http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/8/16/o3.htm


Mempertanyakan Pengajaran Sejarah

SEBUAH pertanyaan sederhana tetapi cukup menggelitik, dan mendorong kita untuk 
mengintrospeksi diri menjelang detik-detik perayaan 60 tahun Kemerdekaan 
Republik Indonesia seperti sekarang ini: Apakah kita, orang-orang tua masa 
kini, masih hafal syair lagu ''Indonesia Raya'', dan bagaimana halnya anak-anak 
serta generasi muda kita?

Lagu kebangsaan tersebut pada hakikatnya adalah simbol. Namun, jika menyelami 
apa yang ada di baliknya, dalam lagu tersebut kita akan menemukan kekuatan, 
semangat dan nilai-nilai positif masa lampau. Lagu kebangsaan, lagu wajib, dan 
juga lagu-lagu perjuangan lainnya adalah simbol-simbol sejarah.

Sebuah sejarah berdimensi tiga: masa lampau, masa kini, dan masa depan. 
Simbol-simbol sejarah, apakah berwujud lagu perjuangan, tokoh pejuang, bendera 
pusaka, dan lain-lain, adalah sarana dialog kita yang hidup pada masa kini 
dengan masa lampau, dalam rangka menyongsong masa depan. Sejarah adalah dialog, 
kata sejarawan Belanda Prof. P. Geyl. 

Dialog dimaksudkan untuk menyelami cita-cita dan persepsi masa lampau, untuk 
memelihara kekuatan pembangkit dan penggerak semangat untuk meneruskan 
cita-cita itu.

Oleh karena itu, kita terdorong untuk mempertanyakannya ketika lagu-lagu 
perjuangan tidak lagi berkumandang lantang di tengah masyarakat Indonesia pada 
hari-hari menjelang detik-detik peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI. Apakah 
Sang Saka Merah Putih baru berkibar semarak jika pengibarannya dianjurkan oleh 
pemerintah? Tidak lagi berkumandang lantang dan tidak lagi semarak, paling 
tidak, jika suasana itu dibandingkan dengan saat-saat dalam masa pemerintahan 
Pak Harto, apalagi jika dibandingkan dengan saat-saat dalam masa kekuasaan Bung 
Karno. Adakah yang salah pada diri kita?

Jika ada yang salah, tentu kita semua yang bertanggung jawab. Jika demikian 
halnya maka kita patut mempertanyakan bagaimana proses transferisasi dan 
sosialisasi simbol-simbol sejarah itu berlangsung. Bagaimana proses itu 
berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan, formal maupun nonformal. Adakah yang 
salah dalam proses pengajaran sejarah, misalnya?

Sejarawan Universitas Udayana, Nyoman Wijaya, menyatakan pemerintah terkesan 
membiarkan atau pura-pura tidak tahu bahwa sebagian besar guru sejarah hanya 
mengajarkan sejarah, mengabaikan pendidikan sejarah. Implikasi lebih luas 
sistem pengajaran seperti itu terlihat pada tingkat pengetahuan anak didik 
mengenai sejarah. Umumnya pengetahuan mereka hanya terbatas pada peristiwa apa 
yang telah terjadi pada masa lampau, di mana dan kapan suatu peristiwa terjadi. 

Sesungguhnya, menurut sejarawan itu, sejarah bukan semata-mata hafalan: apa, di 
mana, dan kapan. Ada yang lebih penting, yakni mengapa dan bagaimana suatu 
peristiwa terjadi.

Jika melihat realitasnya sehari-hari, kita akan lebih prihatin lagi. Jika toh 
siswa hafal di mana dan kapan suatu peristiwa sejarah terjadi, sebagian 
terbatas pada saat menjelang ujian. Acara kuis yang digelar dengan peserta 
unsur-unsur generasi muda, seperti siswa, mahasiswa, maupun artis, memberi 
petunjuk betapa generasi muda kita umumnya sangat lemah dalam hal pengetahuan 
sejarah. Anak-anak kita yang duduk di sekolah tingkat dasar, tidak semua bisa 
menyanyikan lagu kebangsaan ''Indonesia Raya'', lagu wajib atau lagu-lagu 
perjuangan secara sempurna, walaupun sebagian mereka hafal dan terampil 
menyanyikan lagu kebangsaan Kerajaan Inggris, misalnya. Sebagian orangtua pun 
cenderung lebih suka membelikan anaknya mainan layang-layang, walaupun bendera 
Merah Putih yang juga banyak dijual di kios-kios jauh lebih murah harganya.

Proses transferisasi dan sosialisasi simbol-simbol sejarah memang tidak cukup 
lewat pengajaran sejarah di lembaga-lembaga pendidikan. Proses tersebut perlu 
juga ditunjang pengadaan sarana, baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun di 
masyarakat. Seyogianya pemerintah segera mengayunkan langkah kongkret 
memberikan perhatian lebih serius pada sistem pengajaran sejarah serta sarana 
penunjangnya, seperti guru sejarah, buku sejarah, museum dan balai-balai kajian 
sejarah. Semangat berotonomi daerah juga harus diarahkan tiap pemerintah daerah 
dalam upaya melahirkan pikiran kreatif dan holistik untuk memelihara dan 
merawat warisan sejarah pada umumnya, di daerahnya masing-masing.

Tragis, di daerah tujuan wisata yang mengandalkan kebudayaan sebagai aset dan 
daya tarik utama, banyak warisan sejarah kebudayaannya yang telantar tak 
terpelihara. Tak terkecuali di Bali. Padahal museum, misalnya, seperti Museum 
Manusa Yadnya dan Museum Subak yang pernah dirintis keberadaannya, bukan hanya 
mampu menjadi sarana dialog dengan masa lampau dalam rangka menyongsong masa 
depan, tetapi jika dikelola dengan baik, juga mampu menjadi daya tarik wisata 
yang lebih beragam.




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to