MEDIA INDONESIA
Rabu, 27 Juli 2005

Manusia dan Politik PKS
Indra J Piliang, peneliti pada Centre for Strategic and Interntional 
Studies, Jakarta



POLITIK itu kotor, puisi yang membersihkannya. Demikian adagium terkenal 
dari Vaclav Havel, Presiden Ceko. Sebagai seseorang yang berkecimpung di 
dunia seni dan budaya, Havel betul-betul menyadari betapa sulitnya menyangga 
negerinya yang kemudian pecah menjadi dua negara, Ceko dan Slovakia.

Banyak orang yang memang mencibir kepada politik. Cibiran itu muncul karena 
dandanan politikus yang meriah, lalu saling menyikut yang kentara, ditambah 
dengan pengkhianatan terhadap kolega dekat. ''Musuh dari kawanku, adalah 
kawanku,'' begitulah anomali dunia politikus. Setiap celah akan dimanfaatkan 
untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi kepentingan kekuasaan dan 
penguasaan.

Ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dulunya bernama Partai Keadilan 
(PK) muncul ke permukaan, kesan pertama yang muncul adalah partai politik 
ini tidak akan mampu bertahan dalam kancah politik. Libido kekuasaan yang 
tidak begitu kentara dalam partai ini memunculkan bentuk kepemimpinan 
politik yang khas, yaitu khas 'ndeso'. 'Ndeso' yang mana? Tentu 'ndeso'nya 
kaum santri. Kemunculan PKS memang diiringi juga dengan kebangkitan 
lagu-lagu padang pasir, atau lebih dikenal sebagai nasyid. Seandainya PKS 
tidak lahir, mungkin sulit menghidangkan sesuatu yang baru dalam ranah 
politik Indonesia kontemporer.

Sekalipun digerakkan oleh para ustaz lulusan universitas-universitas di 
Timur Tengah, juga dari Mesir, PKS dalam waktu yang tidak lama berhasil 
membangun sebuah sinergi dengan gelombang generasi politik baru yang dulu 
ikut menyumbang bagi jatuhnya rezim Orde Baru. Ketika partai-partai politik 
lain makin digerakkan oleh klan, PKS justru membuka pintunya lebar-lebar 
kepada kalangan anak-anak kampus yang dulu lebih banyak aktif di musala dan 
organisasi intrakampus.

Selain para ustaz, PKS juga mempunyai lapisan intelektual dan ilmuwan yang 
rata-rata lulusan ilmu eksakta. Mereka berasal dari kampus-kampus sekuler di 
dalam dan di luar negeri. Puritanisme menjadi tidak terelakkan, ketika 
lingkungan politik di Indonesia begitu lemahnya dalam hal ideologi 
perjuangan. Walaupun pernah disebut sebagai wujud dari kebangkitan wajah 
Masyumi dalam ranah politik modern, PKS justru tidak terikat dengan 
simbol-simbol Masyumi itu, sebagaimana terjadi dalam sejumlah partai-partai 
Islam yang mencoba berebut tongkat 'kesaktian' Masyumi, seperti Partai Bulan 
Bintang.

Dalam sebuah kesempatan, Tifatul Sembiring menyebut bahwa 80% lebih kader 
PKS terdiri dari para sarjana perguruan tinggi. Satu hal yang tidak 
disampaikan oleh Tifatul adalah hampir 100% para penggeraknya juga berasal 
dari para mahasiswa yang juga mempunyai jaringan ke kalangan siswa-siswa 
kelas menengah. Merekalah dengan caranya sendiri memengaruhi orang tuanya, 
lingkungannya, dan masyarakat di sekelilingnya untuk menjadi simpatisan PKS 
dalam setiap pemilu. Inspirasi ini boleh jadi muncul dari Anwar Ibrahim yang 
dulu menggerakkan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) yang kemudian 
bergabung ke dalam United Malay National Organisation (UMNO).
***

Manusia PKS, kalau boleh saya menyebutnya begitu, yang muncul hari ini 
kebanyakan berasal dari anak-anak muda belia itu. Mereka bergerak seperti 
kumpulan lebah-lebah pekerja dalam medan-medan pengabdian yang sulit, 
seperti daerah bencana dan daerah konflik. Pergerakan mereka pelan-pelan 
mampu mengambil alih organisasi korporatisme negara yang dulu dibentuk oleh 
Orde Baru, seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Ketika 
organisasi kepemudaan lain makin mengandalkan kedekatan ke kalangan penguasa 
dan pengusaha, manusia-manusia PKS ini justru menyandarkan diri kepada 
ideologi yang mereka perjuangkan, entah itu revivalisme Islam, atau sekadar 
semangat untuk tidak mau didikte oleh kepentingan kapitalisme internasional 
yang digerakkan oleh jaringan Hollywood, sampai Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tidak heran kalau 'pengetahuan' manusia-manusia PKS atas dunia luar di atas 
rata-rata penduduk Indonesia lainnya. Manusia PKS ini mampu mendeteksi 
dengan tepat apa yang terjadi di Palestina, sampai di Khasmir. Terdapat 
banyak sekali sumber informasi yang berasal dari sejumlah majalah, tabloid, 
sampai buku-buku tebal sampai tipis. Ketika televisi, radio atau koran-koran 
di Indonesia 'dianggap' hanya menyampaikan berita dari dunia sekuler, justru 
media massa yang digandrungi manusia-manusia PKS menyampaikan apa yang 
terjadi di luar menurut versi dan perspektif mereka, yakni Islam yang 
terus-menerus menghadapi berbagai cobaan.

Yang mengagetkan, dalam perjalanannya yang belum terlalu panjang sebagai 
satu kekuatan politik di Indonesia, PKS justru mulai terlihat sebagai pemain 
di level elite. Ketiba-tibaan itu justru mengurangi semangat puritan (atau 
dalam sebutan pengamat lain disebut sebagai semangat radikal) yang menjadi 
ciri khasnya. Contoh paling baik adalah kemenangan PKS di DKI Jakarta yang 
sampai setahun ini seperti tidak memberikan perbaikan apa-apa. Prioritas 
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 
terlihat belum menyentuh kepentingan kaum dhuafa dan kaum mustad'afin yang 
bertebaran di Jakarta ini. Ke mana suara PKS yang vokal itu?

Sehingga ada yang menduga betapa PKS hanya besar dalam isu-isu besar, namun 
PKS tiba-tiba kerdil untuk isu-isu kecil dan detail. Padahal, ketika sistem 
politik di Indonesia kian terbuka dan liberal, justru setiap pengambilan 
keputusan kecil akan sangat besar pengaruhnya bagi kepentingan publik.

Memberikan makna atas kemenangan, itulah yang menjadi tantangan 
manusia-manusia PKS hari ini. Berapa pun jumlah kemenangan yang diraih 
tidaklah akan menjadi persoalan, apabila setiap kemenangan itu, setiap suara 
itu, pada akhirnya dapat dikelola menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dari 
sana, justru tantangan PKS sekarang adalah bukan mencapai kemenangan yang 
lebih besar, entah 15% sampai 20%, melainkan bagaimana mengelola setiap 
suara yang dititipkan ke PKS dalam pemilu lalu sebagai sebuah amanah dan 
pekerjaan besar.

Sebagai partai politik yang banyak diminati oleh kelas menengah Muslim, PKS 
juga terlihat mulai membangun aliansi taktis dan strategis dengan 
partai-partai politik lain dalam pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) 
2005 ini. Aliansi ini tentu sah-sah saja, namun, semakin besar aliansi yang 
dibangun, semakin banyak peserta aliansinya, justru PKS bisa semakin lebur 
ke dalam politik praktis yang sebenarnya. Partai politik mana yang 
sebetulnya menjadi 'lawan' PKS tidak begitu terlihat, karena PKS berkoalisi 
hampir dengan setiap partai politik, terutama di daerah-daerah yang 
perolehan suaranya sedikit dalam Pemilu 2004.

Ketika PKS mengusung good governance, misalnya, sebetulnya tema itu sudah 
menjadi tema universal yang juga digerakkan oleh lembaga-lembaga keuangan 
dan bantuan internasional. Tema itu seolah telah menjadi alibi semua pihak, 
betapa Indonesia akan menghadapi masa depan yang lebih baik apabila mampu 
menerapkan sembilan standar good governance yang dirumuskan oleh United 
Nations Development Programme (UNDP). Padahal, untuk kepentingan yang lebih 
luas, penerapan standar itu saja tidak cukup kalau tidak diikuti dengan 
prioritas dan kepedulian atas soal-soal yang lebih mendasar di kalangan 
penduduk miskin Indonesia. Kejelian dan genuinitas dari program-program PKS 
lebih dibutuhkan, ketimbang melakukan duplikasi dengan bahasa-bahasa 
universal yang mulai menjadi jargon baru.

Tentu dengan cara itu PKS sedang mulai mengikatkan diri dengan 
program-program yang memang mempunyai korelasi dengan kepentingan Indonesia, 
secara khusus, dan dunia, secara umum. Namun, dalam artian apa pun, politik 
selalu saja bergerak mencari hal-hal yang unik dan menarik. PKS sudah 
membuktikannya. Apabila PKS beranjak keluar dari ruang edarnya, juga dari 
ciri khasnya selama ini, justru yang terlihat adalah PKS yang lain yang 
tidak ada bedanya dengan partai-partai politik lain. PKS yang seperti ini 
akan sulit bertahan, karena kehilangan identitasnya yang puritan.

Ketika politik itu kotor, dalam ranah publik yang tidak mengenal puisi 
dengan baik, justru dibutuhkan seuntai nada dan irama. PKS mengemasnya 
dengan menyebut diri sebagai partai dakwah yang dikelola para dai. Tetapi 
itu saja tidak cukup. Diperlukan sumber daya manusia yang mampu mengubah 
dakwah menjadi regulasi, ketika PKS ada di parlemen. Namun, pada akhirnya, 
politik adalah persepsi. Jangan sampai justru ketika persepsi mengendalikan 
kehidupan politik, lantas PKS berubah ke arah persepsi itu. Bukan 
sebaliknya, mengubah persepsi orang lain, sesuai dengan ciri khas dan 
karakter dasar dari manusia dan politik PKS selama ini.*** 



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke