[Esai]

Penulis sebagai Petani
---Anwar Holid

Mungkin karena pekerjaan sampingan ayahku bertani, aku sering mengibaratkan 
penulis sebagai petani. Di sela-sela kerja utamanya sebagai guru dan kepala 
sekolah dasar, di desanya ayahku punya satu-dua bidang tanah yang dia garap 
untuk ditanami berbagai tumbuhan. Sekarang, aset terbesarnya ialah sepetak 
kebun jati yang batangnya baru sebesar badan anak berumur sepuluh tahunan. 
Dulu, di satu ladang dia menanam jagung, di ladang lain ada singkong atau 
rambutan. Di lain waktu, dia menanam padi, kelapa dan pisang---dua tumbuhan ini 
bisa dikatakan berbuah abadi dan senantiasa ada di kebunnya. 

Bekerja sebagai petani butuh tenaga fisik cukup besar. Pada beberapa kasus, 
lahan pertanian bisa berada di tempat yang sulit dijangkau dan cukup berbahaya, 
misalnya di lereng gunung, tempatnya jauh, di bibir jurang, atau di tanah itu 
banyak batu besar berserakan. Kita harus menyiangi, membersihkan dari tanaman 
lain yang mungkin mengganggu dan mengambil jatah makan, menyirami, memupuki 
(dari membeli tentu saja!), dan terus memperhatikan perkembangannya. Siapa 
tahu, tanpa muncul gejala lebih dulu, mendadak hama menyerang, atau entah dari 
mana asalnya tiba-tiba tananam itu diserang penyakit. Meski baik-baik 
dipelihara, bisa saja tanaman itu mati begitu saja tanpa sebab jelas. Kejadian 
menjengkelkan seperti itu bisa terjadi dalam berbagai taraf, mulai dari yang 
ringan, jamak, bisa diatasi, hingga berupa gagal panen ditambah kerusakan alam. 
Seberapa sering kita mendengar berhektar-hektar sawah terendam, kekeringan, 
atau diserbu belalang dan tikus, membuat
 petani merugi besar-besaran. Sia-sialah usahanya berbulan-bulan memelihara dan 
berharap panen. Kalau petani itu beriman, dia akan berserah diri dan mengadukan 
nasib pada Tuhan; sadar betapa kejayaan dan kejatuhan itu bagian dari 
kehidupan. Tapi bila si petani kurang sabar, mungkin dia akan menyalahkan alam 
dan memaki Tuhan.

Dari ayah, aku belajar jadi petani itu pada dasarnya bisa cukup fleksibel, 
namun harus punya bekal memadai sebelum dan selama memelihara tanaman. Meski 
mungkin bisa kalau belajar dulu, ayahku belum pernah menanam vanili, cokelat, 
bengkuang, atau berkebun bunga. (Kakek & nenekku justru sudah lama berkebun 
cokelat). Bisa jadi dia tak tertarik menanam itu semua, tapi bisa jadi karena 
tanahnya kurang cocok untuk tanaman tersebut atau dia buta cara menanam maupun 
memanfaatkannya, misal ke mana harus menjual, bagaimana mengolah, atau 
menggunakannya. Maka sejauh ini dia menanam yang paling dia kuasai. Menjelang 
pensiun, ayahku belajar dua hal baru: memelihara kambing dan membuat kolam 
untuk ditanami ikan. Dia sukses memelihara ikan, bisa membuat mereka tumbuh 
besar, dan memanennya; tapi cukup gagal memelihara kambing. Dua dari tiga anak 
kambingnya mati dengan segera.

Di Lembang, Jawa Barat, ada petani bunga, sayur-mayur, dan jamur. Meskipun 
bertetangga, tidak masing-masing dari mereka bisa menanam tiga jenis tanaman 
itu secara berganti-gantian. Artinya, petani bunga bisa akan makin tahu dan 
ahli dengan bunganya, dan mungkin tak akan pernah menanam jamur, meskipun 
harganya bisa jadi menggiurkan. Sebaliknya, di antara petani jamur itu ada yang 
tadinya berasal dari kota. Mereka menjual rumah dan tanah, kemudian pindah ke 
Lembang, sudah belajar dan tahu cara menanam jamur, hingga kemudian sukses 
menjadi petani jamur, baik dengan memasok jamur ke hotel dan pasar khusus, 
maupun langsung ke pasar umum.

Dari petani, kita belajar untuk mengenal dulu karakter tanaman sebelum 
dipelihara, cara mengurus, dan konsisten terhadap tanaman tersebut. Tujuannya, 
agar ke depan, kita makin ahli menanamnya. Petani gladiol akan makin kenal 
perilaku bunga andalannya bila dia bergumul bertahun-tahun dan mempelajari cara 
menghadapi bunga tersebut. Aku pernah dengar seorang peternak kelinci berkata 
bahwa manusia itu mirip dengan manusia. Dalam hal apa misalnya? Kalau salah 
makan, ia akan mencret dan sakit. Kalau cuaca dingin, mereka lebih suka 
bergumul agar mendapat kehangatan. Kalau kepanasan mereka lebih suka diam dan 
istirahat.

Kalau kehidupan petani itu kita tarik dalam kehidupan penulis, kejadiannya 
sedikit-banyak cukup mirip dan bisa dibandingkan. Sebagian penulis hanya bisa 
menulis jenis tertentu. Seorang wartawan bisa jadi gagal kalau diminta menulis 
novel. Meskipun ada beberapa wartawan yang lancar juga menulis novel, misalnya 
Seno Gumira Ajidarma dan Akmal Nasery Basral. Pilihan antara mau jadi spesialis 
atau generalis bisa jadi pelik dan fleksibel, tergantung kebutuhan dan faktor 
kreatif. Sebagian penulis hanya bisa menulis fiksi, hanya mampu menggubah 
puisi, menulis naskah drama, menyusun proposal, menciptakan teks iklan, menulis 
memoar, atau menjadi scriptwriter. Tapi mungkin pada akhirnya seorang penulis 
ingin dikenal di satu-dua bidang tertentu yang di situ dia ahli dan cukup 
dihormati karya-karyanya, dan sebaliknya, publik juga mudah mengidentifikasi 
kehadiran dan karyanya. Kita lebih mengidentifikasi Ignatius Haryanto sebagai 
jurnalis dalam arti umum, dan punya
 integritas di sana, padahal ia juga produktif menulis buku dengan beragam tema 
atau memiliki perhatian besar dalam persoalan analisis wacana.

Kalau dilatih dan diusahakan, seorang penulis kemungkinan besar akan mampu 
menulis segala jenis tulisan. Asal persiapan dan ilmunya cukup, penulis pasti 
akan bisa menulis novel, berita, buku, memoar, opini, dan lain sebagainya. 
Kemampuan untuk menguasainya bisa dilatih dan dipelajari---apalagi ditambah 
jargon "kreatif" dalam dunia penulisan. Tinggal persoalannya ialah apa dia mau, 
merasa mampu, atau bahkan merasa bagus dan berwenang (otoritatif) untuk menulis 
subjek tersebut. Contoh, aku pernah mengajukan proposal penulisan buku biografi 
grup U2. Editor penerbit bersangkutan menolak usul itu karena amat ragu bakal 
ada orang Indonesia yang mau beli biografi tersebut bila yang menulis adalah 
aku, sebab aku bukan siapa-siapa di kancah jurnalisme musik. Alasan dia masuk 
akal. Tapi mungkin juga karena aku cukup punya pengalaman menulis biografi, 
dulu ada sebuah penerbit yang menawari aku agar bersiap-siap untuk menjadi 
ghost writer bagi Nazril Irham! Tapi
 sayang rencana itu abortif. (Kalau sukses, kata temanku kemarin, mungkin aku 
bisa mendapat 32 video yang kini dihebohkan orang-orang.) Bisa jadi Anda mampu 
menulis puisi, tapi kalau tak ada yang mengakui kemampuan itu, bisa jadi 
lama-lama Anda akan putus asa.

Di novel The Ghost Writer, Robert Harris menceritakan seorang penulis yang 
mampu beralih subjek sesuai pesanan karakter klien, mulai dari sepakbola, 
musik, film, maupun politik. Kemampuan itu cukup mirip dengan petani yang bisa 
fleksibel menanam berbagai tumbuhan---orang biasa menjuluki petani seperti itu 
"bertangan dingin." Dalam kasusku, aku sudah beberapa kali berhasil menulis 
tentang subjek yang sangat jauh dari perhatian utamaku. Meski cukup sukar, 
bukankah itu merupakan bukti bahwa bila kita mengeluarkan kemampuan maksimal 
dan berusaha keras, kerja tersebut mampu membuahkan hasil---apalagi ada ahli 
yang memeriksa, memberi masukan, dan menilai apa yang kita lakukan sudah benar 
atau belum. Tentu pembaca umum silakan menilai sendiri atau menyangsikan 
tingkat keberhasilan tersebut; apa tulisan tersebut bermanfaat atau sekadar 
mengulang informasi basi. Tentu baik-baik saja bila Anda memilih satu subjek 
sebagai pilihan karir, bahkan sangat mungkin ke
 depan Anda akan makin dalam dan hebat menguasainya. 

Setelah berlatih, berusaha kreatif dan inovatif, mencurahkan tenaga dan 
perasaan sehebat mungkin, terus menghasilkan karya, belum tentu hasilnya sesuai 
harapan penulis. Bisa jadi tulisan itu gagal, ditolak penerbit, disangsikan 
teman dekat, diabaikan pembaca, harus diperbaiki di sana-sini sampai membuat 
penulis kepayahan, batal terbit, tetap dianggap sebagai main-main, atau paling 
parah manuskrip karya itu hilang, dicuri, dan tak kembali lagi. Itulah gagal 
panen bagi penulis. Apa itu merupakan upaya sia-sia? 

Ada dua hal yang bisa dilakukan penulis kalau ia gagal panen. Pertama, mengubah 
strategi menulis; kedua pindah ke bidang lain yang memungkinkan dirinya lebih 
sukses. 

Kalau menulis hanya membuat orang sengsara, tersiksa, terabaikan.... tinggalkan 
saja. Beralihlah ke bidang lain yang bisa membuat kita berhasil. Menulis 
hanyalah salah satu aktivitas dari kehidupan yang begitu ramai ini. Kalau orang 
memaksakan diri masuk ke sana dan membuatnya sakit; aku lebih suka 
menyarankannya berhenti dan memasuki dunia yang lebih mudah buat dia. Seorang 
kawan menasihati: "Ketika kegagalan datang beruntun di bidang yang sama, itu 
tanda waktu kita buat 'mendengar.' Sering kita lebih sibuk 'bicara' lewat 
karya, tapi kedodoran dalam 'mendengar' persepsi orang lain tentang karya itu, 
padahal merekalah pasar dari karya kita." Kadang-kadang menulis itu merupakan 
satu-satunya dunia yang bisa dimasuki seseorang, maka dia habis-habisan untuk 
memperjuangkan karyanya. 

Tentu lain soal kalau kita mendapati penulis bertipe seperti Emily Dickinson 
atau John Kennedy Toole; keduanya menulis sesuai idealitas sendiri yang agak 
lain dengan kecenderungan umum zamannya. Meski semasa hidup tulisannya redup, 
dianggap tiada, gagal terbit... baru setelah meninggal bisa terbit, masyarakat 
luas segera tercerahkan dan sadar betapa hebat karya itu. Itulah penulis yang 
berkarya dengan keyakinan dan keuletan diam-diam, bahwa dia harus berkarya 
seperti itu. Keduanya pantang menyerah hanya karena semasa hidup tulisannya 
dianggap gagal dan ia secara fisik, finansial, dan emosi sia-sia menikmati buah 
yang ia pelihara. Namun toh akhirnya karya itu berkembang dan bersinar, mewangi 
di kemudian hari. Moralnya, kalau kita yakin bahwa kita punya misi untuk 
menulis sesuatu, lakukanlah sebaik mungkin. Dengan izin Tuhan karya itu akan 
abadi dan bisa dinikmati umat manusia kapan saja. Sudah banyak bukti dari 
cerita tentang penulis seperti itu. Di dunia
 pertanian, ada jenis petani yang dianggap aneh karena cara bercocok tanamnya 
unik dan butuh bertahun-tahun untuk meyakinkan publik bahwa cara seperti itu 
bisa diterima dan lebih selamat bagi alam.

Ada cerita seorang penulis senior datang ke penerbit menawarkan naskah. Setelah 
melihat dan membaca karya itu, editor menilai bahwa karya bapak itu serius, 
berat, segmented, bakal sedikit pembaca yang mau beli. Dia berkata, "Pak, 
tulisan bapak bagus, mendalam, berat, namun tetap cukup enak dinikmati. 
Sayangnya, kalau kami terbitkan naskah bapak, tak akan ada orang yang mau beli 
buku itu. Pasarnya terlalu kecil. Sekarang kami tawarkan, bagaimana kalau bapak 
menulis tema-tema yang kami butuhkan? Dengan kemampuan bapak yang hebat dan 
sudah terlatih, saya yakin bapak bisa menulis tema yang kami butuhkan, pasarnya 
cukup besar, dan sedang banyak dicari pembaca." Mula-mula bapak ini keberatan 
karena ia harus menulis sesuatu yang bukan intensitasnya atau temanya kurang 
dia sukai. Tapi setelah berhasil diyakinkan, akhirnya dia mau mencoba. 
Hasilnya? Karya-karya dia bisa terbit dan laku di pasar. Penerbit dan penulis 
sama-sama senang dan menang. Apa arti dari
 karya-karya dia yang ditolak? Mari kita anggap itu sebagai latihan melemaskan 
saraf menulis dan latihan intelektual. Paling buruk, karya itu suatu ketika 
bakal jadi artifak yang akan ditemukan arkeolog atau peneliti arsip. Bayangkan 
kalau bapak itu menolak permintaan editor; dia harus mencari-cari terus 
penerbit yang cocok dengan naskah itu. Mungkin hingga sekarang dia akan 
berstatus "penulis yang sedang berjuang." Kalau seorang petani terus-terusan 
gagal dengan tanaman yang telah dia pelajari baik-baik karakter dan cara 
pemeliharaannya, mungkin saatnya dia harus ganti tanaman. Kalau dia gagal 
menanam semua tumbuhan yang pernah dicobanya, mungkin dia memang tak berbakat 
jadi petani. Beralihlah dia mengoptimalkan bakat dan kemampuan lain dalam 
dirinya, misalnya berdagang atau jadi tukang.

Roy Peter Clark, seorang guru penulisan dari Amerika Serikat, lebih suka 
mengibaratkan penulis sebagai tukang kayu. Karena itu dia menyatakan bahwa 
penulis butuh perabot daripada aturan. Dalam Writing Tools, dia menyebut lima 
puluh perabot terpenting bagi penulis---dimasukkan ke dalam empat kotak 
besar---yang bisa digunakan untuk menciptakan tulisan hebat dan bermanfaat. 
Tukang kayu bertugas menciptakan benda-benda bermanfaat bagi penggunanya, 
termasuk memperbaiki bila benda-benda itu rusak. Jadi selain mula-mula 
membayangkan akan jadi apa kayu-kayu yang ada di tangannya, ia harus bisa 
membuat benda itu sampai terwujud sempurna. Di lain kesempatan, kalau 
barang-barang itu rusak, bisa dengan cekatan memperbaikinya, tahu apa yang 
rusak, dan tahu persis cara mengubah atau merombak agar indah dan berfungsi 
sempurna.

Strategi lain yang bisa ditempuh penulis agar lebih taktis berkarya ialah 
dengan lebih dulu mengajukan proposal penulisan yang kira-kira potensial 
diterima penerbit dan asyik untuk digarap dengan penuh semangat. Melalui 
proposal penulisan, penulis mula-mula hanya perlu membayangkan ideal buku itu 
nanti seperti apa, apa isinya, bagaimana karya itu akan disajikan, bagaimana 
cara membuatnya jadi menarik, apa nilai lebih maupun keunggulan dari karya itu, 
menyebut alasan kenapa dirinya pantas menulis subjek tersebut, siapa kira-kira 
dan seberapa luas pangsa pasarnya. Dengan begitu, penulis hanya akan menggarap 
usul yang disetujui; dia bisa menghemat tenaga untuk kerja-kerja produktif yang 
pasti akan ada pasarnya. Selebihnya dia bisa konsentrasi dan obsesif untuk 
mewujudkan karya-karya ideal yang bisa dia cita-citakan.

Dulu, ayahku bukanlah petani tulen. Namun kini setelah pensiun, mungkin dia 
mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya pada ladang, tanaman, dan ternak yang 
dia pelihara. Dengan itulah dia mendapat tambahan penghasilan, bahkan 
kadang-kadang kalau perlu sesekali dia berikan juga kepada aku---satu dari tiga 
anaknya---atau dititipkan buat cucu-cucunya. Sebagai penulis, kadang-kadang aku 
gagal dan melakukan wanprestasi, tindakannya berpotensi menghancurkan reputasi; 
tapi sebagian lagi mampu aku selesaikan dengan baik dan mendapat kepercayaan 
untuk menggarap kerja baru. Aku masih punya harapan dan kemampuan sebagai 
penulis. Dilihat dari situ, sebenarnya aku masih bisa belajar untuk 
meningkatkan panen dan penghasilan, meski sesekali muncul ketakutan dalam 
diriku. Mungkin itu masih wajar, sepanjang kepercayaan dan optimisme akan masa 
depan lebih kuat dan membuat kita lebih cerdas dan kuat berusaha.[]07/25/10

Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand 
Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 
40141.



      

Kirim email ke