SUARA KARYA Pluralisme Sebagai Kemestian Sejarah Oleh Muhtadi
Jumat, 2 September 2005 Peristiwa pelarangan Ahmadiyah di Indonesia, di kemudian disusul dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme, sekuralisme, liberalisme tetap saja mengundang sikap pro dan kontra. Fatwa tersebut juga menyimpan banyak kekhawatiran karena akan mengarah kepada kehidupan yang seragam. Padahal kehidupan beranekaragaman (baca; plural) adalah kenyataan sejarah yang tak bisa ditolak bahkan digugat, karena hal itu sudah hukum alam. Pluralitas dari segi agama, etnis dan budaya adalah kemestian sejarah. Kelahiran dan perjalanan hidup manusia sudah melekat perbedaan-perbedaan di dalamnya. Kita masing-masing memiliki sejarah dan karakter unik, kita masing-masing dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, kita masing-masing dilahirkan dalam suatu cara hidup atau pola tertentu. Seorang yang lahir di pedalaman Baduy, Banten Selatan, dan seorang lahir Timika, Irian Jaya, akan memiliki perbedaan pengalaman dan pandangan tentang dunia dan tempat mereka. Dan, kita masing-masing memiliki nilai-nilai yang memandu atau menuntut perilaku dan tindakan kita sehari-hari. Perbedaan-perbedaan alami di atas sudah mengantarkan manusia bahwa pluralitas tak bisa ditolak. Berbeda itu pasti dan merupakan kemustahilan sejarah bila kita semua harus seragam dan homogen. Justru dengan adanya pluralitas kehidupan, umat manusia akan lebih kaya dan bermakna bahkan indah. Rasa warna, keindahan dan kebermaknaan akan hilang kalau kita tidak plural. Hidup akan terasa monoton dan datar tanpa pluralitas. Untuk itu, kearifan memahami perbedaan yang ada adalah solusi bagi kehidupan yang serba multi: agama, etnis, budaya, sosial dan lainnya. Begitu pula dalam bidang agama pluralitas itu pasti ada. Penjelasan Haryatmoko mengutip E Schillebeeckx, mengatakan, "Tuhan terlalu kaya dan sangat tak terbatas sehingga tradisi agama tertentu tidak akan menimba secara sempurna dan tuntas kepenuhan Tuhan." Pluralitas terjadi dalam agama karena keterbatasan manusia akan Maha Kaya dan sempurnanya Tuhan. Pluralisme merupakan keterbatasan manusia akan ketidakmampuan manusia memahami kebesaran Tuhan. Tetapi hal ini, tentu saja, tidak mengurangi makna dari agama sebagai jalan kebenaran dan keselamatan bagi pemeluknya. Berkaitan dengan kenyataan di atas, pluralisme adalah kemestian sejarah yang harus diterima secara lapang dada oleh umat manusia. Yang terpenting, bagaimana menyikapi pluralisme sehingga tidak jatuh pada konflik berkepanjangan sehingga bisa menjadikan bumerang bagi kehidupan manusia? Anti-pluralisme Sejarah selalu terulang, manakala pluralisme selalu mendapat gugatan dan permusuhan. Sebelum fatwa MUI mengharamkan pluralisme, sekuralisme dan liberalisme, sudah ada hal yang sama terjadi terutama di belahan bumi yang lain. Contohnya, Josep de Maistre seorang pemeluk Katolik militan Perancis yang hidup di abad ke-18. Terutama melalui tulisan-tulisannya, ia menyuarakan gagasan anti pluralisme. Ia ingin membumihanguskan liberalisme dan pluralisme dari bumi Perancis. Karena, liberalisme dan pluralisme telah menggoyahkan otoritas gereja pada waktu itu. Maistre menginginkan kehidupan agama yang absolut yang tidak dirayakan oleh pluralisme maupun liberalisme. Kemudian, Carl Schmitt, seorang ahli hukum dan politik terkemuka Jerman pada awal abad ke-20 merupakan sosok yang bermusuhan dengan pluralisme dan liberalisme. Menurut Schmitt, Jerman menjadi lemah karena telah dirasuki oleh semangat pluralisme dan liberalisme sehingga tidak bisa membedakan mana musuh dan mana kawan. Klaim bahwa dirinya paling benar dan lainnya sesuatu yang salah merupakan bibit dari anti-pluralisme. Berbeda tentu tidak benar. Kenyataan ini sering kali timbul terutama ketika fanatisme tumbuh dalam kalangan umat beragama. Agama dan keyakinanlah yang paling benar sementara yang lain tidak benar alias salah (baca: kafir). Klaim kebenaran inilah merupakan awal timbulnya sikap fanatisme atau absolutisme yang kemudian meminggirkan yang berbeda dengannya. Anti-pluralisme merupakan kenyataan yang mengerikan bagi kehidupan manusia. Karena, cara berbeda dalam hidup harus selalu ditiadakan atau digusur. Membiarkan berbeda seolah-olah musuh yang harus terus-menerus dilawan karena mengganggu bagi mereka yang mengidap penyakit anti-pluralisme. Inilah kengerian historis yang akan selalu berulang dan berulang. Memahami pluralisme dan menyikapi dengan cara berdialog adalah sebuah kearifan oleh kita sebagai umat manusia. Karena, memusuhi pluralisme sama saja dengan menodai hukum alam. Bukankah alangkah bijaknya kita memahami dan merayakan perbedaan tersebut? Anti-pluralisme yang kemudian dengan menebar teror dan kekerasan terhadap mereka yang berbeda hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan dan kekerasan yang berantai. Untuk itu, bukan tindakan yang arif, mengeluarkan fatwa haram bagi pluralisme, liberalisme maupun sekuralisme sementara realitas kehidupan kita sehari-hari menunjukkan sebaliknya. Begitu pula pelarangan bagi gerakan Ahmadiyah yang kemudian mengundang cara-cara kekerasan melenyapkan gerakan yang dianggap sesat atau menyimpang tersebut. Kita semua harus belajar pada kerajaan Ottoman dalam soal pluralisme. Dalam kerajaan Ottoman, umat Islam, Kristen dan Yahudi, semuanya diakui sebagai satuan yang memerintah diri sendiri (atau istilahnya millet) dan diperbolehkan untuk menerapkan hukum agama yang restriktif kepada para umatnya masing-masing. Kerajaan Ottoman dibangun oleh umat Islam yang berhasil menaklukkan sebagian Timur Tengah, Afrika Utara, Yunani dan Eropa Timur selama abad ke-14 dan 15. Akibat dari penaklukan, banyak wilayahnya juga menganut agama Yahudi dan Kristen. Tetapi Kerajaan Ottoman tidak memaksakan mereka untuk memeluk agama tertentu, bahkan mereka diperbolehkan untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing. Sejarah Kerajaan Ottoman mewartakan kepada kita bahwa pluralisme bukannya harus dihilangkan tetapi dirayakan dan ditumbuhkan eksistensinya. Pluralisme seharusnya dirayakan dengan dialog sehingga melahirkan sikap saling menghargai dan menghormati keperbedaan yang melekat pada umat manusia. Yang berbeda, karena keyakinan atau kepercayaan, agama, etnis, ras, rasa sosial atau budaya. Dialog dan dialog merupakan metode yang bisa diharapkan untuk meredam sikap anti-pluralisme. Tentu saja dialog di sini harus dibingkai dengan kesadaran bahwa perbedaan mustahil dihilangkan, ketulusan, keikhlasan serta kejujuran dari peserta dialog tersebut. Bukannya asal dialog yang tidak memiliki implikasi yang nyata bagi perayaan kita semua akan pluralisme. Semoga. *** Penulis peneliti Nalar Institute. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/