MEDIA INDONESIA Kamis, 11 Agustus 2005
Mitos Moderasi Islam Indonesia Hamid Basyaib, anggota Jaringan Islam Liberal SEBELAS fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang konservatif menandai runtuhnya mitos moderasi Islam Indonesia. Kritik dan kecaman orang luar (Barat) bahwa gejala fundamentalisme maupun radikalisme Islam terlihat semakin mencolok di Indonesia, mendapatkan konfirmasi yang meyakinkan dari fatwa hasil Musyawarah Nasional Ke-7 MUI akhir bulan lalu. Selama ini, argumen itu telah menjadi standar, yakni watak mayoritas muslim Indonesia adalah moderat. Para cendekiawan muslim di forum-forum internasional, dalam maupun luar negeri, ataupun setiap mereka berbincang dengan wartawan, peneliti, ataupun diplomat asing, tidak jemu-jemunya mempertegas moderasi mayoritas tersebut. Malah, kalangan Indonesianis pun, setidaknya, setiap mereka diminta berbicara tentang Islam Indonesia di negeri masing-masing, kerap menekankan ciri moderat ini meskipun mereka mengakui, gejala fundamentalisme dan radikalisme memang terasa. Mereka nyaris secara otomatis menyatakan bahwa apa yang disebut 'kaum fundamentalis itu (dengan segala variasi sebutannya: radikal, militan, wahhabi, dan sejumlah istilah lain) hanya terdiri atas segelintir anggota ormas kecil Islam dan umumnya merupakan ormas bentukan baru, atau yang selama masa Orde Baru bergerak di bawah tanah. Bahwa kaum militan tampak besar, itu semata-mata karena mereka vokal dan kerap mendapat liputan media, yang belum juga mampu mengelak dari paradigma lama jurnalistik bahwa bad news is good news. Argumen lanjutannya biasanya adalah moderasi Islam Indonesia dijamin oleh kukuhnya eksistensi dua ormas raksasa, NU dan Muhammadiyah, yang tidak pernah dan tidak akan pernah menempuh garis keras dalam aktivitas sosial keagamaannya. Memang, mungkin saja ada unsur minoritas dalam kedua ormas tersebut, yang menempuh garis lebih keras. Namun, secara keseluruhan, NU dan Muhammadiyah selalu berwatak moderat. Fatwa-fatwa MUI 2005 adalah klimaks dari apa yang selama ini menjadi gejala radikalisasi yang terus bergerak dinamis di kalangan ormas Islam. Isi fatwa-fatwa itu tidak perlu ditulis ulang di sini karena sudah cukup banyak dipaparkan, termasuk di harian ini. Yang penting digarisbawahi adalah penegasan Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin bahwa seluruh fatwa itu disepakati oleh 300 ulama yang hadir dalam munas 2005. Semuanya sengaja dirumuskan dalam forum munas, bukan rapat Komisi Fatwa seperti biasanya, untuk menjamin kebulatan legitimasinya. Dan, memang, kebulatan legitimasi tersebut tercapai. Maka, kata Ma'ruf Amin, semua kritik terhadap semua fatwa ini tidak valid walaupun mungkin, muncul dari kalangan ulama juga karena mereka pasti tidak resmi mewakili ormas Islam. Sedangkan para ulama wakil resmi ormas Islam, termasuk pilar kembar pengawal moderasi Islam Indonesia (NU dan Muhammadiyah), semua sepakat belaka dengan 11 fatwa itu. Itulah sebabnya, kendati sejumlah pihak keberatan dengan munculnya fatwa-fatwa tersebut--karena dicemaskan akan menyulut eksekusi oleh kalangan garis keras di lapangan, bukan karena bobot wibawa fatwa itu sendiri dari segi validitas isi maupun metodologi perumusannya-tiada tanggapan resmi apa pun dari NU dan Muhammadiyah. Berbagai komentar kritis yang muncul hanya dari pribadi-pribadi yang kebetulan duduk di kepengurusan kedua ormas itu, ataupun para mantan petingginya. Misalnya, dari Masdar F Mas'udi (seorang ketua PBNU), Munir Mulkhan (mantan pengurus PP Muhammadiyah), Buya Ahmad Syafii Maarif (bekas Ketua PP Muhammadiyah), Abdurrahman Wahid. Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi hanya menyatakan, seluruh fatwa MUI itu merupakan 'langkah mundur'. Semua merupakan tanggapan singkat dan tidak resmi. Kemustahilan munculnya sikap resmi ormas-ormas tersebut dijamin oleh struktur baru pengurus MUI hasil munas ke-7. Ketua umumnya kembali dijabat oleh KH Sahal Mahfudh, yang tidak lain adalah Rais Syuriah NU, lembaga tertinggi yang mengawasi Dewan Tanfidz (PBNU alias eksekutif). Wakil ketua umumnya, Prof Dr Din Syamsuddin, baru saja terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah. Di bawah mereka berdua, berbaris para ketua, yang merupakan petinggi kedua ormas terbesar Islam itu, ditambah dengan beberapa petinggi dari ormas Islam yang lebih kecil, namun terlihat makin populer. Hanya segelintir kecil cendekiawan dan aktivis HAM yang menentang fatwa-fatwa MUI itu, terutama M Dawam Rahardjo, Ulil Abshar-Abdalla, T Mulya Lubis, Nono Anwar Makarim, Adnan Buyung Nasution, Azyumardi Azra, Djohan Effendi, dan beberapa lainnya. Suara mereka--yang digemakan lewat berita koran, wawancara, deklarasi pernyataan sikap, talk show di televisi di televisi maupun radio--bagai tenggelam ditelan gemuruh pekik dukungan dari mayoritas besar aktivis ormas Islam, misalnya yang berhimpun dalam Forum Umat Islam (FUI) dengan sekitar 30 ormas. Kritik dan desakan akhirnya memang melunakkan sikap mereka, dengan menyatakan kesediaan berdialog dengan pihak-pihak yang berkeberatan dengan semua fatwa itu. Departemen Agama sudah menyatakan bersedia memfasilitasi dialog. Belakangan, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan bersedia menjembatani perbedaan ini. Tidak dijelaskan, bagaimana ia memilah kedudukannya di Muhammadiyah dengan posisinya di MUI. FUI pun menyatakan akan ikut mendukung dialog. Tapi, semua pihak yang mendukung telah mematok hasil final dari dialog yang belum terjadi. Jadi, pada akhirnya, apa pun isi dan hasil dialognya kelak, substansi fatwa itu tidak akan dicabut. Dialog hanya dimaksudkan sekadar saling memperdengarkan keluh-kesah kedua pihak. Fatwanya sendiri akan jalan terus dengan segala ekses kerasnya di lapangan. Maka, jelaslah bahwa para pecinta damai maupun warga negara yang taat hukum dan konstitusi tidak mungkin berharap dari kaum moderat muslim Indonesia untuk lolos dari berbagai dampak destruktif fatwa MUI itu, yang terus dibantah oleh para petingginya sebagai pemicu tindakan anarkis. Sebab, apa yang disebut dengan 'kaum moderat', tidak ada. Kuantitasnya sudah jelas digerogoti besar-besaran, seperti tercermin dari luasnya dukungan terhadap fatwa MUI. Kualitasnya juga semakin memprihatinkan, seperti terlihat dari bungkamnya sebagian besar dari mereka yang tersisa. Harapan terakhir, tinggal kita sandarkan kepada pemerintah. Sekarang, sepenuhnya bergantung pada pemerintah beserta segenap aparatnya, apakah mereka memilih untuk menjamin lancarnya segala ikhtiar pembangunan negeri ini, atau sebaliknya. Juga, apakah mereka memilih untuk membuat citra Indonesia di mata internasional semakin buruk, atau sebaliknya. Kebajikan moderasi merupakan pilihan bagi mereka yang merasa memiliki alternatif saja. Kaum moderat muslim Indonesia rupanya berpikir bahwa mereka tak mempunyai alternatif. Karena itu, mereka tidak merasa perlu untuk mengambil moderasi sebagai sikap dasar.*** Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/