Fatwa MUI untuk Melindungi Umat
Senin, 1 Agustus 2005
EDITORIAL 

Fatwa MUI untuk Melindungi Umat

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan 11 fatwa dalam
Musyawarah Nasional (Munas) VII, antara lain tentang haramnya segala bentuk
perdukunan dan peramalan. "Haram untuk mempercayai praktik-praktik
perdukunan dan peramalan, mempublikasikannya dan memanfaatkannya," kata
Ketua Komisi Fatwa Ma'ruf Amin di sela-sela Munas MUI VII di Jakarta Kamis
(28/7), usai memimpin Rapat Komisi C yang membahas soal fatwa. 

Dikatakannya, akhir-akhir ini banyak tayangan media massa memuat hal-hal
mistis seperti perdukunan dan peramalan yang meskipun diperuntukkan untuk
hiburan atau sekedar permainan, namun merupakan tindakan pembodohan dan bisa
membawa masyarakat pada perbuatan syirik. 

Sedangkan tentang Ahmadiyah MUI menetapkan kembali bahwa aliran yang mengaku
Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad saw. ini adalah aliran
yang berada di luar Islam dan yang menjadi pengikutnya adalah murtad,
sehingga mengimbau mereka agar segera kembali ke jalan Islam yang sesuai
dengan Al-Qu'ran dan Hadits. Pemerintah diminta melarang penyebaran aliran
dan segala bentuk kegiatannya serta menutup organisasinya. 

Fatwa inilah yang mendapatkan reaksi keras dari segelintir orang yang
menyatakan diri dalam apa yang mereka sebut sebagai Aliansi Masyarakat
Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Diberitakan bahwa mereka
yang terdiri dari antara lain Gus Dur, Dawam Raharjo, Johan Effendi, Syafii
Anwar, Ulil Absar Abdalla, Pangeran Jatikusuma (penghayat Sunda Wiwitan),
Romo Edi (KWI), Pdt Winata Sairin (PGI), di gedung PBNU, Jakarta, Jumat
(29/7) mendesak MUI mencabut semua fatwa yang memandang aliran lain yang
berbeda karena dinilai seringkali dijadikan landasan untuk melakukan
tindakan kekerasan dan keresahan. 

"Saya menolak sekeras-kerasnya sikap seperti itu. Ini bukan negara Islam
tapi negara nasional. Jadi ukurannya hukum nasional," kata Gus Dur dalam
kesempatan yang juga dihadiri salah seorang anggota JAI, Lamaradi.
Menurutnya, dalam negara Indonesia yang bukan negara Islam maka yang
berwenang menentukan benar atau salah adalah Mahkamah Agung (MA), bukan MUI,
karena itu dia mendesak MA segera mengeluarkan keputusan soal Ahmadiah. 

Pernyataan lebih keras dilontarkan Dawam Raharjo. Dikatakannya, tindakan
kekerasan terhadap warga JAI yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, terutama soal hak menjalankan keyakinan, bersumber dari fatwa MUI.
Namun Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Makruf Amin menyatakan, MUI tidak akan
mencabut fatwa soal Ahmadiah tersebut karena pihaknya hanya meluruskan
persoalan. Dikatakannya, di negara-negara lain Ahmadiah juga dinyatakan
sebagai aliran sesat. 

Kalau kita mau berfikir lebih jernih, kita melihat bahwa fatwa MUI itu jelas
untuk melindungi aqidah umat, keyakinan umat. Sisi inilah yang tidak dilihat
oleh orang-orang yang terjebak oleh perangkap pemikiran Barat dan
racun-racunnya yang bernama hak asasi manusia, kebebasan, pluralisme, dan
sekularisme. Mereka adalah orang-orang yang dangkal dalam berfikir dan tidak
adil dalam bersikap. Mereka menganggap bahwa aliran maupun keyakinan yang
sesat dan menyimpang dari aqidah Islam yang qoth'i harus diberikan kebebasan
untuk berkembang, meskipun menggerogoti aqidah umat. Merekapun membiarkan
terjadinya kristenisasi dengan alasan kebebasan beragama. Tapi mereka tidak
meberikan ruang bagi upaya memelihara aqidah umat dari upaya pemurtadan yang
dilakukan oleh pihak lain. Bahkan mereka menganggap remeh fatwa MUI yang
dulu juga sudah diputuskan di masa Buya Hamka rahimahullah. 

Dan orang-orang tersebut sering menggunakan dalih bahwa negara ini bukan
negara Islam. Jadi menurut logika mereka jangan bawa syariah untuk menetukan
benar salah. Oleh karena itu, kerangka berfikir mereka bukanlah syariah,
tapi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme yang dalam fatwa MUI kali ini
juga diharamkan. Jadi kelihatannya yang terakhir inilah yang justru paling
mereka khawatirkan. Sedangkan kasus Ahmadiyah dan adanya "kekerasan" pada
kasus Kampus Mubarok Parung, hanyalah sebagai trigger saja. 

Kenapa mereka begitu mengkhawatirkan diharamkannya sekularisme, liberalisme,
dan pluralisme dalam fatwa MUI di atas, padahal bukankah paham-paham
tersebut adalah paham Barat yang asing dan bertentangan dengan Islam?.
Bukankah paham-paham itulah yang selama ini telah memerangi umat Islam di
seluruh dunia hingga umat ini lemah, terpecah-belah, dan tertindas oleh
kolonialisme yang dilakukan bangsa-bangsa Barat? Bukankah tujuan perang yang
mereka lakukan untuk melemahkan dan menindas kaum muslimin di berbagai
negeri Islam adalah untuk menguras habis kekayaan kaum muslimin dan "kalau
bisa" adalah merampas aqidah kaum muslimin? 

Apakah mereka tidak pernah membaca warning dari Allah SWT yang telah
berfirman: "Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka
mengembalikan (memurtadkan) kamu dari agamamu kalau sekiranya mereka
mampu..." (QS. Al Baqarah 117). 

Inilah yang seharusnya menjadi acuan mereka, kalau sekiranya mereka masih
memiliki kepercayaan kepada kebenaran Al Quran. Namun mereka mencoba
menutupi kebenaran itu. Bahkan mereka tidak peduli. Mereka melecehkan MUI
dengan mengatakan bahwa ini bukan negara Islam. 

Dimanapun negara yang masih sehat akalnya adalah melindungi keyakinan
rakyatnya. Dan rakyat muslim di negeri ini yang jumlahnya lebih dari 202
juta adalah berkeyakinan aqidah Islamiyah. Keyakinan 87% dari 230 juta
penduduk Indonesia itu tentunya memerlukan perlindungan dari negara dari
berbagai rongrongan aqidah dan berbagai pemurtadan. Sebab aqidah merupakan
fondasi (dasar) dari individu muslim dan masyarakatnya. Rusaknya aqidah umat
akan membahayakan bangunan individu maupun masyarakat. 

Argumentasi yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang menolak fatwa MUI ini
jelas merupakan argumentasi batil dan berbahaya. Argumentasi kebebasan ini
merupakan buah dari pemahaman liberalisme yang berbahaya. Bisa kita
bayangkan bagaimana masyarakat kita akan hancur kalau argumentasi kebebasan
(liberalisme) ini dibiarkan dijadikan patokan. Praktik pornograpi maupun
pornoaksipun akan bisa legal dengan alasan kebebasan ekspresi seni. Dengan
alasan kebebasan ini pula nanti kelompok gay atau homoseksual minta
eksistensinya diakui. Seperti yang terjadi di Barat , dengan alasan
kebebasan mereka meminta perkawinan antara gay dan lesbian disahkan oleh
negara. Kalau argumentasi kebebasan ini diterima, bukan tidak mungkin suatu
saat nanti Bapak akan sah menikahi anaknya sendiri, sesama saudara kandung
menikah. Alasannya satu yakni kebebasan menjalankan keyakinan, tanpa perduli
apakah keyakinan itu sesuai dengan Islam atau tidak. Kita bisa bayangkan
kalau itu terjadi , betapa hancurnya masyarakat kita. Jadi argumentasi
liberalisme (kebebasan) ini harus kita tolak dengan tegas. Karena
jelas-jelas akan mengancam umat dan kehidupan manusia. 

Dalam Islam, ketika seorang keluar dari aqidah Islam, baik ia menjadi
atheis, menjadi Kristen, menjadi Hindu, menjadi Yahudi, termasuk masuk
kelompok yang jelas-jelas menyimpang dari aqidah yang qoth'i dengan
menunjukkan kekufuran yang nyata, maka dia berarti murtad. Islam memiliki
mekanisme hukum untuk menjaga dan memelihara aqidah umatnya lewat sebuah
proses pengadilan negara yang adil; Pertama, orang yang murtad itu diminta
bertobat (istitabah) dan dijelaskan kepadanya kesesatan dan kemurtadannya
dan bahayanya bagi dia di akhirat, yakni akan terhapus amalannya dunia
akhirat (QS. Al Baqarah 117). Kedua, manakala dia menolak, maka dia ditahan
selama tiga hari untuk merenungkan kembali sikap dan keputusannya.
Pengadilan juga akan mengajak dia berdiskusi tentang alasan kenapa dia
murtad lewat proses dialog yang terbuka berdasarkan aqidah dan syariah
Islam. Bisa jadi ada pahamannya yang keliru yang perlu diluruskan. Bisa jadi
orang tadi murtad karena tidak mengerti atau dipaksa. Ketiga, manakala dia
tetap dalam kemurtadannya, maka negara menjatuhkan hukuman mati berdasarkan
hadits Nabi: "Siapa yang mengganti agama (Islam)-nya, maka bunuhlah" (HR.
Muslim). 

Jadi itulah yang harus dilakukan oleh negara. Fatwa MUI bisa dijadikan
landasan oleh negara untuk mengambil tindakan hukum dalam rangka melindungi
keyakinan rakyatnya. Jadi fungsi fatwa ini memang tidak bisa efektif
bilamana negara tidak mengambil tindakan hukum. Karena, eksekusi, apalagi
menyangkut nyawa manusia, tidak mungkin dilakukan oleh MUI, apalagi
masyarakat. Ini adalah tugas dan tanggung jawab negara. Oleh karena itu,
adalah tindakan bodoh menyuruh MUI mencabut fatwa yang melindungi aqidah
umat yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini dan apalagi menudingnya
sebagai penyebab tindakan kekerasan. Justru kita harus memberikan dukungan
yang kuat terhadap fatwa MUI ini. MUI , yang merupakan tempat para ulama
berkumpul, telah menjalankan perannya secara baik dan berani untuk
melindungi aqidah umat Islam. Memang inilah peran penting ulama melindungi
umatnya dari bahaya kehancuran. Meskipun, pastilah pihak-pihak yang ingin
menjadikan negara ini sekuler dan liberal, tidak akan menyukainya. 

Terjadinya tindakan kekerasan, tentunya kita sesalkan. Seharusnya hal ini
tidak terjadi. Namun juga harus dilihat tindakan kekerasan ini muncul akibat
negara tidak menjalankan perannya dengan baik. Negara seharusnya bertanggung
jawab untuk memelihara aqidah umat Islam. Persoalan ini menjadi berkembang
karena negara lalai dalam masalah ini. Perkara inilah yang menyebabkan
sebagian masyarakat gelisah dan bertindak sendiri. Sebenarnya kelalaian
negara tampak bukan dalam masalah ini saja. Lihat saja sering terjadi
pengrusakan terhadap tempat-tempat maksiat , karena negara membiarkan
praktik maksiat yang meresahkan masyarakat tersebut berkembang. Kalau negara
sejak awal bertindak tegas mencegah kemaksiatan tersebut , pastilah tindakan
kekerasan oleh rakyat tidak akan terjadi. Maraknya tindak kekerasan ini
mencerminkan semakin menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan
negara. Sudah menjadi rahasia umum yang diketahui luas, tidak sedikit aparat
negara yang justru melindungi praktik maksiat yang menyimpang tersebut.
Adalah lucu, mengkritik fatwa MUI sebab penyebab kekerasan , sementara
penyebab utama kekarasan ini, yakni lalainya negara tidak dikritisi. 

Bukankah negara adalah perisai bagi umat sebagaimana sabda Nabi saw.: "Imam
(kepala negara) itu bagaikan perisai, umat dilindunginya dari perang (yang
dilakukan siapapun) dan ia menjadi tempat berlindung" (HR. Muslim). 

Semoga dengan kejadian ini umat bisa menilai, siapa sebenarnya yang berjuang
melindungi mereka dan siapa yang sebenarnya memberikan jalan kepada musuh
untuk memerangi mereka. 

Wallaahu muwaffiq ila aqwamit thariiq! 

Jakarta 31 Juli 2005 

Muhammad Al Khaththath.



Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke