Refleksi: Apa arti kekuatan hukum dari  Nota Kesepahaman [Memorandium of 
Understanding] bila seandainya dicantumkan dengan istilah  Kesepahaman 
Perdamaian [Agreement of Peace Settlement]? Apakah istilah  "Memorandium of 
Agreement" tidak menimbulkan perbedaan interpertasi implementasi persetujuan 
dari pihak yang berdamai?

Dipersilakan bantuan para profesional maupun amateur ahli hukum 
internasional maupun nasional untuk membantu menjelaskan pengertian  istilah 
yang disebutkan. Sebelum dan sesudahnya banyak terimakasih diucapkan.

-----
Media Indonesia
Selasa, 16 Agustus 2005

Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh 
Merdeka



PEMERINTAH Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan 
komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, 
berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua.
Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat 
Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam 
negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
Para pihak sangat yakin hanya dengan penyelesaian damai atas konflik 
tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca-Tsunami 
tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.
Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling 
percaya.
Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan 
prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.
Untuk maksud ini pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:

1. Penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
1.1. Undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
1.1.1. Undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan
selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
1.1.2. Undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh
akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik,
yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil
dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri,
pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal,
kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana
kebijakan tersebut merupakan kewenangan pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh
pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ihwal kepentingan
khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan
legislatif Aceh.
c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan
konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh pemerintah
Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan 
persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh 
legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.
1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk 
bendera, lambang, dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati
tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan
kebutuhan hukum terkini Aceh.
1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara 
dan gelarnya.
1.2. Partisipasi Politik
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak 
penandatanganan Nota Kesepahaman ini, pemerintah RI menyepakati dan akan 
memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang 
memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk 
partai-partai politik lokal, pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau 
paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan 
menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal 
di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan 
Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi 
maksud tersebut.
1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki 
hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk 
mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.
1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah 
undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh untuk 
memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 
2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.
1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berwenang untuk 
mengesahkan peraturan perundang-undangan apa pun tanpa persetujuan Kepala 
Pemerintah Aceh.
1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa 
sebelum pemilihan pada bulan April 2006.
1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, 
akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia.
1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. 
Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.
1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.
1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak 
untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank 
Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).
1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai 
kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan 
bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan 
wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di 
laut teritorial di sekitar Aceh.
1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan 
sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah 
Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.
1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan
laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.
1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian
Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan
lainnya.
1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke 
negara-negara asing, melalui laut dan udara.
1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam
pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat
dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas
kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala
Pemerintah Aceh.
1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh 
pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan 
rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).
1.4. Peraturan Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan 
yudikatif akan diakui.
1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh 
berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana 
tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai 
Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk 
pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik 
Indonesia.
1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi
harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan
(perekrutan) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan 
dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala
Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.
1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan 
diadili pada pengadilan sipil di Aceh.

2. Hak Asasi Manusia
2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan
Bangsa-bangsa mengenai hak-hak sipil dan politik dan mengenai hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya.
2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi 
Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan 
upaya rekonsiliasi.
3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat

3.1. Amnesti
3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional akan memberikan 
amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera 
mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman 
ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan
dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15
hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang
dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari penasihat hukum Misi
Monitoring.
3.1.4. Penggunaan senjata oleh personel GAM setelah penandatanganan Nota 
Kesepahaman ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota
Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan
memperoleh amnesti.
3.2. Reintegrasi ke dalam masyarakat
3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah
diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau
tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik,
ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam
proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan 
Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.
3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk
membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna
memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah
tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan
GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat
yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan
Pemerintah Aceh akan dibentuk.
3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda 
publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola 
oleh Pemerintah Aceh.
3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang
memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar
reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi
bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh 
akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:
a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah
pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak
dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima
alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan
sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu
bekerja.
c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas
akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas,
pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh
apabila tidak mampu bekerja.
3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama
Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak
terselesaikan.
3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai 
polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan 
standar nasional.

4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir 
selambat-lambatnya
pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya.
Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan
emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman
ini.
4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat
peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam kegiatan GAM dengan
bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan
840 buah senjata.
4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 
2005, yang akan dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada 
tanggal 31 Desember 2005.
4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi nonorganik 
dari Aceh.
4.6. Relokasi tentara dan polisi nonorganik akan dimulai pada tanggal 15 
September 2005, dan akan dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan 
penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan 
selesai pada tanggal 31 Desember 2005.
4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi 
adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di 
Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah
penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari
sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala
Misi Monitoring.
4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata ilegal, amunisi dan 
alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak ilegal 
manapun.
4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan
ketertiban di Aceh.
4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. 
Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan 
berada di Aceh.
4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh 
dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi 
manusia.

5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh
5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan 
negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan
komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
5.2. Tugas AMM adalah untuk:
a) memantau demobilisasi GAM dan decomissioning
persenjataannya.
b) memantau relokasi tentara dan polisi nonorganik.
c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam
masyarakat.
d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan
dalam bidang ini.
e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran
terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) membentuk dan memelihara hubungan dan kerja sama yang baik
dengan para pihak.
5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara pemerintah RI dan Uni Eropa
akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA
mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan
anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah
diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis
penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.
5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan
mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI akan menulis surat kepada
Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan
komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat
AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat kepada Uni Eropa dan
negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan
dukungannya kepada AMM.
5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga 
dan stabil bagi AMM dan menyatakan kerja samanya secara penuh
dengan AMM.
5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. 
Hanya tugas-tugas yang tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang 
akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau 
kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.
5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personel AMM di 
Indonesia. Personel AMM tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga
Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa patroli
tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal
ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan
bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.
5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata
dan mendukung tim-tim pengumpul senjata bergerak (mobile team)
bekerja sama dengan GAM.
5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan 
amunisi. Proses ini akan sepenuhnya didokumentasikan dan
dipublikasikan sebagaimana mestinya.
5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan
laporan rutin kepada para pihak dan kepada pihak lainnya sebagaimana
diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni Eropa
dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.
5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan
menunjuk seorang wakil senior untuk menangani semua hal ihwal yang
terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala Misi
Monitoring.
5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur
tanggung jawab kepada AMM, termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi.
5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan
berkaitan dengan pelayanan medis darurat dan perawatan di rumah sakit
bagi personel AMM.
5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses 
penuh bagi perwakilan media nasional dan internasional ke Aceh.

6. Penyelesaian perselisihan
6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan
Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi
Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua
pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala
Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat
para pihak.
b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan
tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di
atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi
Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya,
Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan
mengikat para pihak.
c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan
melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala
Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia,
pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis
Management Initiative, serta memberi tahu Komite Politik dan
Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak,
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan
mengambil keputusan yang mengikat para pihak.
Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten 
dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari 
Senin,tanggal 15 Agustus 2005.

A.n. Pemerintah Republik Indonesia,            a.n. Gerakan Aceh Merdeka,
Hamid Awaluddin                                               Malik Mahmud
Menteri Hukum dan HAM Pimpinan

Disaksikan oleh,
Martti Ahtisaari
Mantan Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative
Fasilitator proses negosiasi
2-1 31 22 32
Terjemahan resmi ini telah disetujui delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan 
resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam 
bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.. 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke