Refleksi:  "Benarkah DPR Bukan Dewan Pemeras Rakyat?"


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/21/opi01.html


DPR Bukan Dewan Pemeras Rakyat
Oleh Saiful Amin Ghofur

Di tengah keadaan rakyat yang dihimpit berbagai macam kesusahan, anggota 
dewan berulah lagi. Mereka mengeluhkan gaji yang diterima selama ini sangat 
kecil dibanding beratnya tugas yang dikerjakan. Karenanya mereka bersepakat 
mengusulkan kenaikan gaji. Bahkan salah seorang anggota dewan secara 
terang-terangan saat disorot kamera televisi mengungkapkan gaji yang 
diterimanya tidak bisa menghidupi seorang istri dan dua orang anak. Terlebih 
lagi, anggota komisi III DPR itu malah merasa tidak pernah menikmati gaji 
sepersen pun selama sembilan bulan terakhir. Katanya gajinya habis 
disumbangkan kepada daerah pemilihannya.
Menurut data Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR saat ini, Ketua DPR 
mendapatkan gaji Rp 35, 17 juta per bulan. Wakilnya Rp 29, 89 juta. 
Sementara anggota dewan Rp 28, 37 juta. Gaji ini dinilai terlalu kecil dan 
diusulkan untuk ketua menjadi Rp 65,17 juta atau naik 82, 5 %. Wakilnya 
menjadi Rp 51,39 juta, naik 71, 8 %. Dan anggota dewan menjadi Rp 38,01 
juta, naik 33,9 %. Ini berarti gaji bulanan ketua DPR secara keseluruhan 
naik 104 %, wakilnya naik 89,5 % dan anggotanya naik 82,8 %.

Melihat gelagat anggota dewan itu rasanya kita tak bisa berpikir jernih 
lagi. Sementara rakyat berkubang dalam jurang kemiskinan, para wakilnya 
justru berteriak-teriak minta kenaikan gaji. Adakah mata [hati] mereka sudah 
buta menyaksikan kesengsaraan korban bencana tsunami, para penderita busung 
lapar, polio dan lumpuh layuh hingga rakyat yang pontang-panting mencari ke 
mana BBM pergi.

Usulan kenaikan gaji anggota dewan memperlihatkan tidak pekanya perasaan 
wakil rakyat terhadap kondisi rakyat yang diwakilinya. Mayoritas rakyat 
Indonesia hidup dalam jeratan kemiskinan. Jemaluddin Kassum, wakil presiden 
Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, menyatakan 60 % rakyat 
Indonesia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 10-20 % hidup 
dalam kemiskinan absolut.
Menurut Kassum, mereka yang berada di bawah garis kemiskinan ini dalam 
posisi sangat rentan, baik dari sisi pendapatan maupun sosial, termasuk tak 
adanya akses ke pendidikan. Definisi penduduk di bawah garis kemiskinan yang 
dipakai Kassum adalah definisi berdasarkan standar internasional, yakni 
mereka yang menyandarkan hidupnya pada pendapatan kurang dari 2 dolar per 
hari atau setara Rp 20.000, dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS.

Tahap Kanak-kanak
Karena itulah usulan kenaikan gaji anggota dewan sangat tidak masuk akal. 
Riswanda Imawan (2005) bahkan menyebut anggota dewan sebagai orang "yang tak 
tahu diuntung". Sebagai wakil rakyat seharusnya mereka adalah representasi 
kondisi yang diwakilinya. Bukannya menarikan kemewahan di atas penderitaan 
rakyat. Ibarat bayang-bayang yang muncul dalam kaca cermin, wakil seharusnya 
sama persis dengan objek yang ada di muka cermin.
Usulan kenaikan gaji itu dapat diartikan juga sebagai manisfestasi egoisme 
yang kebablasan. Dulu Gus Dur semasa menjabat presiden pernah melontarkan 
kritik pedas dengan mengatakan para anggota dewan tak ubahnya seperti taman 
kanak-kanak. Pasalnya, kerap sidang dewan diwarnai interupsi tidak sehat, 
saling menjatuhkan tidak hanya lewat adu mulut tetapi juga adu jotos. 
Sungguh, melalui tayangan langsung televisi, aksi para anggota dewan itu 
menjadi sebuah lelucon yang unik dan langka.

Banyak yang memprotes statemen Gus Dur saat itu. Tetapi diam-diam tidak 
sedikit yang mengiyakan. Kini ketika para anggota dewan mengusulkan kenaikan 
gaji masihkah tersisa argumentasi untuk tidak mengamini ungkapan Gus Dur 
itu. Jelaslah egoisme anggota dewan menunjukkan betapa mentalitas mereka 
masih berada pada tahap perkembangan kanak-kanak.
Dalam studi psikologi Freudian, dikenal tahapan id, ego dan super ego. 
Mentalitas kanak-kanak didominasi oleh peranan id yang menuntut prinsip 
kenikmatan semata. Dengan kata lain, egoisme dan sikap emoh peduli terhadap 
sesuatu yang tidak mendatangkan keuntungan bagi dirinya serta merta 
diabaikan. Ego dan super ego sebagai piranti menengok realitas luar dan 
beradaptasi dalam jaring-jaring simbiosis mutualisme dengan sendirinya 
terkekang.
Nafsu id anggota dewan kelihatan meluap tak terkendali. Meski berbagai 
fasilitas telah didapati, dirasa masih belum cukup. Namanya juga 
kanak-kanak. Mereka selalu minta lebih, lebih dan lagi, lagi dengan usulan 
kenaikan gaji. Semestinya anggota dewan lebih patut dan arif memosisikan 
diri di hadapan rakyat. Kesepakatan mengusulkan kenaikan gaji itu justru 
menjatuhkan martabat mereka di mata rakyat. Selayaknya mereka tidak 
bersepakat demikian.

Lebih bijak bila mereka mengusulkan pemotongan gaji dan disumbangkan untuk 
meringankan beban penderitaan rakyat. Jika usulan naik gaji itu benar-benar 
terealisasi, mereka bukan cuma menipu, tetapi juga memeras uang rakyat. 
Padahal DPR itu bukanlah dewan pemeras rakyat.

Penulis adalah mahasiswa Magister Studi Islam UII Yogyakarta
 



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke