LAMPUNG POST Selasa, 16 Agustus 2005 OPINI
60 Tahun Merdeka, Selamat Tinggal Reformasi * Idi Dimyati, Pengajar FISIP Untirta Serang Apa kabar reformasi? Pertanyaan ini rasanya tepat dilontarkan kala bangsa ini memperingati proklamasi kemerdekaan ke-60. Sebab, proklamasi kemerdekaan dan reformasi mempunyai makna yang istimewa bagi bangsa ini. Jika proklamasi 1945 sebagai puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia, reformasi sebagai tonggak sejarah perjalanan bangsa untuk mengoreksi dan meluruskan kembali cita-cita proklamasi kemerdekaan. Angin reformasi semula melahirkan banyak harapan. Reformasi menjungkirkan hegemoni Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun. Termasuk membuat para kroninya centang-perenang dan lari tunggang-langgang. Banyak dari mereka yang seketika menyulap diri menjadi reformis untuk menyelamatkan diri agar tak tergulung angin reformasi. Sayang, hari demi hari angin itu kian melemah. Bahkan, warna reformasi yang semula cerah-semringah sekarang tampak pasi, hampir layu sebelum berkembang. Kini, media massa lebih banyak menggambarkan potret yang mematahkan harapan reformasi. Realitas yang terasa penuh noda, luka, dan teror. Indonesia penuh warna buram; bangsa bodoh, miskin, terbelakang, dan banyak utang. Hampir-hampir tak ada yang membanggakan pada bangsa ini. "Malu aku jadi orang Indonesia," kata penyair Taufiq Ismail. Prestasi korupsi luar biasa tinggi. Negeri ini surga para koruptor. Korupsi yang dulu hanya di tingkat elite birokrasi, kini merata di hampir semua lapisan birokrasi. Korupsi pun disebut-sebut menjelma sebagai salah satu "budaya" bangsa. Bagaimana dengan dunia pendidikan kita? Mutu pendidikan kita melorot jatuh. Negeri ini juga dikenal sebagai sarang narkoba. Bukan hanya menjadi daerah peredaran atau pemasaran. Tetapi juga jadi salah satu kantong produksi terbesar di dunia. Kian hari korban narkoba terus bertambah, tak kenal dari kalangan mana, mulai gembel sampai anak mantan presiden takluk di bawah kuasa narkoba. Di sisi lain, hukum di negeri ini bak macan ompong. Ada, tapi seolah tiada. Hukum seakan hanya dialamatkan bagi kelas teri, lemah, dan tak mampu menyuap aparat seperti maling ayam dan jemuran pakaian. Konglomerat hitam yang merampok harta negara triliunan rupiah bukan saja tak divonis berat, tetapi dibebaskan dari segala tuntutan. Kita telah merdeka 60 tahun. Tetapi, angka kemiskinan dan pengangguran terus menggelembung. Sebaliknya, kebutuhan hidup mengimpit dan daya beli kian menyempit. Kenyataan ini melahirkan banyak persoalan sosial yang akut. Frustrasi sosial dan kriminalitas misalnya, memperlihatkan grafik yang terus merambat naik. Pengangguran yang melambung tinggi melahirkan migrasi besar-besaran tenaga kerja ke luar negeri. Sayang, umumnya tenaga kerja kita tak memiliki pendidikan dan skill tinggi sehingga hanya bisa bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sopir atau buruh kasar di berbagai belahan negara seperti Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Asia Timur. Reformasi memang membawa kebebasan luar biasa. Kebebasan beraksi inilah yang dimanfaatkan para perusak lingkungan. Illegal logging (penebangan liar) dan industrialisasi yang hanya mengejar keuntungan finansial tanpa berpikir panjang tentang kelangsungan ekosistem atau keseimbangan alam terus berlangsung dalam skala sangat luas. Lalu, serbuan budaya luar lewat ragam acara di layar kaca yang jauh dari nilai-nilai budaya kita menyusup tanpa henti. Generasi sekarang lebih banyak tumbuh dalam asuhan TV, internet, PlayStation, dan media massa--hiburan lain dibandingkan dalam asuhan guru atau orangtua mereka. Media telah menjadi the first parent atau bahkan the first God bagi mereka. Wajah tragis Indonesia tampak kian lengkap ketika kita melihat realitas perpolitikan kita. Memang, sejak reformasi kita dinilai sebagai bangsa yang sukses besar melakukan eksperimentasi demokrasi. Pemilihan umum (pemilu) langsung anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah yang kemudian disambung dengan pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2004 lalu terbukti berjalan mulus tanpa pertumpahan darah seperti dikhawatirkan banyak kalangan. Angka partisipasi rakyat Indonesia dalam kedua pemilu itu pun luar biasa. Sayang, hasil dari pemilu yang disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis pasca-Pemilu 1955 itu tak banyak berarti. Dalam tata pemerintahan Indonesia pascareformasi bergulir, lahirnya UU No. 22/1999 yang diikuti UU No. 32/2004 berimplikasi cukup besar bagi sharing kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Sistem pemerintahan yang selama Orde Baru sentralistis berubah menjadi desentralisasi yang dalam prakteknya kerapkali problematis lantaran tarik-menarik kepentingan yang cukup kuat antara pusat dan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dalam praktek tata pemerintahan berimplikasi juga pada pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Sejak Juni 2005 lalu hingga kini, gegap gempita pilkada terus bergema di banyak wilayah. Dari sana kita bisa belajar budaya politik kita ternyata belum terdesentralisasi. Kemandirian politisi lokal belum tampak terlihat nyata. Mereka masih mengandalkan tokoh-tokoh pusat yang memilki popularitas untuk mendongkrak perolehan suara. Maka, pilkada pun diramaikan banyak tokoh pengurus partai pusat dan artis Ibu Kota yang naik panggung kampanye di daerah. Dominasi pengurus partai politik di tingkat pusat memang terasa cukup tinggi. Koalisi antarpartai politik yang selama ini tak pernah dibayangkan terjadi dalam pilkada di banyak wilayah. Benar apa kata sebuah adagium; tak ada kawan atau lawan sejati dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan sejati. Pelajaran lain dari pilkada adalah kita memang ternyata belum dewasa dalam berdemokrasi. Banyak daerah yang menggelar pilkada harus berakhir dengan amuk massa. Tentu saja kita harus jujur, di negeri yang terus terluka ini juga ada beberapa hal yang membanggakan. Misalnya, beberapa murid jenius kita meraih penghargaan di banyak olympade internasional, antara lain Olimpiade Fisika, Kimia, Biologi, dan Astronomi. Mereka adalah bintang yang bersinar di tengah gulita bangsa kita. Di luar mereka, tentu ada juga pejuang-pejuang kehidupan yang tak terekam media massa kita yang lebih gandrung menyiarkan sinetron, telenovela, atau idol-idolan. Inspirasi dan semangat reformasi kini lenyap ditelan tsunami korupsi, kolusi, dan nepotime (KKN) yang telanjur melembaga dan membudaya. Betapa kita harus mengurut dada ketika para guru besar dan akademisi yang duduk di kursi Komisi Pemilihan Umum (KPU) nyata-nyata terbukti melakukan tindak korupsi. Hancur sudah harapan akan kekuatan barisan civil society kita. Sebab, kata orang, KPU merupakan simbol paling nyata kekuatan civil society di negeri ini yang telah lama diikhtiarkan dengan terengah-engah. Akhirnya, pekik mahasiswa yang mengawal reformasi tahun 1998 mungkin perlu diubah. Bukan lagi, reformasi sampai mati. Tetapi reformasi sampai basi atau reformasi telah mati. Mungkin, mulai kini, ketika pagi 17 Agustus 2005 menjelang, dan saat banyak orang merayakan kemerdekaan dengan aneka perayaan, pada saat yang sama kita harus katakan dengan lirih, selamat tinggal reformasi. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/