http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=117327
Pendidikan Toleransi Beragama Oleh Muhammadun AS Jumat, 5 Agustus 2005 Dialog Antaragama (Interfaith Dialogue) Asia-Eropa yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, baru-baru ini telah menghasilkan Deklarasi Bali tentang membangun kerukunan antaragama dalam komunitas internasional. Ada empat poin yang dihasilkan dalam Deklarasi Bali tersebut, yakni tentang pendidikan, kebudayaan, media massa, keagamaan dan masyarakat. Keempat hal ini harus diusahakan berada dalam kesetaraan dan kesederajatan. Pendidikan bangsa ini harus mengajarkan bahwa perbedaan agama, budaya, dan tradisi masyarakat adalah keniscayaan bahkan merupakan potensi yang bisa dikembangkan demi kemajuan bangsa. Untuk menopang hal itu, media massa harus difungsikan sebagai corong pendorong kebersamaan dan kesederajatan. Karena, berbagai konflik horisontal yang berbau agama sedikit banyak telah terprovokasi dengan berbagai berita miring dari media massa. Sehingga, media massa harus ditempatkan sebagai mediator, penengah di tengah konflik horizontal ini. Tidak hanya itu, institusi keagamaan juga harus bersemangat menyuarakan nilai-nilai toleransi, kesetaraan, dan tidak mengklaim benar sendiri (truth claim). Dari keempat hal itu, "Interfaith Dialogue Asia-Eropa" lebih menekankan tersosialisasikannya agenda dalam hal pendidikan. Karena pendidikan merupakan media paling efektif dalam membangun generasi masa depan yang paham dengan toleransi dan kesetaraan. Untuk itu, dalam deklarasi itu diusulkan membuat kurikulum di sekolah lanjutan mengenai studi antaragama, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman dan saling menghormati antarpemeluk agama yang berbeda-beda. Usulan "Interfaith Dialogue Asia-Eropa" sekarang ini sangat penting untuk disosialisasikan pada publik, karena sampai detik ini, pemahaman keberagamaan masih bersikap ekslusif, tertutup, dan mengklaim paling benar sendiri. Sehingga sering terjadi konflik horizontal yang mengatasnamakan agama sebagai pembenar perbuatannya. Padahal kalau dikaji secara mendalam, tidak ada agama di dunia yang menghendaki kerusakan dan permusuhan, namun semuanya mengajarkan kasih sayang dan perdamaian. Berbagai teror bom, baik peristiwa September eleven, bom Bali, bom Madrid, bom Kuningan, dan yang baru-baru sekarang ini di London dan Mesir, merupakan implikasi dari rendahnya pemahaman masyarakat akan keberbedaan. Dalam pendidikan kita selama ini, pengajaran perbedaan agama hanya sebatas "berbeda" an sich. Dalam arti, perbedaan masih sebatas pengetahuan, di mana keyakinan kita tetap yang paling benar, paing baik (the best), sementara yang lain (the others) adalah salah dan tidak sempurna (uncompletely). Pemahaman seperti ini sering mengarahkan kita kepada absolutisme keyakinan, sehingga keyakinan yang lain harus di"musnahkan". Orang semacam Amrozi dan kawan-kawannya merupakan prototipe masyarakat yang masih memahami secara parsial keberbedaan, sehingga dia harus melakukan perbuatan "keji" (rijsun) yang tidak hanya melukai dirinya sendiri, namun juga melukai Islam dan bangsa Indonesia. Sementara bagi Indonesia, luka itu malah sangat kompleks. Indonesia sering dituduh sebagai pemasok kaum teroris. Sehingga sektor pariwisata dan penanaman modal luar negeri terhambat. Krisis ekonomi yang tadinya diharapkan akan segera pulih, malah ditambah dengan isu terorisme. Ditambah lagi, maraknya konflik horizontal yang diduga sebagai akibat perseteruan "antaragama" di berbagai daerah seperti di Ambon dan Maluku. Toleran dan Humanis Dalam konteks inilah, pendidikan berperan sangat strategis. Di sinilah peran guru akan menjadi titik sentralnya. Guru harus mampu membangun mentalitas anak didik dengan bijaksana. Guru tidak hanya mengajarkan berbagai tempat ibadah dan sebagian ajaran agama lain, namun perlu menanamkan agar seorang siswa dapat menerima dengan senang hati eksistensi agama orang lain. Dalam arti, anak didik tidaklah harus membatasi dirinya untuk bergaul dengan kawan-kawannya selain yang beragama seperti yang dianutnya. Semua harus ditempatkan dalam posisi sama dan setara. Dalam hal ini, guru harus membangun pemikiran anak didik bahwa selama pergaulan itu menyangkut persoalan keyakinan, maka kita wajib melakukannya dengan senang hati dan tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, perlu pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana mewujudkan pergaulan yang toleran dan humanis. Toleran, yakni dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pemeluk agama lain untuk bergaul dan mengembangkan dirinya sebagaimana diri kita sendiri. Sedangkan humanis adalah bagaimana kita memperlakukan mereka sebagai sesama manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai being human. Pendidikan yang mengedepankan toleransi dan humanisme inilah yang akan memberikan terobosan spektakuler dalam membangun perdamaian di muka ini. Untuk itu, semua elemen bangsa harus bersama-sama merealisasikan niat baik "Interfaith Dialogue Asia-Eropa" ini agar ke depan konflik horizontal yang selalu mewarnai bangsa ini semakin terkikis. Ini penting agar masa depan generasi penerus bangsa ini tidak lagi diliputi dengan tindakan kekerasan dan kekejaman, namun diliputi dengan kasih sayang dan kedamaian. *** Penulis peneliti pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Yogyakarta. [Non-text portions of this message have been removed] Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/