REPUBLIKA
Minggu, 03 Juli 2005

Ines Irene Caterine Atmosukarto 
Ruang Dinamis untuk Peneliti 




Endofit, sejenis jamur yang menumpang pada tumbuh-tumbuhan dan memiliki 
kemampuan untuk memberikan khasiat baru sebagai antibodi, antikanker, dan 
antijamur membawanya meraih Laureares menyisihkan 300 kandidat dari 
mancanegara. Dengan penghargaan yang diperoleh lewat program L'Oreal-UNESCO for 
Women in Science itu, Dr Ines Irene Caterine Atmosukarto menjadi sosok 
perempuan peneliti Indonesia pertama yang meraih gelar tersebut.

Tahun lalu Ines berangkat ke Amerika memanfaatkan beasiswa sebesar 20 ribu 
dolar AS untuk mendanai penelitiannya di Plant Science Department, Montana 
University, di bawah bimbingan Profesor Strobel, salah satu peneliti utama 
dunia di bidang biologi endofit. Lahir di Rumania, 8 Oktober 1972, Ines yang 
mengaku sebagai anak hibrida karena orang tuanya adalah campuran Indonesia dan 
Rumania lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. ''Umur 6 bulan sampai 
15 tahun saya di Aljazair,'' tutur sulung dari tiga bersaudara ini. 

Kembali ke Indonesia, dia masuk di kelas II SMP. Dia sempat kerepotan di 
sekolah karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Toh, itu bisa diatasi. Tamat 
SMP, dia masuk di SMAN 78 Jakarta. Setelah lulus, tawaran beasiswa ke luar 
negeri menghampirinya. Dia memilih ke Australia untuk belajar biologi sel dan 
molekuler, bidang yang disebutnya belum banyak di Indonesia saat itu. Di negeri 
itu ia memperoleh beasiswa belajar hingga program S3. Di tengah kuliah, dia 
menikah dengan seorang mahasiswa Indonesia yang belajar penerbangan di negara 
itu.

Setelah meraih Doctor of Philosophy in Molecular and Cellular Biology 2001, 
Ines kembali ke Indonesia membawa seorang anak. ''Waktu kuliah saya nikah, 
hamil sekalian. Setelah lulus, enak. Sudah lulus S3, punya anak. Sekarang jadi 
teman,'' dia menuturkan. Saat ini sebagai peneliti ilmiah pada bagian 
Bioteknologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), waktunya lebih banyak 
dihabiskan di laboratorium. Pekan lalu, Ines menerima wartawan Republika 
Burhanuddin Bella bersama fotografer Amin Madani dalam sebuah perbincangan di 
ruang kerja kantornya, di kawasan Cibinong, Jawa Barat. Petikannya: 


Apa saja yang Anda teliti?
Penelitian saya kebanyakan di hutan-hutan. Saya mencari potensi mikroba yang 
hidup di dalam tanaman. Namanya endofit. Waktu penelitian dengan dana dari 
L'Oreal, saya ambil sampel di Sumbawa dan Riau. Tanaman yang menurut penduduk 
setempat digunakan untuk pengobatan. Saya tidak meneliti tanamannya. Saya cuma 
menggunakan tanaman itu untuk mencari mikroba apa saja yang hidup di dalamnya. 
Mikrobanya saya isolasi, saya tes potensinya. Waktu itu saya ambil kurang lebih 
40 sampel jenis tanaman. Mungkin ada sekitar 400 lebih mikroba yang didapat. 

Sampel itu diyakini masyarakat bisa jadi obat?
Mereka yakin. Tapi kadang-kadang bilang, ''Kalau kesurupan makan tanaman ini''. 
Nah, ini ilmiahnya kalau kesurupan apa, coba? Paling mungkin penenang. Kalau 
misalnya luka, okelah. Antibiotik, mungkin untuk infeksi. Kalau kesurupan? 
Tapi, semua tanaman di dalamnya ada mikrobanya. Di negara-negara tropis, dari 
pengalaman saya, semua tanaman pasti ada.

Indonesia kaya dong?
Kaya. Satu pohon bukan cuma satu makhluk hidup. Satu pohon itu rumah bagi 20 
mikroba. Jadi, kalau kita menebang satu pohon, yang terbunuh bukan cuma satu 
organisme, tapi banyak. Kalau hilang, ya sudah. Mungkin saja mikroba itu nggak 
ada di tempat lain, kita tidak tahu. Karena itu orang lingkungan juga cukup 
tertarik dengan ini karena kita bisa gunakan untuk memperkuat (kelestarian 
alam). Kalau misalnya hutan di Indonesia banyak ditebang, apalagi kalau masih 
hutan primer, itu kan sayang. Kalau hasil tanamannya, nggakapa-apa. Itu 
homogen. Tapi, kalau yang masih hutan asli, sayang sekali dipotong. 

Bagaimana temuan Anda?
Ternyata endofit potensinya banyak. Saya jadi bingung mana dulu yang diteliti. 
Tadinya bingung mau teliti apa, sekarang mana dulu. Sekarang saya punya tabel 
yang isinya sekian ratus. Itu sudah dibikin matriks, mikroba ini bagusnya 
terhadap ini, ini, ini. Cukup banyak juga potensi terhadap jamur posarium. Ada 
beberapa yang punya potensi untuk ketombe. Ketombe itu disebabkan oleh satu 
jamur. Sampo-sampo yang ada berusaha untuk menghambat pertumbuhan jamur 
penyebab ketombe. Nah, saya ada beberapa yang sangat potensial. Saya sudah uji 
terhadap jamur penyebab ketombe dan ternyata sangat aktif. Sekarang saya 
tinggal cari siapa yang interested untuk dikembangkan bersama. Bagaimana pun 
penelitian kalau jalan sendiri susah karena terbatas. Saya tahun ini maunya 
mencari mitra. Kita coba bicara dengan (industri) kosmetik di Indonesia. Kita 
kembangkan apa yang mereka butuhkan.

Ada berapa mikroba yang Anda temukan?
Saya sekarang punya pustaka mikroba. Ada sekitar 5.000 jenis mikroba endofit. 
Saya juga sudah membuktikan bahwa endofit ini memproduksi antioksidan, senyawa 
antioksidan. Cukup tinggi juga. Sekarang yang saya cari orang atau pihak yang 
interested untuk mencoba menguji potensinya. Saya nggak mungkin menguji 
semuanya, karena saya nggak tahu apa saja yang dibutuhkan. 

Kalau itu dikembangkan, tentu perlu penelitian lanjutan? Iya. Menurut saya, 
penelitian yang sukses mesti bergabung sama pihak lain dan industri. Peneliti, 
kan, maunya meneliti saja. Tapi kita dituntut, apa dong gunanya untuk 
masyarakat? Yang tahu kebutuhan market, kan, industri. Nah, sekarang bagaimana 
menjembatani antara industri dan peneliti, itu yang paling susah di Indonesia.

Apa yang sudah dilakukan untuk itu? 
Saya banyak mengetuk pintulah. 

Ada yang buka pintu?
Pintunya dibuka pelan-pelan. Ngobrol dulu, ibaratnya gitu. Saya juga ada kontak 
dengan beberapa industri farmasi di luar negeri. Tapi, prosesnya kan lama, 
apalagi dengan perusahaan besar. Hutan menjadi sumber penelitian Ines. Berbagai 
fakta yang ditemukan di sana membuat Ines terperangah sekaligus sedih. Belum 
lagi saat berbenturan dengan urusan dana. Lantaran tidak ada anggaran 
tersendiri dari pemerintah. Penelitian Ines tentang endofit didanai oleh 
swasta. ''LIPI bergandeng dengan investor dalam dan luar negeri untuk membentuk 
usaha pencarian obat dari bahan alam. Jadi, itu payungnya sudah komersial. 
Dananya dari investor, nggak ada dari APBN.''

Apa yang Anda saksikan dengan hutan Indonesia?
Waktu saya ke Riau, saya sedih sekali. Hasil penelitian WWF bersama LIPI 
menunjukkan bahwa kawasan Tesonilo adalah salah satu kawasan terkaya di dunia 
keanekaragaman hayatinya. Lebih tinggi dari Amazon, karena per satu plot, 
mereka menemukan 218 jenis tanaman. Ada tanaman yang langka, ada tanaman yang 
endemik, asli Indonesia. Tapi, waktu saya masuk ke hutan itu ternyata nggak 
asli karena sudah banyak yang dipotong. Kita masuk, kelihatan bekas-bekas 
(ditebang). Pokoknya yang lingkarannya udah gede sudah pasti ditebang. Kalau 
masih ada yang tersisa, sudah ditandai. Karena itu kita harus mencoba 
memasyarakatkan bahwa hutan harus dilestarikan bukan saja karena pohon itu 
penting, tapi karena pohon itu inang bagi makhluk hidup yang lain juga, 
termasuk mikroba. Kan, tidak ada yang bisa menilai seberapa kayanya dari segi 
mikroba di Indonesia. Kalau pohon dihitung jenisnya gampang, mikroba kan susah. 
Satu pohon bisa 20-40. Itu juga hanya dengan isolasi yang mudah kita dapat 
sebegitu banyak. Belum lagi kalau kita lebih susah payah, mungkin lebih banyak 
lagi dapatnya. 

Masih ada keinginan masuk ke hutan-hutan lain mencari tanaman?
Oh, ada. Cuma kita masih kewalahan menganalisis sampel yang masih belum 
selesai. Tapi kalau bisa, mau. Kalau bisa, ke depannya bukan saja dilihat dari 
tanaman hutan, tapi di laut juga. Makhluk di laut itu pun bersimbiosis dengan 
mikroba. Saya ingin, misalnya, mengambil spons. Itu kan banyak mikrobanya. Saya 
ingin mencoba mengisolasi. Pasti ada yang bermanfaat. 

Butuh waktu berapa lama untuk meneliti tanaman?
Misalnya, dari tanaman sampai didapat mikrobanya bisa 1,5 bulan. Nanti 
mikrobanya, habis difermentasi terus diolah, kita dapat ekstrak dari 
mikrobanya. Ekstraknya harus kita uji. Kalau sudah dites dapatnya positif kita 
kembali lagi membuktikan. Kita, kan, tidak boleh percaya saja. Kita kembali 
lagi ke mikrobanya, kita lalui proses itu lagi. Kita harus berulang. Kalau 
masih positif, oke. Kita mulai produksi skala lebih besar. Terus kita uji lagi, 
harus membuktikan bahwa dari kecil ke besar tetap sama hasilnya. Skala besar 
sudah dapat, itu ekstrak masih campuran dari beberapa puluh jenis senyawa. Kita 
tidak tahu mana yang punya potensi, misalnya antijamur. Itu harus kita 
pisah-pisahkan. Nanti kita uji satu-satu. Sesudah itu kita harus lihat, baru 
apa nggak. Kita mencari yang baru. 

Pilihannya menjadi peneliti tampaknya berawal dari keluarga. ''Saya dari 
keluarga akademisi,'' ujar Ines. Sang ayah adalah seorang insinyur perminyakan, 
bahkan omnya adalah peneliti fisika. Apalagi sejak kecil sang ibu kerap 
mewanti-wanti, ''Ilmu adalah satu-satunya kekayaan pribadi yang tidak bisa 
dirampas siapa pun.'' Hasilnya adalah Ines dan kedua saudaranya lebih suka 
berkutat dengan sains. Kedua adiknya memilih bidang komputer dan sosial. 
''Tidak ada yang ke bisnis. Mungkin sudah dicuci otak dari kecil.'

' Waktu kecil memang maunya jadi peneliti? 
Maunya jadi guru. Tapi kalau aku pikir di Indonesia, peneliti aja kere apalagi 
guru ha .. ha .. ha. Dulu senang aja, senang ajarin orang. Mungkin karena saya 
sulung, punya adik dua. Kalau saya pikir, hidup saya satu rangkaian kebetulan. 
Hidup ini kayak persimpangan jalan. Kita selalu punya pilihan, mau belok ke 
sini atau ke sana. Kalau belok kita harus mikir konsekuensinya apa. 

Apa nikmatnya menjadi peneliti? 
Saya juga kadang-kadang kalau frustasi mikir, apa ya yang dicari? Mungkin sama 
kayak wartawan, tiap hari agak beda, sifatnya nggak administratif. Kita 
melakukan sesuatu yang mungkin berbeda. Kita menggunakan teknik yang 
berbeda-beda. Ada ruang untuk belajar sesuatu yang baru. Dinamis. Mungkin hasil 
yang saya dapat hari ini memberi saya ide baru untuk tahun depan. Jadi, kita 
tidak bisa prediksi, karena tahun depan mungkin berubah lagi arahnya. Jadi, 
sangat dinamis. Mungkin itu kali. 

Sering penasaran saat meneliti? 
Peneliti kalau mengerjakan sesuatu, tidak mau pulang. Rasanya 24 jam tidak 
cukup. Kayaknya semua peneliti orang yang penasaran, yang tidak mudah menerima 
jawaban begitu saja. 

Tidak berniat mengajar? 
Kebetulan aktivitas saya kebanyakan meneliti. Ada mahasiswa bimbingan, tapi 
saya cuma bimbingan untuk penelitian. Untuk sementara ini, saya tidak mengajar. 
Bukan apa-apa, kalau mengajar habis waktunya, macet. Belum lagi kalau 
mahasiswanya kurang ajar. 

Kenapa Anda memilih biologi? 
Lulus di SMAN 78 Jakarta, saya dapat beasiswa dari pemerintah untuk ambil S1 di 
luar negeri. Saya pilih ke Australia. Waktu itu saya mikir, bidang apa di 
Indonesia yang belum ada. Kalau saya ke luar negeri belajar elektronik, di 
Indonesia juga ada. Tapi yang namanya bioteknologi waktu itu belum ada. 
Sekarang pun masih baru. Saya belajar, semua saya komunikasikan ke sini. Saya 
ambil mata kuliah pun dari pemikiran apa yang bisa berguna di sini. Waktu itu 
pikiran Pak Habibie, tiap tahun memilih 100 lulusan SMA dikirim ke macam-macam 
negara. Saya berangkat 1992. Kalau 100 orang kembali bisa mendidik berapa ratus 
orang. Itu pikiran Pak Habibie, dan itu sebenarnya bagus. Cuma kenyataannya, 
dari 100 orang, yang kembali mungkin tidak 100. Padahal waktu menerima, ada 
perjanjian sebenarnya. Cuma yang sering terjadi, kembali tidak dapat apa-apa. 
Kita tidak punya tempat. Itu juga saya alami. Waktu pulang, bingung. 

Beasiswa kan hanya S1, bagaimana sampai S3? 
Selesai S1, saya mencari beasiswa dari pemerintah Australia untuk langsung S3. 
Saya kembali, 2001, belum berumur 30 tahun. Jadi penuh semangat, masih muda, 
idenya banyak. Masih ideal banget. Balik ke sini, bingung. Kita meneliti kan 
butuh informasi. Kita harus mengecek apa yang sudah dikerjakan orang. Ngapain 
ngerjain yang sudah. Ngecek informasi sekarang kan dari internet. Perpustakaan 
kita jelas ketinggalan zaman. Tapi, internet kita tidak punya. Sekarang pun 
untuk internet saya pasang telepon sendiri. Kebetulan saya beruntung punya dana 
penelitian lebih, bisa saya pakai. Tapi kan, tidak semua orang bisa punyai 
kesempatan itu. 

Ini, kan, institusi negara?
Ya, dan institusi penelitian. Itu satu sarana yang paling mendasar. Saya tidak 
bisa hidup tanpa internet sekarang. Ini zaman informasi. Itu yang pertama waktu 
saya pulang, shock. Masuk perpustakaan, bukunya waktu gue belum lahir. Saya 
bukan menjelekkan, tapi itulah kenyataan kondisi kita saat itu. Saat ini ada 
kemajuan. 

Masa kecil Anda di mana? 
Saya lahir di Rumania, ibu saya orang Rumania. Bapak saya dulu sekolah di 
Rumania. Waktu saya umur 6 bulan, kami di Aljazair, sampai saya umur 15 tahun. 
Bapak insinyur perminyakan. Pulang ke Jakarta waktu saya SMP kelas II, 
menyelesaikan sampai SMA, terus ke Australia. 

Masuk SMP sudah bisa bahasa Indonesia? 
Tidak bisa. Itu tantangan. 

Berapa lama adaptasi?
Sekitar tiga bulan. Kejar dari nol. Capek. Kalau lihat buku-bubu saya, ada 
terjemahannya ke bahasa Prancis. Saya ambil juga guru dari CCF, guru yang bisa 
bahasa Prancis. Hasilnya, lulus SMA dapat beasiswa. 

Selama di Aljazair tidak pernah belajar bahasa Indonesia? 
Ayah saya itu berusaha. Saya hafal lagu 'Naik-naik ke Puncak Gunung'. Tapi, apa 
sih artinya? Ayah saya kalau mengantar ke sekolah suka nyanyi. Indonesia Raya 
kita tahu kata-katanya, tapi artinya nggak tahu. Jadi, memang ayah mencoba, 
tapi bahasa itu kalau nggak ada orang yang diajak (bicara) kan (susah). 

Bagaimana sampai kembali ke Indonesia? 
Saya nggak tahu. Tahun 1984, tiba-tiba, ''Ayo kita balik.'' Mungkin sudah 
kangen sama nasi pecel, kali. Namanya manusia mungkin mencari akarnya. Mungkin 
orang tua pikir, kita harus punya akar. Salah satu dari negara orang tua. 
Begitulah, kita pindah ke Indonesia. 


Obsesi Anda sekarang? 
Banyak. Yang besar saya ingin mengubah Indonesia, terutama Jakarta yang penuh 
sampah. Saya sedih, sampah di mana-mana. 


[Non-text portions of this message have been removed]



WM FOR ACEH
Bantu korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara!
Rekening BCA Kantor Cabang Pembantu (KCP) Koperasi Sejati Mulia Pasar Minggu No 
Rek. 554 001 4207 an. Herni Sri Nurbayanti.
Harap konfirmasi sebelumnya ke [EMAIL PROTECTED] atau HP 0817 149 129.

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Islami mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke