http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2259&Itemid=1

        
      Apa Salahnya Pluralisme Agama?    
      Meski fatwa MUI sudah berlalu, perdebatan soal pluralisme masih terus 
berlangsung. Semua orang, seolah-olah mulai bicara. Sebenarnya, apa beda 
pluralisme dengan relativisme? 

      Kamis, 8 September 2005




      Oleh: Syamsuddin Arif, Ph.D




      Kendati sudah sebulan berlalu, perdebatan soal pluralisme masih terus 
berlangsung. Jika sebelumnya yang maju berkomentar baru 'pion-pion' lokal, maka 
belakangan beberapa 'pentolan' luar pun mulai turun dan angkat bicara. 

      Dari William Liddle (Ohio State University) dan Diana Eck (Harvard 
University) hingga Franz Magnis Suseno (STF Driyarkara). Yang disebut terakhir, 
seorang pendeta Jesuit, berusaha mengaburkan makna pluralisme, menceraikannya 
dari relativisme dan menyamakannya dengan toleransi.  "Hanya seorang pluralis 
sejati yang toleran," tulisnya di sebuah koran ibukota. Pernyataan ini 
menyiratkan seolah-olah mereka yang tidak pluralis tidak toleran. 

      Pandangannya itu mungkin perlu disebarluaskan dan patut diterima oleh 
rekan seagamanya, tetapi bukan oleh dan untuk Umat Islam. 

      Seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya tentu mengetahui bahwa 
padanya selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam ber-aqidah, beribadah 
dan ber-mu'amalah antar sesama manusia. 

      Anda disuruh berjihad, tapi juga diperintahkan menebarkan kedamaian. 
Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun 
dakwah kepada mereka juga diwajibkan. 

      Minoritas non-Muslim (ahli dzimmah) yang 'lurus' wajib dilindungi, namun 
mereka yang berkhianat dan memusuhi Islam dan Umat Islam harus diperangi. 
Demikianlah rule of the game-nya, sehingga peaceful coexistence dapat terwujud. 

      Sebaliknya, jika aturan main tersebut dilanggar, maka timbulnya berbagai 
macam konflik akan sulit dihindari.

      Bahwa terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini adalah kenyataan 
yang tak terelakkan. Masalahnya, bagaimana menyikapi pluralitas dan diversitas 
agama-agama yang ada itu? 

      Menjawab pertanyaan serius ini, para pemikir terbelah menjadi beberapa 
kelompok. Kaum skeptis, positivis dan naturalis berkata, adanya macam-macam 
agama dengan doktrin yang berbeda-beda itu justru menunjukkan bahwa tidak ada 
satupun agama yang benar dan layak dipercaya. 

      Cukuplah perbedaan dan perselisihan merobohkan keseluruhan bangunan 
agama. Sebab, tidak ada satu kriteria pun yang dapat memastikan kebenarannya. 
Maka pluralitas agama hanya dapat dijelaskan secara sosiologis, anthropologis, 
dan psikologis. 

      Munculnya agama-agama disebabkan oleh faktor-faktor yang tak ada 
hubungannya dengan benar-salah (truth-blind causes), yaitu adat istiadat, 
kekuasaan politik, kepentingan serta kecenderungan pribadi dan budaya 
masyarakat setempat. 

      Agama adalah seperangkat ilusi, ungkapan emosi dan kepercayaan kosong. 
Begitulah pendapat Feuerbach, Marx dan Freud. 

      Penganut relativisme dengan polos berpendapat bahwa semua agama sama 
benarnya (every religion is as true and equally valid as every other). 
Kebenaran bukan monopoli satu agama tertentu. Tidak boleh pemeluk suatu agama 
menyalahkan atau menganggap sesat penganut agama lain. 

      Mereka ini lugu, karena 'memegang pisau bukan gagangnya, tetapi 
badannya'. Pandangan ini merupakan induk dari paham esensialisme, sinkretisme, 
dan pluralisme agama. Maka kekeliruan tiga paham inipun tidak jauh berbeda dan 
tak dapat dipisahkan dari relativisme.

      Yang dimaksud dengan esensialisme disini ialah pandangan yang mengatakan 
bahwa semua agama pada intinya sama. Bahwa agama-agama hanya berbeda formatnya 
saja, namun substansinya sama: kepercayaan pada Tuhan, kenabian dan moralitas. 

      Perbedaan yang ada tidak esensial, karena faktor sejarah dan pengaruh 
kondisi kultural dimana agama tersebut lahir. Walaupun sangat reduksionistik, 
pandangan ini cukup banyak peminatnya. 

      Sebut saja, misalnya, Frithjof Schuon yang mengolah gagasan ini menjadi 
'kesatuan transenden agama-agama' (transcendent unity of religions). Agar lebih 
memikat, agama barunya ini ia namakan juga 'agama abadi' (religio perennis) dan 
'agama hati' (la religion du coeur) yang konon merupakan sari-pati agama-agama 
(Lihat: Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his 
eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart. Washington, D.C.: Foundation 
for Traditional Studies, 1991).

      Sinkretisme bertualang lebih jauh, berhasrat mencairkan konflik dan 
mempertemukan agama-agama. 

      Karena semua agama membawa kebenaran dan menganjurkan kebaikan, mengapa 
tidak kita gabungkan saja semuanya? Ambil unsur-unsur yang disepakati dari 
semua agama dan buang yang masih diperdebatkan. Jadilah 'agama gado-gado' hasil 
comot sana-sini. 

      Sosiolog Peter L. Berger dari universitas Boston menyebutnya patchwork 
religion. Contohnya adalah Sikhisme di India, Baha'isme di Iran, Cuadaisme di 
Vietnam, atau aliran-aliran kebatinan semacam Sumarah, Pangestu, Darmo Gandhul 
dan sebagainya di Indonesia.

      Seperti saudara-saudaranya, pluralisme juga bertolak dari keinginan 
mencari titik-temu antara agama-agama yang berbeda. Pluralisme memang tidak 
gebyah-uyah menyamakan semua agama. Sebab, andaikata semua agama sama, maka 
pluralitas tidak ada. 

      Namun, kaum pluralis tidak sekedar mengakui keberadaan berbagai agama. 
Lebih dari itu, mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, 
meskipun 'porsinya' tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan 
kebahagiaan, walaupun 'resepnya' berbeda-beda. Terdapat banyak jalan menuju 
Tuhan. 

      Semuanya oke, tidak ada satupun yang buntu atau menyesatkan. All 
religions are equally effective means to salvation, liberation, and happiness, 
menurut paham ini. 

      Lalu apa bedanya dengan relativisme? Sebagaimana ditegaskan Peter Byrne, 
di dalam pluralisme bersemayam agnostisisme, paham bahwa kebenaran hanya bisa 
didekati, tetapi mustahil ditemukan. 

      Pluralisme agama, jelasnya, merupakan persenyawaan tiga proposisi. 
Pertama, semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan 
menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. 

      Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, 
semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama harus selalu terbuka untuk 
dikritisi dan direvisi (Lihat bukunya, Prolegomena to Religious Pluralism, 
London: Macmillan Press, 1995). 

      Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan inklusivisme. Oleh para 
pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham keagamaan yang mengakui dan 
menerima kebenaran agama lain. 

      Sekilas memang nampak tak bermasalah. Apalagi jika tujuannya dikatakan 
untuk menemukan common platform demi terwujudnya kebersamaan dan kerukunan 
antar umat beragama. 

      Namun pada hakikatnya, inklusivisme cukup berbahaya. Ia mengajarkan bahwa 
agama anda bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak boleh anda menganggap 
penganut agama lain bakal penghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik 
-apapun agamanya- bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri pada Tuhan, 
tidak lebih dari itu. Maka siapapun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, 
meskipun secara formal ia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim 
(Lihat: Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, 
Bandung: Mizan Pustaka, 1997; Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: 
Kompas, 2001; dan Nurcholis Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: 
Paramadina, 2005). 

      Semua paham tersebut diatas sesungguhnya lebih merupakan pendangkalan 
ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan. Jika dibiarkan, 
paham-paham ini akan bekerja menghabisi semua agama.   

      *) Penulis adalah peneliti INSISTS di Frankfurt am Main, Jerman. Dimuat 
di Hidayatullah.com 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke