaan budaya-bahasa seperti itu. 

Kalau kita membaca literasi tradisonal Pasundan pra Mataram akan kita
temukan bahasa Sunda egalitarian yang sama sekali tidak mencerminkan
hierarki dan undak usuk yang rumit. Bahasa yang pada akhirnya menawarkan
cermin sosial, politik dan budaya yang juga sangat terbuka, transfaran,
tidak heurin ku letah. Rakyat dan raja terbangun dalam sebuah relasi
kekuasaan yang basajan dan tanpa sekat yang ketat. Masyarakat dan raja dapat
ngadu bako satu meja sehingga tidak perlu lagi melakukan konspirasi untuk
memasukkan mata anggaran dana aspirasi yang hakikatnya tidak lebih adalah
konstitusionalisasi praktek korupsi.

Historiografi tradisional yang dibuat abad 16 seperti Amanat Galunggung,
Siksakandang Karesian, atau Carita Parahiyangan dengan jelas berbicara
dengan gaya bahasa seperti ini. Inilah yang dalam kajian budaya komunikasi
dikatakan dengan "kumunikasi konteks rendah", komunikasi yang bruk-brak.

Sebaliknya, akan mudah kita temui ragam bahasa yang penuh undak usuk pada
literasi pasca abad 17. Seperti dapat dibaca dalam Wawacan Pandjiwulung
(Raden Muhammad Musa, 1913), Pangeran Kornel (R. Memed Sastrahadiprawira
1930) Mantri Jero (R. Memed Sastrahadiprawira 1928), Wawacan Purnama Alam
(R. Soeriadireja, 1956), Wawacan Rengganis (1957), dan sebagainya yang kita
sebut dengan komunikasi konteks tinggi, komunikasi "heurin ku letah". 

Mengimbasi politik

Ternyata undak usuk ini bukan sekadar persoalan fenomena kebahasaan yang
bertalian dengan urusan rengkuh, lentong, dan pasemon, namun juga mambawa
imbas yang sangat besar dalam pergaulan dan relasi politik etnis Sunda
sampai saat ini.

Sebuah formula politik Sunda yang tidak vokal, kumaha anu dibendo, tidak
berani mengambil keputusan dengan cepat, mangga ngiringan wae, someah ka
semah (dalam arti negatif), teu payaan (sensitif dan sentimentil). Inilah
jawaban dari abennya militansi manusia Sunda sehingga hari ini sulit kita
menemukan tokoh nasional yang dapat diperhitungkan yang datang dari Sunda
yang secara nominal sebenaranya adalah etnis terbesar setelah Jawa. Menjadi
tidak aneh seandianya wacana kepemimpinan nasional setiap Pemilu tidak ada
satupun yang datang dari Sunda dengan basis kultural yang kokoh.

Inilah yang menjadi bibit buit masyarakat Sunda hanya menjadi bancakan dari
sekian banyak partai tanpa orang Sundanya sendiri menjadi bagian penentu di
dalamnya bahkan partai-partai baru sekalipun acapkali menjadikan tatar
Padjajaran sebagai laboratorium raihan suaranya. Mereka tahu sepenuhnya
bahwa Sunda kiwari hanya sekadar merujuk kepada makna geografi dengan
sekumpulan manusianya yang serba anomali. Bahkan di kampung halamannya
sendiri ki Sunda itu semakin ngarangrangan. Jati ka silih ku junti menjadi
fenomena sehari-hari.

Latar psikologis seperti ini yang menjadi modal sosial tempo hari
Kurtosuwiryo memobilisasi ratusan ribu 'mang karta' dan 'mang wirya' untuk
antri berada di belakangnya mendukung target polilitk ideologisnya yang
nyamuni. Ini pula yang menjadi sababiyah sekian banyak ormas 'garis keras'
menggarap masyarakat Sunda untuk menjadi anggotanya karena mereka faham
masyarakat Sunda sedang kehilangan haluan kulturalnya. Haluan kultural yang
kian redup yang pada gilirannya akan mengakibatkan seseorang (dan suku)
ngagugu terhadap apapun yang dikatakan 'orang luar' padahal seperti pernah
ditulis Haji Hasan Mustapa, seorang filsuf dan sastrawan terkemuka: Lamun
jalma kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur, tangtu ripuh anu ngagugu
ngenah anu digugu//Lamun jalma embung ngagugu kana kahayang batur, tangtu
ripuh nu hayang digugu, ngenah nu embung ngagugu//Anu matak rapihna lamun
silih gugu, satengah jeung satengah, sakadar henteu matak ripuh salah
saurang.

Tentu saja situasi seperti ini harus lekas diakhiri. Undak usuk bahasa kalau
sepakat dipertahankan maka tidak semestinya mambawa pengaruh psikologis
dalam kehidupan sosial politik. Spirit Padjajaran pra Mataram harus lekas
ditumbuhkembangkan karena kultur seperti ini nampaknya yang sebanding lurus
dengan nilai-nilai rasionalitas demokrasi kekinian. 

Penulis, wakil rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya
Di muat di HU Kompas Jabar, Rabu, 07 Juli 2010

Kirim email ke