http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=artikel%7C0%7CX
Senin, 18 Juli 2005
Treatment, Anyone? Tanggapan terhadap artikel Cicilia Maharani: Jombloholic 


Oleh Intan Suwandi 


Dalam artikelnya Jombloholic, Cicilia Maharani (2005) menuliskan justifikasi 
atas pilihannya (dan teman-temannya) untuk terus menjomblo. Jombloholic bukan 
hanya berarti dalam keadaan menjomblo; melainkan terus-menerus ingin menjomblo. 
Karena itu diberi embel-embel –oholic di belakang kata jomblo. Saya katakan 
“pilihan” karena Maharani menyatakan bahwa keputusannya untuk “mengidap 
jombloholic” adalah sebuah komitmen pribadi, yang dibuat berdasarkan otonominya 
sebagai individu dan bukan karena keterpaksaan: “Bahwa kalaupun memilih menjadi 
jombloholic, itu karena sebuah keputusan yang dibangun dalam alam kesadaran 
yang memang kita pilih karena sesuai, bukan keterpaksaan atau yang lain-lain” 
(par.12). Maharani juga menyatakan kebanggaannya menjadi jomblo dan memberikan 
best wish-nya untuk para jombloholic yang lain: “Proud to be jomblo. Selamat 
menikmati dunia jombloholic” (par.12). 

Tulisan Maharani saya pikir menarik dan mengandung ide-ide segar. Tetapi, 
seperti banyak terjadi dalam wacana feminisme, ide-ide yang dilontarkan tersaji 
dalam thesis yang misleading dan tidak didukung oleh argumen yang kuat. Saya 
tidak akan menghakimi ide “jombloholic” per se; tulisan saya tidak mencakup 
pembahasan mengenai apakah jombloholic benar atau salah. Seperti layaknya saya 
tidak menyediakan tempat di sini untuk mengkritisi ide bahwa life is porpoise, 
err, purpose-driven . Nanti konteksnya terlalu melebar. Essay ini hanya akan 
mendiskusikan argumen Maharani mengenai: (1) alasannya “mengidap jombloholic” 
dan (2) bahwa jombloholic adalah sesuatu yang dipilih secara sadar. 

Sayur Lodeh Mami Bondi 

Dalam artikel yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis dan 
teman-teman perempuannya ini, Maharani memberi ilustrasi mengenai pengalaman 
Laras, seorang teman yang “dipaksa” membuat lodeh kesukaan kekasihnya, Bondi, 
oleh sang calon ibu mertua. Ilustrasi ini menggambarkan salah satu alasan 
mengapa para jomblo menjadi jombloholic: “Suatu keinginan untuk terus menjadi 
pribadi yang otonom, suatu kondisi yang menurut mereka akan terancam bila nanti 
mempunyai pasangan” (par.3). 

Melalui ilustrasi sayur lodeh ini, Maharani menolak ide bahwa, demi Bondi dan 
paksaan mertua, si Laras harus membuat sayur lodeh ala Mami Bondi. Ditambah 
lagi, si Bondi hanya nyengir dari depan TV sambil mengangguk setuju, yang 
dirujuk oleh Maharani sebagai sindrom “kehilangan logika” demi semangkok lodeh. 
Bagi Maharani, intervensi mertua terhadap lodeh ini adalah sesuatu yang tidak 
bisa dijangkau rasio, terutama karena berhubungan dengan hilangnya otonomi 
Laras sebagai seorang perempuan yang punya hak untuk tidak masak sayur lodeh 
ala Mami Bondi: “Peristiwa masak tersebut menurut saya sudah kehilangan 
rasionalitasnya... Dimana letak penghargaan akan otonomi Laras jika ia dipaksa 
untuk tenggelam di balik sayur lodeh bikinan mertua?” (par.6-7). 

Dari ilustarsi sayur lodeh tersebut, Maharani menarik kesimpulan mengenai 
bahaya budaya patriarkhi, yang menurutnya jelas-jelas tersirat dalam keluarga 
Bondi. Si Laras jadi tertekan gara-gara intervensi sayur lodeh mertua, padahal 
dikatakan sebelumnya bahwa Laras dan Bondi cocok satu sama lain. Budaya 
patriarkhi yang masih merasuki kebanyakan laki-laki Indonesia ini, menurut 
Maharani, selain membahayakan eksistensi istri-istri ala partriarkhi, juga 
mengancam keberlangsungan kesempatan bagi berbagai pihak untuk berubah ke arah 
yang lebih baik. Misalnya, bisa saja sayur lodeh bikinan Laras lebih enak dari 
bikinan Mami Bondi. Dengan kata lain, tidak akan ada perubahan bila pemikiran 
kita masih tertutup. Setidaknya kesempatan si Bondi untuk mencoba makanan yang 
enak-enak jadi berkurang gara-gara dia keranjingan sayur lodeh Mami. 

Saya pikir ide Maharani mengenai perubahan yang diawali dengan pemikiran yang 
terbuka adalah sesuatu yang penting. Saya setuju bahwa bentuk-bentuk peran 
gender konvensional seperti yang diterapkan melalui intervensi negatif ibu 
(calon) mertua terhadap hubungan dua individu adalah sesuatu yang menyebalkan. 
Tetapi tidak berarti bahwa persoalan sayur lodeh ini bisa jadi contoh 
intervensi negatif mertua nan fatal yang kemudian jadi salah satu alasan valid 
untuk kecanduan menjomblo. This illustration simply fails to support the 
author’s thesis bahwa dampak budaya patriarkhi warisan keluarga laki-laki bisa 
menghadang niat seseorang untuk berhenti menjomblo. Ini juga bukan berarti 
bahwa saya setuju dengan thesis yang ditawarkan Maharani. 

Tapi masih urusan lodeh. Banyak counter-argument yang bisa dilontarkan terhadap 
ilustrasi sayur lodeh mertua ini; misalnya saja, bahwa persoalan memasak sayur 
lodeh hanya merupakan masalah selera. Sayur lodeh ya sayur lodeh: kalau mau 
bicara soal otonomi, semangkuk sayur juga punya otonominya sendiri – sebuah 
unity berbagai material yang bersatu-padu. Kalau si Bondi memang suka sayur 
lodeh Maminya dan berharap si Laras bisa masak sayur serupa, ya bukan berarti 
si Laras kemudian jadi tiruan Maminya Bondi. Ada jarak yang sangat jauh antara 
urusan memasak lodeh kesukaan dan urusan eksistensi atau otonomi individu. 
Kenapa si Laras harus masak sayur lodeh ala Mami Bondi sekaligus kehilangan 
otonominya? 

Juga bukan berarti si Bondi lantas jadi laki-laki ala partriarkhi yang 
kehilangan logika hanya karena ia mengangguk antusias ketika Mami Bondi 
“mengintervensi” hidup Laras melalui resep sayur lodehnya. Kalau masalah urusan 
perut, wajar saja si Bondi nyengir ketika berpikir bahwa ia bisa makan sayur 
lodeh kesukaan lebih sering di kemudian hari. Mungkin saja si Bondi itu merely 
anak Mami yang doyan makan serta malas berpikir; dan anehnya disukai Laras. 

Terlebih lagi, kalau si Laras memang punya otonomi, bukankah ia akan secara 
lugas berkata “tidak” pada segala bentuk intervensi yang dirasa negatif, dan 
dengan lapang dada membicarakan hal ini dengan Bondi? Tidak jelas apakah si 
Laras suka masak atau pernah mencoba masak sayur lodeh racikan sendiri, tapi 
kalau si Bondi suka yang disajikan Laras, toh tidak jadi masalah. Terlepas dari 
apakah sayur lodeh itu bikinan Laras atau dibeli di sebuah warung. 

Dan yang paling penting: kalau memang si Laras punya otonomi, bukankah ia tidak 
akan takut kehilangan identitasnya hanya karena semangkuk sayur? Bahkan 
meskipun Laras bisa menciptakan kloning lodeh ibu Bondi, Laras ya tetap saja 
Laras. Tidak ada yang perlu ditakuti dari semangkuk lodeh. Sayur lodeh itu ya 
untuk dinikmati, bukan ditakuti, apalagi jadi simbol patriarkhi. Tak heran bila 
kemudian si Laras (mungkin) jadi jombloholic. Wong sama sayur lodeh saja merasa 
terancam, apalagi sama laki-laki? 

Kecanduan vs. Otonomi 

Maharani mengusulkan, “untuk memutuskan sembuh dari jombloholic, kita 
memerlukan dunia negosiasi (baca: pembagian kerja) yang baru. Yang bukan 
merupakan warisan lama bernama budaya patriarkhi, yang pada kenyataannya sudah 
tidak relevan lagi” (par.11). Hal ini juga penting. Dan saya setuju. Tapi 
Maharani lupa sesuatu: bahwa perempuan harus belajar bagaimana caranya 
bernegosiasi dengan baik dengan laki-laki, serta harus mulai menerapkan 
strategi negosiasi ini di dalam kehidupan sehari-hari. Maharani hanya 
mengatakan bahwa, “Tidak mudah untuk bernegosiasi dengan penganut paham ‘macho’ 
dan keluarga besarnya” (par.11). Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak 
ada laki-laki yang bisa diajak bernegosiasi; jalan panjang menuju “keadilan 
gender” memang harus ditempuh secara perlahan dan, mungkin saja, menyakitkan. 
Tapi tetaplah bermakna. 

Pernyataan Maharani bahwa para jombloholic takut kehilangan otonomi setidaknya 
patut dipertanyakan kembali: apa betul mereka memiliki otonomi individu? Karena 
bila mereka memang memiliki dan menikmati otonominya ketika menjomblo, mengapa 
otonomi itu bisa dengan mudahnya hilang hanya dengan intervensi patriarkhi 
dalam bentuk-bentuknya yang trivial? Seseorang yang memiliki otonomi setidaknya 
dapat menyelesaikan sebuah masalah tanpa kehilangan dirinya. Atau jangan-jangan 
otonomi tersebut juga bisa hilang hanya karena hadirnya laki-laki tok – tanpa 
perlu ada embel-embel patriarkhi? 

Saya setuju bahwa istilah jombloholic itu “tepat sasaran” untuk menilai kasus 
yang dilontarkan Maharani (lihat par.1), tetapi bukan dalam konteks sasaran 
yang dimaksud oleh beliau. Bagi Maharani, menjomblo adalah sebuah pilihan yang 
diambil secara sadar. Sedangkan menurut saya, jombloholic memang sesuai dengan 
namanya: kecanduan akan menjomblo. Kecanduan berarti tidak berada dalam kondisi 
yang normal. Kecanduan berarti memiliki dorongan kompulsif terhadap suatu 
kebutuhan. Dan kecanduan membutuhkan sesuatu, tentu saja, bertentangan dengan 
otonomi atau kemandirian. Ada sesuatu yang dibutuhkan terus-menerus; dan dalam 
hal ini, kebutuhan untuk menjomblo. Keputusan yang diambil ketika kita memiliki 
dorongan kompulsif tidak bisa dikatakan diambil dalam keadaan sadar. 

Juga bertentangan dengan posisi jombloholic sebagai keputusan yang diambil 
secara sadar, Maharani mengungkapkan bahwa alasan lain yang membuat seorang 
mengidap jombloholic adalah “belum menemukan pasangan yang asyik buat diajak 
berbagi” (par.3). “Belum menemukan” tidak sama dengan “sengaja menolak untuk 
menemukan.” Ketika seseorang menjomblo karena belum menemukan pasangannya, 
orang ini bukan dengan sukarela memilih untuk tidak menemukan sang pasangan, 
tetapi karena kondisi belum menentukan. Bukankah masalah kondisi ini adalah 
sebuah “keterpaksaan?” Kondisi ini pula yang kemudian dikaitkan dengan budaya 
patriarkhi oleh Maharani. Dan para jombloholic ini baru memutuskan mau sembuh 
kalau dunia negosiasi antar dua individu sudah tidak lagi berdasarkan budaya 
patriarkhi. Ini sama saja ketika seorang alcoholic berkata, “Sembuhnya nanti 
saja ah, kalau para ahli sudah bisa menciptakan alkohol yang tidak membuat 
kecanduan.” 

Banyak perempuan, termasuk Maharani dan saya, menginginkan perubahan ke arah 
yang lebih baik untuk perempuan – termasuk kondisi di mana para perempuan lebih 
open-minded. Tapi tentu sia-sia kalau kita hanya sekedar menginginkan. 
Pertanyaan yang harus dijawab adalah: bagaimana kita bisa berubah dan mengasah 
pikiran? 

Saya pikir yang utama dan pertama adalah keterbukaan terhadap diri sendiri. 
Perempuan merupakan korban budaya patriarkhi bukan hanya sebagai yang 
tertindas, tetapi juga sebagai penerus, sama halnya seperti laki-laki. 
Perempuan terbuai sebagai gender kedua karena memang ini membius: pasif 
dipimpin suami, pasif di tempat tidur, pasif dipoligami, pasif “waduh, saya 
nggak tahu ya, terserah suami saja,” yang akhirnya berbuntut pada terbiasa 
pasif menunggu (menunggu di-tembak, menunggu dilamar, menunggu dicerai). 
Perempuan seharusnya mulai mengkritisi diri untuk hal ini. Bila perempuan ingin 
perubahan dalam pembagian peran, perempuan harus belajar mengenali pikirannya 
dan bertanggung jawab atas tindakannya terlebih dahulu. Tidak perlu 
mengkambinghitamkan faktor eksternal saat ini. Pemikiran sendiri adalah hal 
pertama yang harus dibuka, dikorek, dan dikritisi secara berkesinambungan. 

Menjadi perempuan adalah sebuah kewajaran, sama halnya seperti menjadi 
laki-laki. Tak ada yang istimewa. Sama seperti laki-laki pula, perempuan 
memiliki tanggung jawab untuk mengubah ketidakadilan yang dirasakannya; 
termasuk dengan berdebat, memberi contoh, atau mengusulkan ide dengan argumen 
yang kuat. Dan, meminjam isitilah Maharani, belajar bernegosiasi dengan 
laki-laki ketika diperlukan. Tidak masalah bila negosiasi tersebut kemudian 
gagal, tetapi setidaknya masing-masing pihak bisa belajar sesuatu dari 
negosiasi yang gagal tersebut, dan mencoba kembali di waktu yang akan datang. 
Setidaknya ada sintesis baru setiap kali perempuan dan laki-laki mencoba untuk 
mengembangkan pola pikir dan keahliannya bernegosiasi di antara mereka. 

Dengan kata lain, seperti halnya hubungan antara anak dan orang tua, menantu 
dan mertua, perempuan dan laki-laki sebaiknya terbiasa mengkomunikasikan 
pikiran masing-masing. Maksud saya, perdebatan atau tukar pikiran tidak 
seharusnya jadi sesuatu yang tabu. Kembali pada ilustrasi sayur lodeh, ketika 
si Laras merasa terancam karena sayur lodeh, saat itu pulalah ia disahkan 
menjadi korban patriarkhi, karena ia tidak bisa percaya diri menjadi seorang 
individu yang bisa mengatur hak dan kewajibannya. Karena ia seakan-akan tidak 
punya kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang sulit untuk dikatakan tidak 
trivial ini. 

Saya yakin para penulis perempuan dalam wacana feminisme memiliki wawasan yang 
luas dan peduli terhadap the well-being of women. Saya hanya berharap bahwa 
perempuan yang punya potensi seperti ini tidak menyalahkan budaya patriarkhi 
selayaknya menggugat sebuah simbol atau dewa yang jahat. (Dalam kasus artikel 
Jombloholic, mudah-mudahan masalahnya hanya terletak pada “weak arguments and a 
bad illustration” saja). Budaya patriarkhi adalah sesuatu yang harus dihadapi 
dan ditantang dengan pemikiran yang matang. Bukan dihindari atau ditunggu 
sampai hilang. 

Sayur lodeh, jombloholic, sampai alat reproduksi, bukanlah excuses untuk kabur 
dari diri sendiri. Semua itu adalah sarana untuk belajar menghadapi rintangan 
kehidupan dengan cekatan. So girls, I hope you’ll find the right treatment for 
your addiction. 


Intan Suwandi penulis lepas, Mahasiswa New College of Florida Sarasota




Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to