REPUBLIKA Jumat, 15 Juli 2005
Hukum Cambuk, Humanis dan Adilkah? Oleh : Achmad `Aly Alumnus Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng Jombang, Jawa Timur, dan Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, P3M, Jakarta. Beberapa waktu lalu kita saksikan di pelbagai media massa, berita eksekusi vonis cambuk terhadap 15 terpidana pelanggaran Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Mereka menjalani eksekusi yang dilakukan oleh waliyy al-hisbah (polisi syariat) yang berjubah dan ditutup dengan shebu hingga sulit dikenali. Prosesi eksekusi ini ditempatkan di panggung terbuka halaman Masjid Agung Jami, Bireuen, selepas shalat Jum'at (24/6). Eksekusi itu ditonton ribuan massa, yang antusias melihat hukuman cambuk pertama kali diterapkan di Aceh setelah pemberlakuan syariat Islam. Benarkah hukum cambuk dan semisalnya, seperti rajam maupun potong tangan tidak manusiawi (humanis)? Kalau pun bisa dikatakan humanis, apakah pelaksanaannya dalam eksekusi di atas memenuhi rasa keadilan? Ada pendapat yang ditulis di sebuah harian ibukota (25 Juni 2005) yang menolak pencambukan seperti itu karena prinsipnya hukuman itu dapat dikategorikan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Dasar argumentasinya bahwa hal itu selama ini dilarang dan diatur dalam berbagai legislasi nasional maupun konvensi Internasional yang terkait dengan HAM. Pertama, tidak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 G ayat (2) yang secara tegas menyatakan ''Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia''. Kedua, Undang-undang No 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yakni Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan ''Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.'' Ketiga, hal itu tidak sesuai dengan Undang-undang No 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yakni di Pasal 16. Masalah ini perlu dikaji secara mendalam dari sudut pandang filosofis, legalitas, dan sosilologis. Pertama, dari sisi filosofis, hukum itu ditujukan untuk apa dan siapa? Hukum itu ditujukan kepada manusia, untuk menciptakan ketenteraman, ketertiban, dan kedamaian dalam masyarakat. Artinya, hukum itu bukan untuk hukum itu sendiri, tapi untuk tujuan yang mulia, kemanusiaan, keadilan sosial dan kemaslahatan individu dan publik. Hikmah hukuman Dalam memandang hukum itu manusiawi atau tidak, hendaklah diperhatikan, apa tujuan dari diterapkannya hukum itu. Jadi bukan melihat bentuk luar hukum itu. Misalnya hukuman cambuk ataupun potong tangan. Jangan melihat hukuman seperti ini sebagai menafikan kemanusiaan, tapi melihat apa dibalik atau tujuan utama (hikmah) dari adanya hukuman ini. Dengan melihat dimensi filosofis di balik hukuman cambuk itu dapat mematahkan argumen yang menolak dengan bersandarkan UUD 1945, UU No 39/1999, dan UU No 5 /1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti penyiksaan di atas. Mendasarkan pada UUD seperti di atas, masuk dalam kategori mengutamakan simbol-simbol, bukan masuk ke dalam substansi filosofis. Kedua, hukuman diterapkan agar pelaku pelanggaran menjadi jera, tidak mengulanginya lagi, dan orang lain pun tidak meniru melakukan pelanggaran semacam ini. Ketiga, dalam melihat suatu bentuk hukuman, yang mesti diperhatikan adalah apakah hukuman tersebut efektif dan bagaimana pula implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Keempat, aspek sosiologis harus diperhatikan ketika hendak menerapkan suatu hukuman. Artinya, masyarakat memang telah siap dan sepakat dengan suatu peraturan/qanun. Dan penerapan hukuman pun tentu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, aspek psikologis, aspek ekonomis, politis dan lainnya. Kelima, hukuman didasarkan pada aspek legalitas/yuridis. Artinya suatu hukuman punya dasar pijakan berupa peraturan perundang-undangan yang telah disahkan oleh yang berwenang. Aceh sudah punya otonomi khusus menerapkan syariat Islam dan punya qanun yang merupakan aturan khusus dari pada UUD yang masih bersifat umum. Dalam perspektif Islam, hukum diterapkan untuk mencapai sasaran kesucian diri dan lingkungan, keadilan, dan kemaslahatan. Dan yang penting diperhatikan adalah bahwa hukum itu tidaklah kaku, bergantung pada situasi dan kondisi yang mengitarinya. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh: al-hukm yaduru ma'a illatihi wujudan wa 'adaman (hukum itu ada sesuai ada tidaknya illat yang mengitarinya). Artinya, hukuman tidak mesti diterapkan (tathbiq) kepada seorang yang melakukan pelanggaran hukum. Hukum potong tangan tidak begitu saja diterapkan kepada seseorang yang terpaksa mencuri untuk memenuhi hajat hidupnya atau dalam keadaan paceklik. Dengan demikian yang penulis permasalahkan adalah bukannya bentuk hukuman cambuk dan semisalnya, namun mengenai penerapan (tathbiq) hukum itu menyentuh rasa keadilan ataukah tidak. Problem keadilan Mengenai kasus eksekusi vonis cambuk di atas, dengan melihat sisi filosofis tersebut --yakni untuk menjadikan pelakunya jera, terciptanya ketenteraman dalam masyarakat-- di samping juga melihat sisi legalitas (adanya qanun), maka hukuman itu tidak melanggar kehormatan manusia. Apalagi, dari sisi sosiologis, masyarakat Aceh menginginkan syariat Islam. Artinya hukuman itu tetap dalam koridor manusiawi (humanis). Akan tetapi, yang menjadi problem adalah apakah penerapan hukuman itu telah memenuhi rasa keadilan? Artinya, dalam penerapan eksekusi cambuk itu ada atau tidak ada pembedaan, dikriminasi, di mana mereka dihukum karena hanyalah rakyat biasa yang tidak punya kekuatan untuk memengaruhi hakim dan jaksa. Padahal pelanggar lainnya yang kaya dan terutama pejabat tidak dikenai hukuman serupa? Apakah sebanding jika para pelaku perjudian itu bila dibandingkan dengan koruptor kelas kakap yang tidak dikenai sanksi semacam itu? Sudah patutkah qanun itu diterapkan, ketika dibutuhkan suatu qanun yang lebih mendesak seperti qanun hukuman bagi koruptor, agar memenuhi rasa keadilan? Hal lain, yang menjadi problem di sini adalah, apakah mereka yang dikenai hukuman cambuk itu melakukan perbuatan judi untuk memenuhi hajat hidupnya atau mereka orang mampu namun bersyahwat memperkaya diri. Beda tujuan orang miskin yang berjudi dengan orang kaya yang berjudi. Orang miskin berjudi untuk mempertahankan hidupnya, meski dengan cara haram. Sedangkan orang kaya berjudi untuk menambah kekayaaanya. Di samping itu, yang penting disorot adalah bahwa pemerintah mempunyai kewajiban memberikan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Ketika pemerintah belum bisa memenuhi hak rakyat secara wajar, maka tuntutan hukuman belum dan tidak sepenuhnya bisa diterapkan. Potong tangan koruptor Salah seorang terdakwa, Zakaria Yusuf (60 tahun), yang bekerja sehari-hari sebagai petani sayur mengaku mendukung sepenuhnya pelaksanaan syariat Islam di Aceh. ''Tapi, kami tidak mau menjadi tumbal pelaksanaan syariat Islam. Kalau kami yang main judi ini dicambuk, maka para koruptor harus potong tangan''. Katanya,''Ya, Abdullah Puteh harus potong tangan,'' tambahnya seperti ditulis Republika (25/6). Selain itu, kasus eksekusi cambuk itu merupakan pertama kali dalam sejarah Indonesia, setelah Aceh menerapkan syariat Islam. Artinya apa? Bahwa semestinya yang menjadi awal sejarah baru, adalah penerapan hukuman terutama pada pelanggar kasus-kasus berat, semisal koruptor. Seharusnya ini dulu yang disahkan qanunya dan diterapkan. Di Aceh, sampai saat ini, baru ada beberapa qanun syariat Islam yang sudah disahkan DPRD Provinsi NAD. Yaitu Qanun No 11 Tahun 2002 tentang Khamr, Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Perjudian (Maisir), dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Sayang qanun di Aceh masih didominasi persoalan privat, belum menyentuh kepada urusan publik yang lebih luas. Sekali lagi, seharusnya qanun yang berkaitan dengan perihal publiklah yang diproduk, disahkan dan diterapkan terlebih dulu. Misalnya membuat dan mengesahkan qanun tentang Pelanggaran dan Pemberantasan Korupsi. Hal ini dimaksudkan agar hukum memang betul-betul memenuhi rasa keadilan dan membawa perubahan ke arah yang lebih baik (as a tool of social engineering) [Non-text portions of this message have been removed] WM FOR ACEH Bantu korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara! Rekening BCA Kantor Cabang Pembantu (KCP) Koperasi Sejati Mulia Pasar Minggu No Rek. 554 001 4207 an. Herni Sri Nurbayanti. Harap konfirmasi sebelumnya ke [EMAIL PROTECTED] atau HP 0817 149 129. Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Islami mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/