Lah kang, Maranehna (nu berkuasa) siganamah teu pati mikiran teuing
nukararitu. Nu dipikiran ku manehna, kumaha jaga imej, kumaha men-tackle
lawan, kumaha ngamankeun posisi, jrrd. Urusan nagara belakangan. eta
ceuk kuring nu bodo jeung sok suudzon.
Tapi da kumaha rek teu suudzon kang, pamarentah aya undang-undang aya,
tapi naha kahirupan rahayat leutik beuki sararusah lain raharja?
--
R. Irpan Rispadi Raksagalaksibimasakti Nupaling Ningrat, teureuh Planet Krypton
On 07/29/2010 04:18 PM, tantan hermansah wrote:
Opini Kuring Ngenaan CAFTA di Detik.com
http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/29/094800/1409018/471/cafta-adakah-peluang-negosiasi?882205470
<http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/29/094800/1409018/471/cafta-adakah-peluang-negosiasi?882205470>
* *
*Jakarta* - Jika melihat koridornya China-ASEAN Free Trade Area
(CAFTA) jelas tidak mungkin ditolak. Perjanjian yang diberlakukan
efektif sejak 01 Januari tahun 2010 ini sesungguhnya sudah
dibicarakan, dirumuskan, dan disepakati sejak lama. Bahkan, jika
melihat beberapa kajian ilmiah yang mengerangkainya --contoh: Sheng
Lijun, 2003, perjanjian ini antara lain didorong karena hubungan baik
antara China dengan ASEAN sejak sebelum tahun 90-an.
Sejak itu China terus melakukan kajian, perbincangan, dan lobi agar
bisa masuk ke ASEAN. Hasilnya, pada tahun 2001 dalam sebuah forum
Negara-negara Asean di Thailand, China mempresentasikan kehendaknya
pada forum tersebut yang akhirnya melahirkan kesepakatan CAFTA ini.
Berbeda dengan China yang sangat serius menyambut peristiwa ini kita
justru lupa bahwa sesungguhnya perjanjian tersebut terus berjalan.
Hiruk-pikuk politik dalam negeri seperti Otonomi Daerah (cq
desentralisasi), kemudian pilpres, dan lain-lain, seakan melebur
ingatan para pemimpin negeri ini bahwa ada naga yang tengah menunggu
pintu halaman dibuka.
Maka tidak mengherankan ketika akhirnya, seiring dengan berjalannya
waktu, pintu tersebut dibuka, kita seperti terkaget-kaget. Betapa
tidak. Di tengah 'kegagahan' aktor politik kita di DPR, Naga itu kini
hadir menyerbu, merangsek terus kehidupan sosial-ekonomi kita.
Tanpa mengabaikan upaya politik yang tengah ditempuh para politisi
hendaknya kita jangan kehilangan substansi dari perjanjian tersebut.
Sebelum berlangsung lebih jauh ada baiknya kita kembali menengok
kepada diri kita sendiri. Agar kita mampu menyiapkan amunisi untuk
menghadapi era ini.
Pertama-tama hal yang harus kita pahami adalah bahwa FTA hanya
sebagian dari agenda besar yang sifatnya global, yang kelak "jika
pendekatan linier kita pakai" akan diikuti oleh beberapa agenda lain
seperti Customs Union (CU), Common Market (CM), Economic Union (EU),
dan Political Union (PU) (Achsani: 2004; 2010). Masing-masing fase
tersebut memiliki kekuatan dan agendanya sendiri-sendiri yang intinya
siap atau tidak kita harus menghadapinya.
Bagaimana dengan peluang negosiasi? Negosiasi harus terus ditempuh.
Namun, jangan lupa bahwa secara substansial masa negosiasi itu belum
akan mengubah apa yang tengah terjadi. Terlebih lagi jika secara riil
daya saing kita di mata internasional anggota CAFTA tersebut sangat
lemah. Sehingga, peluang untuk negosiasi harus diimbangi kekuatan
negosiasi lainnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi CAFTA
ini dengan tetap menghormati perjanjian yang berlaku. Hal ini
dilakukan antara lain dengan membuat persyaratan yang lebih ketat
kepada barang yang akan masuk ke Indonesia. Antara lain:
Pertama, barang yang masuk harus memenuhi kriteria halal, ekologis,
dan TJSL. Misalnya, barang-barang dari luar yang boleh masuk harus
memenuhi standar di Indonesia seperti kehalalan jika itu menyangkut
produk makanan dan minuman.
Alasannya bahwa pemerintah melindungi konsumennya. Bentuk kehalalan
itu harus diperluas dan diperdalam termasuk pada proses produksi di
daerah tempat mereka berpoduksi, proses pengemasan, dan sebagainya.
Selain harus lulus standar itu, kemasan juga harus mencerminkan
Indonesia, misalnya bungkusnya harus berbahasa Indonesia, dan sebagainya.
Jika produk tersebut bukan makanan dan minuman, misalnya industri
tekstil, alas kaki, dan sebagainya, maka ketetapan yang bisa
dilakukan oleh pemerintah masih memiliki banyak peluang misalnya
dengan memberikan standar yang tinggi pada keamanan lingkungan. Saat
ini ecological friendly sangat sejalan dengan gagasan dunia tentang
ekonomi atau peradaban hijau.
Selain itu pemerintah juga bisa membuat ketetapan lain seperti bahwa
produk yang diperbolehkan masuk harus merupakan hasil proses industri
yang sangat kuat dalam melaksanakan TJSL (tanggung jawab sosial
lingkungan) atau CSR di tempat barang-barang tersebut diproduksi.
Kedua, profesional-nasionalisme. Kita tidak bisa membangun Indonesia
jika kita sendiri merubuhkan sendi-sendinya. Maka untuk kaum
profesional yang masuk dan bekerja di Indonesia pemerintah bisa
membuat ketetapan lainnya. Contoh yang paling mudah adalah dengan
memberlakukan sertifikat kemampuan berbahasa Indonesia dan salah satu
bahasa lokal/ daerah di mana mereka akan berusaha/ bekerja.
Dituntutnya kemampuan ini selama ini tidak dieksplisitkan. Bahkan,
tidak jarang di perusahaan Indonesia banyak orang asing ada yang tidak
pernah berbahasa Indonesia sama sekali.
Ketiga, melakukan proses integrasi ekonomi-politik regional. Hal ini
diperlukan karena saat ini proses transformasi ekonomi tidak
terintegrasi dengan baik ke daerah. Fakta ini tercermin pada banyaknya
peraturan di daerah yang tidak menginduk ke pusat.
Padahal harmonisasi aturan akan memberikan kontribusi penting bagi
peningkatan daya saing produk kita di tingkat CAFTA. Sebab, seperti
kita ketahui bahwa pergerakan barang hasil produksi di Indonesia saat
ini sangat kental dengan nilai tambah perjalanan (pungutan liar) yang
akhirnya menyebabkan barang kita susah bersain karena biaya produksi
yang membengkak.
Proses penyelarasan sektor ekonomi dan suasana politik ini sangat
penting. Sebagai contoh jika sebuah daerah (bisa provinsi atau
kabupaten) tengah melaksanakan pilkada lalu di daerahnya kemudian
ekonomi tidak tenang maka bisa dipastikan bahwa hal itu akan
mengganggu kinerja ekonomi di daerah sebelahnya. Hal ini tentu akan
menambah biaya yang tinggi.
***
Indonesia jelas tidak sedang menolak CAFTA. Meski berat tapi kita
harus menghadapinya sama-sama. Jika pemimpin bangsa ini percaya bahwa
selalu ada kesempatan dalam setiap tantangan maka dampak buruk CAFTA
bisa kita hadapi dengan tegar dan memanfaatkannya sebagai peluang.
*Tantan Hermansah
/Dosen Sosiologi Pedesaan UIN Jakarta.
Perum VMB BOgor, Blok B7 N0 02
Tanah Sareal Bogor /*