http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=185921

Senin, 22 Agt 2005,

Wajah Bangsa Gila Gelar
Oleh Muhammad Imam Subkhi *


Tangisan dunia pendidikan kita seolah semakin keras saja dengan munculnya 
kasus gelar palsu yang diterbitkan lembaga pendidikan fiktif. Apalagi, 
seperti diberitakan banyak media, termasuk Jawa Pos, yang menggunakan gelar 
palsu tersebut adalah para pejabat tinggi negara.

Ketika beberapa permasalahan belum terselesaikan, kini bangsa kita semakin 
tercambuk lagi dengan pencorengan wajah pendidikan yang sangat memalukan. 
Walaupun, isu itu tak jauh beda dengan masalah ijazah palsu yang sempat 
mencuat sebelum pemilu legislatif 2004 kemarin.

Bangsa yang Gila Gelar

Ketika kita menengok lebih jauh ke belakang, fenomena gila gelar itu tidak 
terlepas dari budaya kerajaan di Indonesia. Orang Jawa akan dihormati jika 
mereka memiliki gelar yang diberikan kerajaan. Misalnya, orang akan 
dihormati dalam kehidupan sosial masyarakat jika menyandang gelar-gelar yang 
membuatnya disegani.

Bahkan, seorang raja merasa perlu menaikkan gelar untuk melegitimasi 
kekuasaannya. Pada masa modern seperti sekarang pun, orang ramai memburu 
gelar dengan berbagai cara untuk menaikkan prestise diri di hadapan 
masyarakat.

Orang bangga jika memiliki gelar sarjana, doktor, bahkan profesor untuk 
menaikkan posisi tawarnya. Namun, sumber finansial yang tidak diimbangi 
dengan kemampuan intelektual mengakibatkan banyak orang yang memotong jalur 
untuk memudahkan dirinya mendapatkan gelar kesarjanaan atau gelar akademik 
lainnya.

Hal itulah yang direspons sebagian orang untuk memperdagangkan gelar 
kesarjanaan. Dengan tanpa kuliah, ujian skripsi, tesis, dan disertasi, orang 
bisa mendapatkan gelar yang diinginkannya. Itu adalah penipuan besar. 
Padahal, gelar tersebut tidak akan berguna jika tidak diimbangi dengan 
kemampuan intelektual dan skil.

Ada beberapa permasalahan yang perlu kita kaji dalam hal itu. Pertama, watak 
manusia Indonesia belum menunjukkan sikap yang menjunjung nilai-nilai 
kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab.

Kedua, minimnya keterampilan yang dimiliki. Penggunaan gelar palsu oleh 
pejabat negara merupakan cerminan rendahnya kejujuran dan tanggung jawab. 
Bisa dibilang, penyelenggaraan negara ini hanya aksi tipu-tipu para pejabat.

Namun, tidak bisa diasumsikan bahwa semua pejabat menggunakan gelar palsu. 
Namun, penggunaan gelar palsu tersebut memberikan image buruk.

Hal itu diperparah lagi dengan skil yang sangat rendah. Orang akan tertawa 
terpingkal-pingkal jika mengetahui seseorang dengan gelar mentereng, tapi 
tidak memiliki kemampuan apa-apa. Seorang bergelar doktor, tapi kemampuannya 
tidak lebih baik dari yang bergelar sarjana S1.

Perlu dicatat lagi, banyak sarjana kita yang memiliki nilai tinggi tak mampu 
mendapatkan kerja yang layak. Sebab, kemampuan akademisnya tidak diimbangi 
dengan skil yang mumpuni.

Akhirnya, gelar tersebut jadi sia-sia saja. Padahal, mereka sudah bersusah 
payah kuliah selama empat tahun. Itu menunjukkan bahwa bukan gelar yang kita 
butuhkan, tapi intelektual dan skil.

Pernah suatu kali pada Pemilu 1999, saya menjumpai seseorang yang belum 
lulus kuliah, tapi berani menambahkan gelar sarjana di belakang namanya 
dengan tujuan memikat masyarakat untuk memilih dirinya. Hal itu semakin 
menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang gila gelar.

Esensi Pendidikan

Sebenarnya, itu tidak perlu terjadi jika kita semua memahami bahwa esensi 
pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan diri 
dari segala bentuk kebodohan. Bukan sekadar selembar ijazah atau hanya 
menterengnya embel-embel gelar kesarjanaan. Orang tidak butuh gelar untuk 
menegaskan kemampuan intelektualnya.

Dengan karya, kemampuannya bisa diakui semua orang. Bahkan, orang tidak akan 
merasa perlu sekolah formal jika merasa mampu membebaskan diri dari 
kebodohan.

Dengan menyandang gelar tinggi tapi tidak mampu melakukan apa-apa, mereka 
malah menjadi bahan gunjingan dan tertawaan orang. Apalagi, yang disandang 
gelar palsu.

Dalam konsepsi Paulo Freire, ketika orang memposisikan dirinya dalam 
kerangka pikir idealis yang memisahkan antara kesadaran dan kenyatan, maka 
kesadaran harus didudukkan pada kenyataan. Walaupun sebenarnya, kenyataan 
dicerap oleh kesadaran. Transformasi kenyataan dilakukan dengan transformasi 
kesadaran.

Jadi, hal yang perlu kita tata dalam permasalahan itu adalah kesadaran kita. 
Orang harus berpikir sadar bahwa jika ingin gelar, dia harus menempuh 
pendidikan. Namun secara sadar lagi, orang menempuh pendidikan bukan sekadar 
untuk mendapatkan gelar, melainkan mendapatkan ilmu untuk diimplementasikan 
dalam kehidupan masyarakat dan demi kesejahteraan masyarakat.

Jadi, bukan gelar yang perlu kita tunjukkan kepada masyarakat. Namun, suatu 
pemikiran dan tindakan berguna bagi kesejahteraan masyarakat kita.

* Muhammad Imam Subkhi, mahasiswa Ilmu Politik UNAIR 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:[EMAIL PROTECTED]
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to