BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
Pemahaman Ahmadiyah Qadiyan tentang akhirat.

Dalam "Tafsir"(*) Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah kedua serta cucu Ghulam 
Ahmad) potongan ayat WBALAKhRt HM YWQNWN [2:4] diterjemahkan:
-- and they have firm faith in what is yet to come (dan mereka yang teguh 
keyakinannya tentang apa yang akan datang). Ini ditafsirkan spb: The word 
ALAKhRt (what is yet to come) means either "the message or revelation which is 
to follow" or "the Last Abode", i.e., the next life. Of these two meanings the 
first is more applicable here (Kata ALAKhRt-mereka yang teguh keyakinannya 
tentang apa yang akan datang- berarti salah satu di antaranya, risalah atau 
wahyu yang akan menyusul, ataukah tempat berteduh terakhir, yaitu kehidupan 
yang akan datang. Dari kedua makna ini, makna yang pertamalah yang lebih tepat 
dipergunakan di sini).

Jadi jelas, Qadiyanisme memperalat ayat [2:4] sebagai pembenaran akan turunnya 
wahyu ataupun datangnya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. 

Padahal kata ALAKhRt lawannya ALAWLY, sedangkan kata ALAWLY ini tidak 
didapatkan dalam ayat [2:4], melainkan QBL, yaitu dalam potongan ayat ANZL MN 
QBLK (diturunkan sebelum engkau). Adapun lawan kata QBL adalah B'AD = sesudah. 
Tidak ada kata B'AD dalam potongan ayat WBALAKhRt HM YWQNWN. Dengan demikian 
pemaknaan ALAKhRt = risalah atau wahyu yang akan menyusul oleh Qadiyanisme 
sangatlah diakal-akali, amat dipaksakan, dengan tujuan sebagai pembenaran akan 
adanya wahyu setelah Nabi Muhammad SAW, ataupun datangnya nabi, yaitu Ghulam 
Ahmad setelah Nabi Muhammad SAW. Menurut Qadianisme Ghulam Ahmad adalah 
sekaligus Nabi, al-Masih, al-Mahdi al-Muntazhar dan Krishna.

Wassalam,
HMNA
---------------------
(*)
Kitab "Tafsir" Bashiruddin Mahmud Ahmad ada dalam perpustakaan pribadi saya.



  ----- Original Message ----- 
  From: Aman FatHa 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, September 08, 2005 04:50
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Dengar Pendapat DPR-MUI seputar Fatwa Ahmadiyah


  Assalamualaikum Wr. Wb.

  Islam memang tidak pernah sepi dari aliran-aliran dan mazhab-mazhab, baik 
  fikih atau akidah. Pada masa kebangkitan Islam seperti yang 
  didengung-dengungkan, banyak pihak yang berupaya melakukan kajian-kajian 
  dalam rangka melakukan pendekatan-pendekatan antarmazhab. Dulu aliran-aliran 
  ini penuh dengan konflik dan pertikaian, apalagi ketika aliran-aliran itu 
  menerjunkan diri dalam kancah politik dan perebutan kekuasaan. Persoalan 
  tentang perbedaan mazhab dan kelompok aliran di antara kaum muslimin kembali 
  merebak. Khususnya setelah kejadian yang menimpa golongan Ahmadiyah di 
  Parung, Bogor. Mayoritas orang Islam, khususnya di Indonesia--pada sudut 
  pendapat dan pandangan--memang tidak sejalan dengan Ahmadiyah. Lebih dari 
  itu, kita juga menemukan beberapa kelompok dan tokoh ulama yang menyatakan 
  mereka ini bukan dari Islam dan semestinya tidak mencaplok Islam pada nama 
  kelompok mereka.

  Apakah Ahmadiyah golongan Islam atau bukan? Bagi saya pertanyaan ini masih 
  lebih baik dengan tujuan mengkaji kembali konsep-konsep teologis dan 
  pendapat para ulama dalam masalah aliran-aliran ini. Bagaimanapun, 
  pertanyaan apakah Islam atau bukan, sudah masuk lingkup teologis dan akidah 
  yang berkaitan erat dengan keimanan Islam. Dalam hal ini kita juga perlu 
  mencermati kembali prinsip-prinsip dasar Iman sehingga tidak bercampur aduk 
  dengan persoalan kesempurnaan Iman.

  Berkaitan dengan Ahmadiyah, kalau pertanyaannya, kenapa Ahmadiyah masih 
  mengaku sebagai muslim? Maka jawabannya bagi saya, karena mereka memang 
  muslim. Tuduhan kepada mereka yang mempunyai keyakinan tentang kenabian yang 
  berbeda itu harus dijelaskan lebih lanjut. Persoalan apakah Islam atau 
  bukan, adalah perkara besar yang tidak bisa kita ringkas seringkas kalimat 
  pertanyaan itu. Konsekuensinya sangat jauh hingga menjangkau akhirat, dan 
  tidak terbatas pada kelompok yang dipertanyakan saja, tapi juga punya akibat 
  pada orang yang mempertanyakan.

  Dalam beberapa bacaan saya yang langsung bersumber dari referensi Ahmadiyah 
  sendiri, bisa saya simpulkan bahwa sebenarnya Nabi Terakhir bagi Ahmadiyah 
  tetap Muhammad Saw. Sedangkan Mirza Ghulam Ahmad yang mereka akui sebagai 
  Nabi adalah al-Masih dan al-Mahdi al-Muntazhar. Tentu saja kita tidak mesti 
  harus sependapat dengan mereka apakah benar Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi 
  seperti yang mereka klaim atau bukan. Kalau kita tarik masalah ini ke 
  wilayah dasar prinsip agama, yakni apakah mereka itu Islam atau bukan?, maka 
  sekarang pembicaraannya bukan lagi perdebatan tentang al-Mahdi al-Muntazhar 
  atau al-Masih, tapi sudah mempersoalkan akidah dan keimanan. Dan pertanyaan 
  "kenapa Ahmadiyah masih mengaku muslim?" menjadi pertanyaan yang sudah 
  mengandung tudingan dan tuduhan yang menyangkut prinsip dasar keimanan dan 
  Islam (al-Ushul).

  Dalam sejarahnya, persoalan akidah dan yang terkait dengan masalah ini telah
  melahirkan banyak aliran teologi dalam Islam seperti Mu'tazilah, Syiah,
  Jahamiyah, Khawarij, dll. Banyak di antara ulama kita (jaman sekarang) dalam
  pembahasannya terhadap aliran teologis ini menyederhanakan masalah. Mereka
  mencampur adukkan antara istilah akidah dengan ushul. Biasa kita temukan
  mereka membagi pembasahan ajaran keislaman kepada Ushul (dasar) dan Furu'
  (cabang). Lalu memutuskan bahwa Ushul adalah bagian akidah, sedangkan Furu'
  adalah bagian fikih syariat. Kemudian hadits Nabi atau atsar yang menyatakan
  perbedaan adalah rahmat mereka tafsirkan sebagai perbedaan yang terjadi pada
  wilayah furu'. Adapun perbedaan yang terjadi pada wilayah Ushul, tidak
  termasuk ke dalam hadits terebut karena berbeda secara akidah jawabannya
  hanya dua; Islam atau Non-Islam.

  Saya melihat ada kekeliruan dan kekhilafan dalam padangan ini. Secara
  khusus, menghubungkan akidah sebagai bagian Ushul yang mutlak dan akidah
  sebagai bagian Furu' yang mutlak. Sebenarnya, yang dimaksud dengan Ushul
  adalah dasar-dasar agama yang tidak bisa dibantah lagi dan itu terdapat
  dalam wilayah akidah dan fikih. Dalam fikih misalnya, termasuk Ushul adalah
  kewajiban shalat lima waktu. Atau secara ringkas, ma huwa ma'lum min al-Din
  bi al-Dharurah, yakni apa saja yang sudah diketahui dan dipahami dari agama
  secara pasti. Standard konsep ini berlaku pada masalah-masalah dimana
  dalilnya yang sampai kepada kita berstatus Qath'i Dilalah dan Qathi Tsubut
  sekaligus. Qathi' tsubut adalah dalil yang diriwayatkan secara sangat kuat,
  dalam hal ini hanya al-Qur`an dan hadits mutawatir. Sedangkan Qath'i Dilalah
  adalah dalil tersebut tidak berpotensi mengalami banyak penafsiran maksud
  (bukan penafsiran yang hanya berupa penjelasan). Contohnya selain kewajiban
  shalat lima waktu adalah haram mencuri, haram berzina, dan haram merampok.

  Dalam masalah ini, seorang muslim yang melakukan zina berarti dia telah
  melakukan dosa besar dan itu tidak menyebabkan kekafiran yang
  mengeluarkannya dari golongan agama. Namun, kalau dia meyakini secara sadar
  dan pasti bahwa berzina itu halal, maka itu sudah masuk penyebab kekafiran
  yang mengeluarkan dari agama.

  Contoh dalil yang hanya Qath'i Tsubut tapi tidak Qath'i secara dilalah,
  "yadullahi fauqa aydiihim." Ayat ini jelas qath'i tsubut karena al-Qur`an,
  tapi kata dan kalimatnya mengandung potensi penafsiran maksud yang
  berbeda-beda. Setiap pendapat yang terkait dalam usaha memahami maksud ayat
  ini dengan segala perbedaannya adalah tidak menyebabkan kekafiran. Contoh
  terakhir ini sebenarnya sudah masuk dalam pembahasan akidah, tapi bukan
  wilayah Ushul.

  Dalam bukunya "Qadhiyat al-Takfir fi al-Fikri al-Islami", Prof. Dr. Muhammad
  Sayyid Ahmad Musayyar, menjelaskan banyak masalah yang berkaitan dengan 
  Ushul dan Furu' ini dan
  kaitannya dengan akidah. Bagian yang membedakan seorang muslim dan
  non-muslim adalah Ushul al-Islam dan kaidah-kaidan keimanan yang Beliau
  simpulkan --saya kemukakan lebih ringkas dan tanpa menyebutkan ayat-ayat 
  yang dikemukakan karena sudah
  bersifat jelas, demi untuk menyingkat ruang tulisan-- sebagai berikut:

  Pertama, Tauhidullah Azza Wa Jalla (mengesakan Allah).
  Allah Mahatunggal, Sempurna Zat, Sifat-Sifat, dan Af'al-Nya secara mutlak.
  Dia berdiri sendiri tanpa ketergantungan dan Mahakaya, tidak beranak dan
  tidak dilahirkan. Kekal abadi dan tidak ada bandingan-Nya dengan sesuatu pun
  juga. Ini adalah prinsip dasar Islam yang pertama.

  Akan tetapi, setelah itu para ulama akidah dan ahli teologi berbeda pendapat 
  dalam banyak masalah yang terkait dengan prinsip pertama ini. Dalam 
  pembahasan, mereka juga menggunakan akal untuk mencoba menyingkap 
  persoalan-persoalan metafisis. Mereka kemudian berbicara tentang hakikat 
  sifat-sifat ketuhanan apakah 'Ain al-Dzat atau bukan?--Ini termasuk masalah 
  yang diperdebatkan oleh al-Asy'ari dan al-Maturidi dan dicoba dipertemukan 
  oleh al-Sanusi dalam esensi pembahasannya. Mereka juga berdebat seputar 
  ayat-ayat mutasyabihat, bagaimana seharusnya seorang muslim memahaminya? 
  Begitu juga tentang masalah orang mu'min melihat Allah di dunia dan di 
  akhirat, masalah Kalam Allah apakah Kalam Nafsi atau terdiri dari suara dan 
  huruf? Mereka juga berdebat tentang mafhum Iman, apakah Tashdhiq 
  (membenarkan dengan keyakinan dan pengakuan) saja atau Tashdhiq dan Amal? 
  Apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang atau tidak? Dan kami melihat 
  perbedaan atau ijtihad seputar masalah-masalah ini tidak termasuk prinsip 
  dari prinsip-prinsip dasar agama, yang mempunyai pengaruh terhadap keimanan 
  atau kekafiran.

  Kedua, Kenabian dan Para Nabi.
  Allah mengutus hamba-hambanya yang Ia pilih sebagai Rasul yang memberi 
  peringatan dan mengajak kepada kebaikan kepada kaum mereka. Mulai dari Adam 
  As. dan ditutup dengan Muhammad Saw. Al-Qur'an menceritakan kepada kita 
  tentang sebagian dari mereka dan tidak menyebutkan yang lain. Pada dasarnya 
  setiap Nabi diutus kepada kaumnya saja, dan Allah mengutus Muhammad Saw 
  kepada seluruh manusia dan jin dan sebagai rahmat bagi alam. Dan Allah Swt 
  memberikan para Nabi dan Rasul mukjizat yang menguatkan kebenaran mereka. 
  Ini adalah prinsip dasar kedua Islam.

  Akan Tetapi, para ulama akidah kembali membahas masalah-masalah yang 
  berkaitan dengan prinsip kedua ini, seperti; perbedaan Nabi dan Rasul, 
  Perbedaan kedudukan antara para Nabi dan Malaikat, kema'shuman para Nabi 
  sebelum masa kenabian dan sesudahnya, Ijtihad Rasul, Syafa'at dan Tawassul. 
  Dan kami melihat perbedaan pendapat dan ijtihad seputar masalah-masalah ini 
  tidak menyentuh prinsip dari prinsip agama--yang menyebabkan kekafiran.

  Ketiga, Kitab-kitab yang diturunkan.
  Allah menurunkan kitab-kitab yang mengandung tuntunan dan petunjuk untuk 
  hamba-hamba-Nya. Beberapa kitab-kitab itu antara lain adalah Shuhuf Ibrahim 
  as, Taurat Musa as, Zabur Daud as, Injil Isa as, dan al-Qur`an kepada 
  Muhammad Saw. Dan Allah telah menjadikan al-Qur`an sebagai penyempurna 
  kitab-kitab terdahulu yang sudah mengalami perubahan dan penyimpangan. Dan 
  al-Qur`an adalah mu'jizat dengan menggunakan Bahasa Arab yang jelas, 
  diterima turun temurun secara mutawatir dari generasi ke generasi. Ini 
  adalah prinsip dasar ketiga Islam.

  Akan tetapi, para ulama akidah melakukan pembahasan dan perdebatan seputar 
  beberapa masalah terkait, seperti apakah al-Qur`an itu makhluk atau bukan 
  makhluk, sudut mu'jizat al-Qur`an, dan Nasikh Mansukh. Dan kami melihat 
  perdebatan-perdebatan ini tidak menyentuh prinsip dasar Islam yang ada 
  pengaruhnya terhadap keimanan.

  Keempat, Malaikat.
  Mereka adalah makhluk yang mulia, tidak maksiat kepada Allah dan menjalankan 
  apa yang diperintahkan kepada mereka. Kita bisa mengenal beberapa nama dari 
  mereka seperti Jibril dan Mikail. Kita juga bisa mengetahui tugas-tugas 
  sebagian mereka seperti penjaga surga, penjaga neraka, hamalt al-'Arys, 
  al-kiram al-kaatibin, malakul maut, dan lain-lian. Ini adalah prinsip dasar 
  dari prinsip-prinsip dasar Islam.

  Namun dalam kitab-kitab akidah, kita menemukan banyak pembahasan yang sangat 
  panjang seperti perbedaan kedudukan antara malaikat dan manusia, Harut dan 
  Marut, Munkar dan Nakir, Bagiamana Malaikat pada peperangan Badar, dll. 
  Pembahasan-pembahasan ini tidak termasuk prinsip dasar yang ijtihad padanya 
  menyebabkan kekafiran.

  Kelima, Hari Akhir.
  Beriman kepada Hari Akhir dan adanya balasan di akhirat adalah dasar dari 
  dasar-dasar agama. Dan berkaitan dengan ini adalah kebangkitan, al-Hasyr, 
  balasan, surga, neraka.

  Akan tetapi, para ulama mendiskusikan banyak masalah yang terkait dengan ini 
  seperti; al-ba'tsu 'an adamin aw tafriq, al-'iadatu lil jawahir faqat aw 
  laha wa lil a'radh ma'an (Maaf, dua masalah ini saya tuliskan bahasa Arabnya 
  saja karena akan panjang bila diterjemahkan, sedangkan terjemahan kata tidak 
  cukup mewakili maksud), surga dan neraka sudah diciptakan sekaran atau akan 
  diciptakan nanti pada hari kiamat, Adam menempati surga atau taman bumi, 
  timbangan itu apakah pada perbuatan atau pada balasannya atau pada keduanya, 
  al-Mizan (timbangan) itu apakah ada secara hakiki atau kiasan dari keadilan 
  yang bersifat mutlak, al-Shirath itu apakah jembatan yang memanjang di atas 
  neraka atau jalan menuju ke surga dan neraka.

  Dan masalah-masalah lain yang sangat banyak, dimana sah-sah saja perbedaan 
  pendapat dan ijtihad padanya dan tidak menyentuh dasar iman--yang 
  menyebabkan kekafiran.

  Keenam, Apa yang sudah diketahui dari agama secara pasti.
  Ada beberapa masalah dalam agama yang sudah jelas dalil-dalilnya dan 
  diriwayatkan secara mutawatir sehingga menjadi masyhur di antara kalangan 
  umum dan khusus (elit ulama), dan tidak ada seorang pun yang tidak 
  mengetahui hukumnya, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji. Dan 
  seperti keharaman zina, keharaman riba, haram mencuri dan haram membunuh. 
  Sehingga pengetahun tentang masalah-masalah ini sudah menjadi pengetahuan 
  umum yang bisa dimengerti secara mudah. Bagian ini termasuk prinsip dasar 
  dari keimanan yang menyebabkan kekafiran bagi yang mengingkarinya.

  Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam berbagai mazhabnya 
  masing-masing seputar rincian masalah yang berkaitan dengan prinsip dasar 
  ini. Muncul berbagai macam ijtihad yang kemudian dikenal dengan mazahib 
  fiqhiyah. Dan para ulama sepakat secara ijma bahwa perbedaan pendapat 
  fiqhiyah ini adalah dalam wilayah furu' dan tidak terkait dengan akidah.

  Itulah masalah-masalah yang berkaitan dengan prinsip dasar ajaran Islam dan 
  kita tidak mengingkarinya karena kebenaran padanya sangat jelas, dan 
  keyakinan dihasilkan dengan mudah. Dan bersama itu kita tetap memberikan 
  tempat kepada para mujtahid yang dengan sungguh-sungguh berijtihad dan kita 
  bukan pintu diskusi dan dialog. Dan kita menolak pendapat yang serampangan, 
  atau sudut pandang yang berdasarkan pada hawa nafsu, atau berlebihan dan 
  mengada-ada dalam memahami dalil. Demikian pemaparan Prof. Dr. Muhammad 
  Sayyid Ahmad Musayyar, Dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar. 
  [Lihat Qadhiyat al-Takfir fi al-Fikr al-Islami, hal. 37-41].

  Sebelum saya melanjutkan kepada bagian bagaimana sikap kita terhadap aliran 
  teologis yang berbeda-beda, ada sedikit catatan pada pemaparan Dr. Musayyar 
  ini, yaitu beriman kepada Qadha dan Qadar. Barangkali Beliau bermaksud bahwa 
  itu sudah masuk pada bagian pertama, Iman kepada Allah. Namun tidak ada 
  salahnya saya tambahkan di sini, bahwa salah satu prinsip dasar Iman adalah 
  percaya kepada Qadha dan Qadar. Adapun perdebatan para ulama setelah itu 
  seperti bagaimana hakikat qadha, hakikat qadar, qadha mubram, ta'alluq 
  qudrat, (soal ilmu hakikat yang santer di kalangan sufi masuk pada bagian 
  ini) adalah perdebatan yang tidak berkaitan dengan keimanan dan kekafiran.

  Pertanyaan apakah Ahmadiyah itu Islam atau tidak, kalau kita kaitkan dengan 
  aliran-aliran teologis yang ada, pertanyaan ini juga mengarah kepada mereka. 
  Sebut saja Syi'ah misalnya, atau Mu'tazilah, atau Khawarij. Dalam menjawab 
  ini, sebenarnya saya lebih suka menggunakan pertanyaan, bagaimana sikap kita 
  terhadap Ahmadiyah, atau Syiah, atau Mu'tazilah? Saya pikir dengan 
  pertanyaan ini, kita tidak merampas Islam untuk kita miliki sendiri. Kita 
  tidak meletakkan diri pada posisi yang mempunyai otoritas penentu yang bisa 
  mempertanyakan keislaman dan keimanan orang lain. Kita sedang berada dalam 
  wilayah yang tidak memungkinkan kita untuk mengatakan Hanya saya yang Islam, 
  mereka bukan. Apalagi jika pernyataan itu menjurus pada persoalan mendasar 
  yang menyangkut keyakinan hati dimana tidak seorangpun makhluk yang bisa 
  mengetahuinya secara pasti.

  //Sikap Muslim//

  Seorang muslim dalam kehidupan sehari-harinya dituntut untuk mengemukakan 
  kecaman atas sifat dan perbuatan saja, maka dia mengecam kemaksiatan dan 
  menegaskan ancaman bagi yang melakukannya dan melaknat setiap penyimpangan 
  dengan penyebutan penyimpangannya bukan dengan menyebut oknumnya. Dia hanya 
  mengatakan misalnya, laknat Allah atas orang-orang zhalim, orang-orang 
  fasik, para pencuri, orang-orang yang kafir. Hanya itu saja tanpa menyebut 
  oknum orangnya karena siksa sebenarnya masih tidak diketahui dan ukuran juga 
  ditentukan dengan masa akhir kehidupan.

  Demikian seperti yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Musayyar, maka tidak boleh 
  dikatakan: "laknat Allah terhadap si A" bahkan meskipun si A tersebut adalah 
  orang kafir. Karena barangkali saja dia bertaubat dan masuk Islam.

  Terdapat beberapa hadits yang menegaskan larangan melaknat terhadap oknum 
  orangnya. Di dalam sahih Bukhari dengan sanadnya dari Umar bin Khattab 
  disebutkan bahwa seorang laki-laki pada masa Nabi Saw bernama Abdullah dan 
  orang ini diberi gelar Himarm dan dia pernah membuat Nabi Saw tertawa. Nabi 
  Saw pernah mencambuknya karena minum (khamar). Kemudian pada suata hari dia 
  kembali dibawa kepada Nabi Saw lalu diperintahkan lagi untuk mencambuknya. 
  Sehingga ada seorang laki-laki dari kaum berkata, Ya Allah! Laknat 
  kepadanya. Betapa sering dia dibawa (untuk dihukum). Lalu Nabi Saw menyahut, 
  "Jangan kalian laknat dia. Maka demi Allah, Aku tidak tahu bahwa dia 
  mencintai Allah dan Rasul-Nya." Makna lain, "Maka demi Allah, aku tahu dia 
  mencintai Allah dan Rasul-Nya." Makna lain, "Maka demi Allah, Aku tahu dia 
  melakukan kejahatan. Dia (juga) mencintai Allah dan Rasul-Nya." Makna lain 
  lagi, "Maka demi Allah, kamu tidak tahu bahwa dia mencintai Allah dan 
  Rasul-Nya." (Hadits no. 6398, 6/2489. Saya terjemahkan semua makna yang 
  disebutkan oleh para Syurrah Hadits yang orang Arab itu, betapa maknanya 
  berbeda-beda). Hadits lain juga diriwayatkan oleh Bukhari tentang seorang 
  yang mabuk kemudian diperintahkan untuk menghukumnya. Lalu ada seorang 
  laki-laki berkata, "ada apa dengannya. Semoga Allah menghinakannya." Lalu 
  Rasulullah Saw menjawab, "Jangan kalian menjadi pembantu setan terhadap 
  saudara kalian." (Hadits 6399). Dalam kitab sahihnya, Imam Bukhari memberi 
  sebuah judul, "Bab melaknat pencuri selama tidak disebutkan namanya." Dan 
  masih banyak hadits-hadits lain lagi.

  Lalu bagaimana sikap terhadap aliran akidah dalam Islam? Prof. Dr. Musayyar 
  menegaskan, apabila sebagian kelompok mengafirkan orang-orang yang berbeda 
  dengan mereka, maka kita tidak mengafirkan kelompok yang melakukan 
  pengafiran ini. Kalau tidak, kita sama saja seperti mereka dalam kesesatan. 
  Seharusnya yang kita lakukan adalah memberi nasihat dan memberikan 
  penjelasan-penjelasan dan memohon keampunan dan istiqamah untuk mereka.

  Sikap kita terhadap kelompok lain yang berbeda selama itu adalah 
  perbedaan-perbedaan yang tidak menyangkut ushul (prinsip dasar Iman) seperti 
  disebutkan di atas, seharusnya masih dalam koridor beda pendapat yang 
  berlandaskan prinsip saling menghormati dan saling menghargai. Bukan 
  otoritas kita untuk mempertanyakan keimanan dan keislaman orang lain. 
  Mempertanyakan secara detail keimanan dan keislaman orang lain ini sangat 
  ditentang oleh Ibnu Suraij ketika dia menjadi salah seorang jaksa yang 
  mewakili Syafi'iyah dalam persidangan al-Hallaj. Dan setelah itu dia menarik 
  diri dan mundur dari persidangan itu. Walaupun berbeda, dalam mazhab 
  ahlusssunnah wal jama'ah sesungguhnya adalah menjauhkan diri dari 
  pengakifarn kelompok lain yang tidak sepaham. Hal tersebut bisa kita lihat 
  dari pernyataan Imam al-Bajuri dalam uraiannya terhadap kitab al-Jauharah 
  [Jauharah al-Tauhid]. Setelah menjelaskan prinsip ahlussunnah wal jama'ah, 
  beliau berkata:
  "Kelompok Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa itu kafir. Dan mereka 
  menjadikannya semua sebagai dosa-dosa besar. Mereka tidak dikafirkan dengan 
  pendapat mereka ini,--padahal mengafirkan orang mu'min itu hukumnya kafir--  
  karena itu hasil dari ta'wil (upaya penafsiran) dan ijtihad." [lihat Syarah 
  Jauharah, bait ke 115].

  Dalim sahih Muslim jelas disebutkan, "Apabila seseorang mengafirkan 
  saudaranya, maka kekafiran itu telah kembali kepada salah seorang dari 
  keduanya." Dalam riwayat lain, "Barangsiapa memanggil seseorang dengan 
  kekafiran atau berkata: musuh Allah, dan dia tidak seperti itu, maka itu 
  kembali kepada dirinya sendiri."

  Sikap serupa dikemukakan oleh Imam Ghazali--saya kemukakan secara 
  kesimpulan--. Dia mengatakan:

  "Mu'tazilah, Musyabbihah, dan aliran-aliran semuanya selain para filsuf, 
  yaitu mereka yang membenarkan dan tidak membolehkan kedustaan --dan 
  pendustaan-- karena suatu kemaslahatan atau bukan kemaslahatan, dan mereka 
  tidak menyibukkan diri berargumen untuk kemaslahatan dusta, tapi dengan 
  ta'wil (upaya memahami) dan akan tetapi mereka ini keliru dalam ta'wil 
  tersebut, maka mereka semua ini urusannya berada dalam wilayah ijtihad.

  Dan yang semestinya diambil pegangan oleh setiap orang beriman adalah 
  menjaga diri dari pengafiran semaksimal mungkin. Karena sesungguhnya 
  menghalalkan darah dan harta ahlul kiblat dan secara jelas menyatakan: "Laa 
  ilaaha Illa-llah, Muhammad Rasulullah", adalah salah." [Lihat al-Iqtishad fi 
  al-I'tiqad, Hal. 126]

  Selanjutnya, Imam Ghazali berkata:
  "Dalil larangan mengafirkan mereka bahwa (nash) yang tetap ada pada kita 
  adalah mengafirkan orang yang mendustakan Rasul. Sedangkan mereka ini tidak 
  mendustakan sama sekali. Dan tidak ada dalil yang kuat dan tetap bagi kita 
  bahwa kesalahan dalam ta'wil (upaya memahami) itu membawa kepada pengafiran. 
  Maka harus ada dalil untuk itu. Dan telah tetap dan kuat (dalil) bahwa 
  al-'Ishmah dihasilkan dari perkataan La ilaaha ill-Allah, secara pasti. Maka 
  hal itu tidak bisa disingkirkan kecuali dengan bukti yang pasti (qath'i)..." 
  [Lihat sumber yang sama, al-Iqtishad fil I'tiqad].

  Pendapat al-Ghazali ini sangat kuat didukung hadits Usamah bin Zaid yang 
  diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam peperangan waktu itu Rasulullah 
  menyiapkan pasukan untuk menyerang Bani Juhainah. Mereka menyergap pasukan 
  Juhainah di pagi hari secara tiba-tiba [serangan pajar -:)]. Usamah bersama 
  seorang laki-laki dari Anshar mengejar salah seorang dari mereka. Ketika dia 
  sudah tidak bisa menyelamatkan diri, tiba-tiba dia mengatakan La ilaaha 
  ill-Allah. Laki-laki dari Anshar itu berhenti. Sedang Usamah menikamnya 
  dengan tombak sehingga terbunuh. Berita itu sampai kepada Nabi Saw, lalu 
  Nabi berkata kepadanya: "Wahai Usamah, apakah engkau telah membunuhnya 
  setelah dia mengucapkan Laa ilaaha ill-Allah?" Usamah menjawab, "Wahai 
  Rasulullah, dia hanya berusaha melindungi diri." Nabi tetap mengulangi 
  pertanyaannya dan tidak menanggapi pendapat Usamah. Nabi terus mengulangnya 
  sampai Usamah berangan-angan andai dia belum masuk Islam sebelum hari itu.

  Dalam beberapa riwayat lain disebutkan dalam bentuk dialog yang lebih 
  panjang.
  Rasulullah Saw berkata, "Apakah dia telah mengucapkan Laa ilaaha ill-Allah 
  dan engkau bunuh?!"
  Usamah menjawab, "Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut 
  senjata."
  Rasulullah Saw berkata, "Apakah engkau telah membelah hatinya sehingga 
  engkau bisa mengetahui dia mengucapkannya sungguh-sungguh atau tidak?" Dan 
  Rasulullah terus mengulang-ulangnya.

  Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw mengatakan kepadanya, "Maka bagaimana 
  kamu menghadapi Laa ilaaha ill-Allah apabila nanti datang di hari kiamat?!" 
  Dan terus diulang-ulang oleh Nabi Saw.

  Pandangan serupa dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah. Beliau menyebut 
  aliran-aliran yang berbeda-beda ini sebagai ahlu bid'ah. Namun demikian 
  Beliau menolak dan melarang pengafiran terhadap mereka secara mutlak. Dalam 
  menjelaskan persoalan ini, Ibnu Taimiyah membagi kepada dua prinsip utama:

  Pertama, di dalam kelompok ahlu bid'ah itu ada yang munafiq dan zindiq. Dan 
  menurutnya ini banyak terdapat dalam kelompok Rafidhah dan Jahamiyah. 
  Tokoh-tokoh dua kelompok ini adalah kebanyakan orang-orang zindiq dan 
  munafiq.

  Ungkapan yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah ini mengisyaratkan bahwa ada 
  orang yang hanya mengaku Islam dan menampakkan diri mengerjakan shalat dan 
  ibadah lainnya, tapi bertujuan untuk menyebarkan fitnah dan memecah belah 
  persatuan umat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq pada masa 
  Nabi Saw.

  Ibnu Taimiyah membedakan orang-orang ini dengan pengikut mereka. Dia 
  mengatakan, dan dari para ahlu bid'ah terdapat orang yang beriman lahir dan 
  batin. Namun padanya terdapat kejahilan dan kezaliman sehingga dia keliru 
  dalam menerapkan sunnah. Maka ini tidak termasuk kafir dan bukan munafiq. 
  Kemudian kadang-kadang padanya terdapat permusuhan, penentangan, dan 
  kezaliman sehingga dia menjadi fasiq dan pelaku maksiat. Dan ada juga yang 
  memang keliru pada orang yang melakukan ta'wil (upaya memahami) dan 
  ditolerir kekeliruannya. Dan bisa juga bersama itu padanya terdapat keimanan 
  dan ketakwaan, sesuatu yang bersamanya ada bagian kewalian dari Allah sesuai 
  ukuran iman dan takwanya.

  Kedua, pendapat ada yang berupa kekafiran seperti menentang kewajiban 
  shalat, zakat, puasa, dan haji, menghalalkan zina, khamar, atau menghalalkan 
  pernikahan dengan muhrim. Kemudian orang yang mengatakan itu, bisa saja 
  berada dalam posisi yang tidak sampai kepadanya ajaran Islam secara baik. 
  Dan ini tidak dikafirkan karenanya orang yang menentang tersebut sama 
  seperti orang yang baru masuk Islam misalnya, atau dia berada di suatu 
  tempat yang jauh sekiranya syariat Islam tidak sampai kepadanya. Maka orang 
  seperti ini tidak dihukumkan kafir dengan penentangannya terhadap apa yang 
  diturunkan kepada Rasul, apabila dia tidak mengetahui bahwa hal itu telah 
  diturunkan kepada Rasul.

  Pada bagian lain, Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan bahwa Ulama Salaf dan 
  para imam tidak memperdebatkan lagi masalah tidak boleh mengafirkan Mujiah 
  dan Syiah. Kemudian dia berkata:
  "Tidak ada perbedaan dalam nash-nash Imam Ahmad bahwa dia tidak mengafirkan 
  seorang pun dari mereka ini. Dan meskipun di antara pengikutnya ada orang 
  yang disebutkan mengafirkan seluruh ahlu bid'ah--dari golongan mereka ini 
  dan selain mereka--sebagai pendapat yang berbeda darinya (dari Imam Ahmad) 
  atau dalam mazhabnya. Bahkan sebagian mereka ini berpendapat kelompok 
  tersebut dan selain mereka (dari ahlu bid'ah) kekal di neraka. Dan ini 
  adalah salah dan keliru atas mazhabnya dan atas syariah."

  Kemudian Ibnu Taimiyah berkata lagi:
  Dan dari mereka (pengikut Ahmad) terdapat orang yang tidak mengafirkan 
  seorang pun dari mereka (kelompok tersebut) karena dia berpendapat hanya 
  menghubungkan ahlu bid'ah itu dengan pelaku maksiat. Mereka ini (pengikut 
  Ahmad) mengatakan, Maka sebagaimana termasuk dari prinsip dasar ahlu sunnah 
  wal jama'ah adalah mereka tidak mengafirkan seorang pun karena suatu dosa, 
  demikian juga mereka tidak mengafirkan seorang pun dari ahlu bid'ah."

  Ibnu Taimiyah mengemukakan alasan pendapat tidak mengafirkan ahlu bid'ah ini 
  dengan tiga hal:
  1. Karena ta'wil (upaya memahami). Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang 
  yang berusaha memahami dan bukan orang yang menolak apa yang diturunkan.
  2. Bahwa dasar utama Iman adalah pengakuan terhadap Allah dan dasar utama 
  kekafiran adalah tidak percaya atau ingkar kepada Allah. Sedangkan mereka 
  ini bukan orang yang tidak percaya atau ingkar.
  3. Kelompok-kelompok tersebut juga mempunyai dalil-dalil, argumen-argumen, 
  dan syubuhat yang kadang tidak diketahui (atau dipahami) oleh kebanyakan 
  orang-orang mu'min.
  [Penjelasan Ibnu Taimiyah secara lengkap bisa dibaca kembali dalam Majmu' 
  al-Fatawa, 3/345-358]

  Pendapat serupa dikemukakan oleh al-Qhadi 'Adhud Din al-Aiji (Salah seorang 
  pengikut Asy'ari, wafat tahun 756 H) di dalam kitabnya Syarah al-Mawaqif. Di 
  dalam kitab ini, Beliau memaparkan pendapat-pendapat dalam aliran-aliran 
  teologis dan mengulasnya secara panjang lebar dalam lingkup mazhabnya, 
  al-Asy'ariyah. Pada bagian penutup, beliau melontarkan sebuah pertanyaan, 
  "Orang yang menyalahi kebenaran dari ahlu kiblat apakah dikafirkan atau 
  tidak?"

  Pertanyaan ini dari satu sudut memang tidak netral. Itu sesuatu yang wajar 
  karena al-Qhadi mengulas tentang aliran dan mendiskusikannya dengan pendapat 
  mazhabnya, al-Ays'ariyah. Dia menyebut aliran-aliran selain ahlus sunnah 
  waljamaah sebagai "al-mukhalif lil haq". Namun lebih penting dari itu adalah 
  pandangan dan pendapatnya terhadap aliran-aliran tersebut apakah dikafirkan 
  atau tidak. Pendapat tersebut bisa kita lihat dari jawaban beliau terhadap 
  pertanyaan tersebut:

  "Jumhur mutakallimin (ulama akidah/teologis Islam) dan fuqaha berpendapat 
  bahwa tidak dikafirkan seorang pun dari ahli kiblat. Maka telah disampaikan 
  oleh Syaikh Abu Hasan al-Asy'ari pada awal kitabnya 'Maqalat al-Islamiyin': 
  Orang-orang Islam berbeda pendapat setelah Nabi mereka Saw dalam beberapa 
  perkara. Sebagian mereka menyesatkan [yakni menuduh sesat] sebagian yang 
  lain. Dan sebagian mereka melepaskan diri [bara'ah] dari sebagian yang lain. 
  Sehingga mereka menjadi berbagai kelompok dan aliran yang berbeda-beda dan 
  bertolak belakang. Kecuai hanya saja Islam tetap mengumpulkan dan menyatukan 
  mereka. [demikian perkatan al-Asy'ary yang dikutip oleh al-Qadhi, 
  selanjutnya perkataan al-Qadhi sendiri]. Maka ini adalah mazhabnya dan atas 
  pendapat ini pegangan mayoritas sahabat-sahabat kami."

  Pada bagian jawaban ini, al-Qadhi mengutip perkataan Imam Syafi'i: "Saya 
  tidak menolak kesaksian seorang pun dari ahlu ahwa (sebutan Imam Syafi'i 
  terhadap aliran-aliran) kecuali al-Khitabiyah, karena mereka meyakini 
  kehalalan dusta." Kutipan serupa disampaikan oleh al-Khatib dalam kitab 
  al-Kifayah dan dia mengatakan bahwa pendapat serupa disampaikan juga oleh 
  Ibnu Abi Laila, Sufyan al-Tsauri, dan Qadhi Abu Yusuf. [Lihat Tadrib 
  al-Rawi, 1/325].

  Disampaikan juga oleh al-Hakim pengarang al-Mukhtashar dalam kitab 
  al-Muntaqa dari Abu Hanifah bahwa beliau tidak mengafirkan seorang pun dari 
  ahlu qiblat. Demikian juga pendapat yang sama disampaikan oleh Abu Bakar 
  al-Razi dari al-Karkhi dan selainnya.

  Ibnu Hajar dalam Fathul Bari memberikan keterangan dalam masalah aliran 
  Khawarij. Meskipun pembicaraannya lebih terfokus pada kelompok ini, tapi 
  kita bisa melihatnya sebagai sikap dan pendapat yang patut untuk 
  diperhatikan. Setelah menegaskan bahwa Ibnu Hajar berkata:

  Mayoritas ahli ushul (yakni para ulama akidah dan teologi Islam) dari 
  kalangan ahlu sunnah wal jamaah berpendapat bahwa Khawarij adalah 
  orang-orang fasik. Dan hukum Islam berlaku pada mereka karena mereka 
  mengucapkan dua kalimat syahadat dan tetap berpegang pada rukun-rukun Islam 
  dan melaksanakannya. Hanya saja mereka fasik karena mereka mengafirkan kaum 
  muslimin berdasarkan pada ta'wil yang rusak. Dan ta'wil itu telah mendorong 
  mereka kepada penghalalan darah dan harta orang yang menyalahi pendapat 
  mereka serta bersaksi bahwa mereka kafir dan syirik. Al-Khattabi berkata, 
  para ulama telah sepakat secara ijma bahwa golongan Khawarij meski bersama 
  kesesatan pendapat mereka adalah golongan dari golongan-golongan kaum 
  muslimin. Dan boleh menjalin hubungan nikah dengan mereka dan memakan 
  sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama mereka masih berpegang 
  dengan prinsip dasar Islam. Qadhi Iyadh berkata, masalah ini merupakah 
  persoalan yang boleh dikatakan paling musykil dan rumit bagi para 
  mutakallimin dari masalah-masalah yang lain. Sampai-sampai al-Faqih Abdul 
  Haq bertanya kepada Imam Abu al-Ma'ali tetang itu, Maka beliau meminta maaf 
  (karena) bahwa memasukkan orang kafir ke dalam golongan agama dan 
  mengeluarkan seorang muslim dari agama adalah perkara besar.

  Sebelumnya, al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani menyatakan tawaqquf (menahan 
  diri) dalam masalah ini. Dan dia berkata, kaum itu tidak mengemukakan 
  sesuatu yang secara tegas sebagai kekafiran. Mereka hanya mengungkapkan 
  pendapat-pendapat yang bisa menjerumuskan dalam kekafiran.

  Kemudian Ibnu Hajar mengutip pendapat Imam al-Ghazali seperti yang sudah 
  kita ungkapkan di atas. Namun, Ibnu Hajar menyebutkan perkataan tersebut 
  dalam kitab Imam al-Ghazali "al-Tafriqah baina al-Iman wa al-Zindiqah". 
  [Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, 12/300]

  Dengan ini menjadi lebih jelas bagi kita bahwa mazhab ahlu sunnah wal 
  jama'ah yang sebenarnya adalah tidak mengafirkan aliran lain. Para ulama 
  hanya mengecam penyimpangan-penyimpangan dan pendapat-pendapat yang cukup 
  keras. Dalam banyak kasus, sekian banyak perbedaan itu disikapi dengan 
  nasihat, dialog, atau diskusi-diskusi, baik yang terjadi secara langsung 
  atau lewat karya-karya yang dilahirkan. Namun, kecaman-kecaman yang mereka 
  tujukan hanya semata-mata karena mereka tidak sependapat sesuai dengan 
  dalil-dalil dan argumen mereka. Dengan keterangan ini, jelas juga bahwa 
  kata-kata tudingan sesat yang muncul dari ungkapan mereka sebatas makna 
  tidak sejalan dan menyimpang menurut dalil dan mereka saja, bukan maksudnya 
  memutuskan bahwa pengikut aliran-aliran yang sangat banyak itu telah sesat 
  dalam makna telah keluar dari agama. Mereka sama sekali menolak pengafiran 
  dan inilah pemahaman dan pendapat ahlu sunnah wal jamaah sesungguhnya.

  Dalam sikap mereka menjalankan pendapat ini bisa kita lihat misalnya dalam 
  beberapa pendapat mereka. Atha berkata, saya tidak meninggalkan shalat 
  (shalat mayit) terhadap orang yang mengucapkan Laa ilaha ill-Allah. Firman 
  Allah Swt, "setelah jelas bagi mereka bahwa mereka adalah penghuni neraka." 
  Atha berkata, "Siapa yang tahu bahwa mereka ini penghuni neraka?!" [Beberapa 
  riwayat dari Atha yang semakna juga bisa dilihat dalam Mushannaf Ibnu Abi 
  Syaibah, 11864, 3/34] Ibnu Juraij berkata, "Lalu aku tanyakan kepada 'Amar 
  bin Dinar, dia menjawab seperti perkataan Atha." Telah sahih dari Qatadah 
  bahwa dia berkata, "shalatkanlah (shalat mayit) orang yang telah mengucapkan 
  Laa ilaaha ill-Allah. Maka apabila dia adalah seseorang yang sangat jahat 
  dan buruk sekali, maka ucapkanlah Allahummagfir lil muslimin wal muslimat, 
  wal mu'minina wal mu'minat. Dan aku tidak mengetahui seorang pun dari para 
  ulama yang menghindari shalat atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha 
  ill-Allah." Demikian juga riwayat-riwayat dari Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri, 
  dan beberapa ulama yang lain. Standard utama yang menjadi landasan pandangan 
  mereka adalah ucapan Laa ilaaha ill-Allah sebagai ahlu kiblat. [al-Muhalla, 
  5/171]

  Juga terdapat riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw, berhentilah 
  terhadap ahlu Laa ilaaha ill-Allah, jangan mengafirkan mereka karena sebab 
  suatu dosa. Barangsiapa yang mengafirkan ahlu Laa ilaaha ill-Allah maka dia 
  kepada kekafiran itu lebih dekat. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabrani 
  dan pada sanadnya terdapat al-Dhahhak bin Hamzah dari Ali bin Zaid. Pengaran 
  Majma Zawaid menyebutkan, kedua orang ini diperselisihkan dalam hujjah pada 
  mereka. [Majma' Zawaid, 1/106]. Meskipun hadits ini mengandung potensi 
  cacat, tetapi kandungannya mempunyai maksud dan pemahaman yang sama secara 
  garis besar dengan hadits yang sahih dalam riwayat Muslim seperti yang sudah 
  kita kemukakan di atas.

  Diriwayatkan dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa dia tidak pernah (berpikir) 
  menyiapkan untuk memerangi seorang pun dari ahlu kiblat kecuali untuk 
  memerangi Najdah al-Haruri ketika dia takut mereka menghalanginya dari 
  al-Bait (baitullah). [Lihat kitab al-Fitan, Nu'aim bin Hamad, 1/170].

  Diriwayatkan oleh Ahmad bin Husain al-Baihaqi dengan sanadnya dari Tamam bin 
  Najih dia berkata, Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan al-Bashri 
  tentang Iman. Dia menjawab: Iman itu ada dua. Kalau kamu bertanya kepadaku 
  tentang Iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, 
  (adanya balasan) Surga dan Neraka,  Hari Kebangkitan dan Hari perhitungan 
  (Hisab), maka aku beriman. Dan apabila kamu bertanya kepadaku tentang firman 
  Allah Swt, "Hanya saja sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka 
  yang bila disebut
  nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya 
  bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka 
  bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
  sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang 
  beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat 
  ketinggian di sisi Tuhannya dan
  ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia." (QS Al-Anfaal-[8]:2-4), Maka demi 
  Allah saya tidak tahu aku termasuk mereka atau tidak.

  Maka al-Hasan tidak terhenti pada dasar Iman dalam keadaan itu, dan hanya 
  saja dia terhenti pada kesempurnaannya yang dijanjikan oleh Allah untuk ahli 
  surga. [Untuk penjelasan yang panjang lebar dan lebih luas, lihat 
  al-Baihaqi, kitab al-I'tiqad, 1/180-185]

  Hibatullah bin Hasan berkata, "Janganlah memberikan kesaksian [yakni 
  memutuskan kepastian] terhadap ahlu kiblat pada suatu perbuatan yang ia 
  lakukan dengan surga atau neraka. Dia menyimpan harap pada orang yang saleh 
  dan kuatir atasnya (Raja dan Khauf), dan takut pada orang yang jahat dan 
  pelaku dosa dan mengharap rahmat Allah atasnya (Khauf dan Raja)." [I'tiqad 
  Ahlus Sunnah, 1/162]. Pendapat serupa dengan bahasa yang lebih tegas dan 
  lebih luas disampaikan oleh Muhammad bin Muhammad dalam kitabnya Syiar Ahli 
  Hadits, [1/31].

  Pada berbagai kasus yang berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam akidah 
  ini, kita juga menemukan para ulama ahlu sunnah melakukan pengafiran 
  terhadap aliran lain. Namun al-Qadhi al-Aiji mengisyaratkan bahwa pengafiran 
  terjadi dalam bentuk saling tuding antara berbagai aliran seperti bentuk 
  memberikan perlakuan yang sama, dan bukan atas dasar kaidah-kaidah akidah 
  dan prinsip dasar. Dia mengatakan, orang-orang Mu'tazilah sebelum Abu Hasan 
  (al-Asy'ari) berkumpul-kumpul lalu mereka mengafirkan sahabat-sahabat (yakni 
  pengikut ahlu sunnah yang kemudian konsepnya dirumuskan oleh Abu Hasan) 
  sehingga sebagian dari kami melawan dengan seumpamanya lalu mengafirkan 
  mereka.

  Abu Ishaq berkata, "setiap orang yang menyalahi (mazhab kami) yang 
  mengafirkan kami, maka kami mengafirkannya juga. Kalau tidak, maka kami juga 
  tidak melakukannya." [Prof. Dr. al-Musayyar, Qadhiyat Takfir fi al-Fikri 
  al-Islami, hal. 77].

  Persoalan ini juga bisa dilihat dalam fatwa-fatwa Imam Subki. Ibnu Hajar 
  mengutip dari Imam Subki dalam kumpulan fatwanya berkata, mereka yang 
  mengafirkan Khawarij dan Kelompok yang berlebihan dari golongan Rafidhah 
  berargumen (hujjah) karena mereka ini mengafirkan tokoh-tokoh Sahabat dan 
  itu mengandung pendustaan terhadap Nabi Saw dalam kesaksiannya Saw terhadap 
  mereka dalam memperoleh surga. Ibnu Hajar menegaskan bahwa argumen ini 
  menurutnya adalah argumen yang sahih. Kemudian Ibnu Hajar menguatkan 
  pandangannya dengan mengemukakan hadits-hadits "barangsiapa mengafirkan 
  seorang muslim maka kekafiran itu kembali kepadanya" sebagaimana sudah kita 
  sebutkan di atas dari riwayat Imam Muslim. [Lihat Fathul Bari, 12/299].

  Bagaimana dengan Ahmadiyah? Dengan membaca kembali pandangan dan pendapat 
  kebanyakan para ulama seperti yang sudah dipaparkan ini dan masih banyak 
  lagi yang tidak sempat kita kutipkan semuanya, dan kemudian saya membaca 
  sendiri formulir baiat Ahmadiyah yang dengan tegas tetap melandaskan pada 
  prinsip utama yaitu bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad 
  Rasulullah. Kemudian setelah itu terdapat beberapa kalimat tambahan yang 
  menegaskan bahwa Muhammad Saw adalah penutup para Nabi terulang hingga tiga 
  kali dan dilanjutkan dengan pengakuan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah 
  al-Masih dan al-Mahdi al-Muntazhar. Mereka juga tetap beriman kepada 
  kitab-kitab termasuk al-Qur`an. Dengan melihat ini semua dan berdasarkan 
  pada prinsip-prinsip dasar Islam (Ushul Islam), maka Ahmadiyah adalah salah 
  satu aliran dari aliran kaum muslimin dengan segala perbedaannya.

  Persoalan ini tidak ada masalah dengan orang nonmuslim karena prinsip dasar 
  agama yang memang berbeda. Hubungan muslim dengan nonmuslim hanya sebatas 
  persoalan-persoalan duniawi dalam menjalani hidup di bumi ini. Karena itu, 
  bukan persoalan bagi seorang muslim mengatakan kafir kepada orang yang jelas 
  nonmuslim dan memang itu adalah istilah untuk menyebut mereka. Persoalan 
  menjadi lain ketika kata kafir ditujukan kepada muslim, karena itu sudah 
  berupa tudingan yang berarti bahwa muslim yang dituding tersebut dianggap 
  sudah menjadi nonmuslim.

  Pendapat ini bisa saja dikatakan sebagai pembelaan terhadap Ahmadiyah, 
  tetapi yang lebih penting dari itu sebagaimana diungkap oleh Imam Abu 
  al-Ma'ali, persoalan pengafiran dan menuding sesat dalam makna keluar dari 
  agama adalah perkara besar. Persoalan ini mempunyai akibat hukum dunia 
  akhirat, tidak sebatas kelompok yang dituding kafir tapi juga mempunyai 
  akibat pada orang yang melayangkan tudingan. Dan para ulama ahlus sunnah wal 
  jama'ah sejak para tabi'in hingga masa-masa terakhir selalu berhati-hati 
  dalam masalah ini dan bahkan sebagian dari mereka menahan diri atau sebatas 
  mengatakan bahwa pendapat mereka bisa mengakibatkan kekafiran tanpa 
  menudingnya secara tegas dan pasti.

  Pendapat ini juga berlaku pada berbagai aliran dan golongan yang ada dalam 
  Islam dan ada di tengah-tengah kaum muslimin. Termasuk Syiah, Wahabi, dan 
  aliran-aliran kaum muslimin lainnya. Ketika ada pendapat yang berbeda, kita 
  hanya mengatakan perbedaan dengan mengemukakan sikap, argumen, dalil, dan 
  diskusi-diskusi dalam rangka memberikan penjelasan dan sikap kita. Bukan 
  persoalan untuk mengatakan suatu pendapat itu salah, atau keliru, atau sesat 
  dalam makna bukan keluar dari agama, atau lainnya, sesuai dengan sudut 
  pandang, dalil-dalil, dan argumen yang kita miliki dan kita pahami. Akan 
  tetapi, semua itu tetap berada dalam prinsip perbedaan pendapat yang tidak 
  mengafirkan orang lain hanya karena pendapat dan pandangannya yang berbeda.

  Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf atas kepanjangan ini dan harap 
  koreksi lagi jika terdapat kesalahan atau kekeliruan. Terima kasih.

  Wassalam

  Aman
  http://aman.kinana.or.id


  ---- Original Message ----- 
  From: "ambarsari dwi cahyani" <[EMAIL PROTECTED]>
  To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
  Sent: Wednesday, September 07, 2005 11:07 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Dengar Pendapat DPR-MUI seputar Fatwa
  Ahmadiyah


  >
  > Ass.
  > Haloo semua, saya baru gabung.
  > Kebetulan pas tentang Ahmadiyah.
  > Boleh saya bertanya sedikit?
  > Kenapa sih Ahmadiyah masih mengaku sebagai muslim
  > kalau toh ternyata nabinya saja sudah beda : Mirza
  > Ghulam Ahmad. Karena kan sudah jelas agama adalah
  > mengenai Tuhan dan utusannya, serta kitabnya. Nah
  > kalau nabi nya sudah beda, mengapa tidak
  > mendeklarasikan agama baru saja?
  >
  > Maksud saya, jalan kompromi nya adalah... beri nama
  > baru saja bagi pengikutnya.. nama bagi sebuah agama
  > baru. Nah, jadi tidak ada lagi konflik di antara umat
  > Islam.
  >
  > Dan lagi, bahkan di negara tempat berdirinya saja,
  > Pakistan, dilarang.
  > Yang saya menyayangkan adalah ternyata, Abdus Salam,
  > seorang penerima nobel Fisika adalah seorang
  > Ahmadiyah.
  > Saya jadi ingin tau siapa sih Mirza Ghulam Ahmad?
  >
  > salam kenal buat semua,
  > yn


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke