http://www.indomedia.com/bpost/092005/15/opini/opini1.htm

Dokter Kita 'Bodoh'?

Oleh : dr H Mihan MM 

Ketika membaca tulisan wartawan BPost edisi 15-16 Agustus 2005 halaman 1 dengan 
judul 'Mengapa Orang Indonesia Berobat Ke Singapura?', saya teringat teman 
kuliah satu angkatan yang asli Malaysia. Konon, penduduk Indonesia tidak hanya 
banyak yang ke Singapura tapi juga tak sedikit ke Malaysia untuk berobat.

Menurut data konsulat jenderal RI di Penang, pada 2003 di Rumah Sakit Lam Wah 
Ee, Penang, dikunjungi 12.000 pasien yaitu 32 pasien per hari dari Indonesia. 
Dari Januari-Juni 2004, tercatat 9.000 pasien atau 50 pasien per hari. Di RS 
Adventist, Penang, pada 2003 tercatat 14 ribu pasien atau 38 pasien hari. Pada 
Januari- Juni 2004, tercatat 10.000 pasien atau sekitar 35 orang per hari. 
Semuanya dari Indonesia. Pertanyaannya: Apakah dokter Indonesia lebih 'bodoh' 
sehingga banyak orang kita berobat ke luar negeri?

Teman saya tadi bernama Hakim Mohammad (binnya saya lupa). Seangkatan saya di 
kedokteran, waktu itu yang dari Malaysia ada dua mahasiswa. Satunya lagi 
Fadillah (bintinya, juga saya lupa). Dari segi otak, keduanya biasa-biasa saja, 
termasuk kelas sedang sama seperti saya. Kalah dari teman-teman yang SMA-nya di 
Jawa. Tapi bahasa Inggrisnya jangan ditanya, mantap gitu lho. Setidaknya mereka 
mampu memenuhi harapan Mahatir Mohammad yang menerapkan kebijakan mencerdaskan 
bangsa dengan memberikan bea siswa dan mengirimkan kaum intelektualnya ke luar 
negeri, terutama suku Melayu. Dengan program ini, peranan penduduk Melayu yang 
semula hanya 3,17 persen dalam peranan perekonomian Malaysia, meningkat menjadi 
17,3 persen. 

Di Malaysia kata Hakim Mohammad, obat antibiotik tidak dijual bebas. Artinya, 
kalau membeli atau mendapatkannya harus dengan resep dokter dan apotik 
benar-benar memberikan penjelasan mengapa antibiotik harus dihabiskan dan 
meminum sesuai aturan. Beda dengan di Indonesia, toko obat dan sebagian apotik 
bisa bebas menjualnya. Sebenarnya antibiotik dan obat keras lainnya di 
Indonesia memang harus pakai resep, tapi dalam penerapannya jauh panggang dari 
api. Akibatnya resistensi (kekebalan) terhadap antibiotik menunjukkan 
peningkatan. Jangankan antibiotik, obat injeksi pun bisa dengan bebas beredar 
di toko obat. Pasien yang rugi, sebab jika kebal terhadap obat, mau diobati 
pakai apa? Begitu juga kalau terjadi efek samping obat, siapa yang bertanggung 
jawab?

Tulisan wartawan BPost di artikel itu, merupakan masukan sangat berharga bagi 
dokter Indonesia khususnya Kalsel. Begitu juga cerita Hakim Mohammad tentang 
pengobatan di Malaysia. Menilai sesuatu memang harus ada pembandingnya. 
Seseorang disebut cantik, karena ada yang tidak cantik. Seseorang disebut 
pintar karena ada yang kurang pintar, dan sebagainya.

Secara pribadi saya menerima kritik dan fakta dari rekan wartawan tersebut. Ini 
merupakan tantangan bagi dokter Indonesia khususnya pengurus IDI Cabang Tapin 
periode 2005-2008 yang akan dilantik 8 September 2005. Saya pun dibuat kagum 
oleh pelayanan RS Arab Saudi ketika saya diberi kesempatan menjadi petugas 
kesehatan haji pada 2004 lalu. Pelayanan cepat, ramah, dan akurat adalah kesan 
yang saya peroleh. Walaupun tenaga medisnya kebanyakan bukan asli Arab Saudi 
tapi banyak dari Cina, India dan Filipina. 

Tetapi yang disampaikan sejawat saya dr Mohammad Isa SpP, ketua IDI Kalsel, 
menanggapi artikel 'Mengapa Orang Indonesia Berobat Ke Singapura?' di BPost 
edisi 24 Agustus 2005, juga benar adanya.

Subjudul pada artikel wartawan BPost tertulis: ... dicari akar penyakitnya baru 
diobati ..., tampaknya tidak hanya mengganggu perasaan Mohammad Isa. Saya 
yakin, seluruh dokter yang membaca artikel itu akan terusik. Semua dokter di 
dunia diajarkan mencari penyebab penyakit dulu baru diobati. 

Dalam menangani pasien, harus dilihat kasus per kasus. Kalau penyakit seseorang 
memang memerlukan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, rontgen atau 
scanning, agar akar penyakitnya diketahui, maka kita akan lakukan. Tetapi kalau 
penyakitnya ringan seperti batuk pilek biasa dan secara empiris penyebabnya 
sudah diketahui, tidak perlu pemeriksaan penunjang yang mahal. Kalau semua 
kasus dipaksakan pemeriksaan penunjang, yang kasihan si pasien karena harus 
membayar mahal untuk sesuatu yang tidak diperlukan.

Karena itu, benar yang dikatakan dokter Isa: "Tidak semua dokter Indonesia 
'bodoh' dan tidak semua dokter Singapura 'hebat'. Ada dokter Indonesia yang 
'hebat' di bidang lainnya dan ada dokter Singapura yang tidak 'hebat' di 
bidangnya."

Secara kualitas, saya rasa dokter Indonesia tidak kalah dengan Singapura atau 
Malaysia. Di Indonesia juga banyak dokter spesialis dan subspesialis. Banyak 
keberhasilan dokter Indonesia yang sempat ataupun tidak sempat dipublikasikan. 
Banyak kesuksesan diraih dokter Indonesia dalam menangani pasien baik di daerah 
maupun di kota besar. Contohnya, RSUD Dr Soetomo membukukan prestasi, tim 
dokternya berhasil memisahkan kembar siam Dwipayanti - Dwipayani, 29 Januari 
2005 lalu. 

Keberhasilan lain misalnya Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 
(FKUI) Prof Dr Lily I Rilantono SpA SpJP (K), meraih penghargaan 'Sutomo 
Tjokronegoro' yang merupakan penghargaan tertinggi Ikatan Dokter Indonesia 
(IDI) pada Muktamar IDI 2003. Penghargaan yang diberikan kepada tokoh 
masyarakat yang telah memperhatikan dan membuktikan perhatian besar serta 
prakarsa dalam pengembangan upaya kesehatan pada umumnya dan kedokteran pada 
khususnya. Penghargaan 'Wahidin Sudirohusodo' diberikan kepada Prof Dr A 
Harryanto Reksodiputro SpPD-KHOM pada muktamar yang berlangsung setiap tiga 
tahun itu. Ia dinilai telah menunjukkan prestasi kemasyarakatan yang menonjol 
dalam pengamalan profesi kedokteran.

Penghargaan 'M Kodijat' diberikan kepada Prof Dr Sri Rezeki Syaraswati 
Hadinegoro dr SpAK, karena memperlihatkan dan membuktikan prestasi keilmuwan 
yang menonjol di bidang kedokteran. Selanjutnya, penghargaan 'R Wasito' 
diberikan Dr Djoko Waspodo SpOG yang dinilai telah memperlihatkan dan 
membuktikan prestasi dan peran aktifnya dalam pengembangan Gerakan KB Mandiri. 
Disusul penghargaan 'Soedjono Djoened Poesponegoro' diberikan kepada dr Riadi 
Wirawan SpPK (K) dan Dr Asnath Vera Savitri Matondang SpPD, karena dinilai 
telah memperlihatkan dan membuktikan prestasi yang tinggi dalam penulisan 
ilmiah di bidang kedokteran pada Majalah Kedokteran Indonesia (MKI). Sedangkan 
penghargaan 'Adi Yasa Utama' diberikan kepada Prof Dr Ratna Suprapti Samil 
SpOG, yang dinilai berjasa bagi perkembangan organisasi IDI.

Permasalahan yang masih dihadapi adalah rasio perbandingan dokter dengan jumlah 
penduduk. Satu dokter harus menangani ribuan atau bahkan jutaan penduduk. Maka, 
satu dokter spesialis atau subspesialis harus merangkap di beberapa rumah 
sakit. Penyebaran dokter yang belum merata di seluruh Indonesia hendaknya 
menjadi fokus utama, dan yang pasti pemerintah harus lebih banyak mencetak 
dokter baru untuk ditempatkan di seluruh tanah air. 

Kebijakan di era Soeharto dengan mewajibkan dokter yang baru lulus ditempatkan 
di daerah selama dua atau tiga tahun, menurut saya, sangat tepat sehingga 
setiap dokter dapat merasakan kondisi sebenarnya masyarakat kita. Tetapi 
mengapa sejak 2000 di era reformasi, justru dokter baru dibolehkan bebas 
menentukan apakah ke daerah, di kota saja, atau melanjutkan ke spesialis. 
Kebijakan seperti ini justru membuat daerah yang kekurangan dokter umum, dokter 
gigi, atau dokter spesialis menjadi semakin kekurangan. Beruntung --walaupun 
kebijakan itu belum diubah-- pemerintah mengangkat banyak dokter di daerah 
menjadi pegawai negeri sehingga pengabdiannya lebih lama di daerah.

Satu hal lagi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dokter Indonesia adalah 
pembenahan kurikulum pendidikan dokter Indonesia. Di sebagian besar 
universitas, masa kuliah fakultas kedokteran (FK) rata-rata selama enam tahun. 
Tetapi ada universitas yang lebih lama yaitu rata-rata delapan - sembilan 
tahun. Ini perlu dipertanyakan, apakah mahasiswanya yang bodoh atau sistemnya 
yang masih kurang bagus. Atau, dosennya yang mematok standar terlalu tinggi 
(maksudnya, seorang calon dokter umum diuji sama dengan seorang calon 
spesialis). 

Kita berharap, FK yang belum menyamakan standarnya dengan FK lain dapat studi 
banding sehingga tidak ada kesan seperti mempersulit mahasiswa. Karena 
mahasiswa merasa dipersulit, ia cenderung menjadi dokter 'balas dendam' 
sehingga dalam melayani masyarakat cenderung kurang bagus.

Menyamakan standar maksudnya seperti menyamakan jumlah SKS, lama siklus bagian 
mayor dan minor di coass, jumlah mahasiswa coass (dokter muda) di tiap bagian, 
sistem pembelajaran di coass, sistem pengumuman kelulusan di tiap bagian coass, 
dan lain-lain. Contohnya di beberapa FK di Jawa, siklus praktik coass di bagian 
minor rata-rata lima minggu dan mayor 10 minggu. Bahkan di FK Undip dan UI 
hanya empat minggu di minor dan delapan minggu di mayor dengan jadwal kegiatan 
diperpadat. Tetapi ada FK yang siklus minornya enam minggu, dan mayornya 12 
minggu. 

Begitu juga jumlah mahasiswa coass di tiap bagian. Ada beberapa FK yang masih 
kacau. Misalnya, di bagian anestesi mahasiswanya penuh dalam satu siklus. 
Tetapi di bagian penyakit dalam malah kurang, dan di bagian mata justru tidak 
ada mahasiswanya. Ini berarti, pengaturannya yang harus banyak belajar dari FK 
lain, supaya mahasiswa tidak dirugikan. Maksudnya, kalau mahasiswa terpaksa 
tidak bisa masuk bagian tertentu karena penuh dan 'diliburkan', otomatis 
waktunya terbuang percuma. Semestinya bagian fakultas lebih fleksibel, sehingga 
mahasiswa tidak lama kuliahnya, yang menurut istilah sejawat saya dr Pribakti 
SpOG mahasiswa kai-kai.

Sistem pengumuman kelulusan mahasiswa kedokteran di tiap bagian yang 
dilewatinya juga harus disamakan. Sebagian besar FK mengumumkan kelulusan 
setelah mahasiswa keluar dari bagian tertentu sebelum masuk bagian lain. 
Contoh: ketika seorang coass masuk bagian kebidanan/kandungan selama 10 minggu, 
setelah selesai menjalaninya dan sebelum masuk bagian lainnya ia sudah tahu 
apakah ia lulus atau tidak di bagian kebidanan/kandungan tersebut. Begitu juga 
di bagian lain, sehingga seorang coass bisa mempelajari bagian yang belum 
lulus. Jika ada waktu, ia akan secepatnya mengulang tanpa harus menunggu 
yudisium besar.

Jika coass harus menunggu selesai semua bagian baru kelulusannya diumumkan, 
berapa banyak waktu terbuang yang bisa dimanfaatkannya untuk belajar atau 
mengulang ujian. Ini yang bisa menyebabkan coass jadi kai. Bukan karena mereka 
bodoh, tetapi karena mereka menjadi korban sistem. Sistem yang tidak mendukung, 
akibat dosen kurang mengikuti perkembangan FK lainnya yang lebih maju.

Kalau selama mahasiswa dokter tersebut menjadi korban sistem, bagaimana ia akan 
berjuang dengan baik untuk masyarakat?

Artikel 'Mengapa Orang Indonesia Berobat Ke Singapura?', juga hendaknya 
menggugah pengambil kebijakan pembangunan seperti presiden, DPR, gubernur, 
bupati/walikota, dan DPRD bahwa kita juga harus memperhatikan keadaan dokter. 
Secara manusiawi, ia akan memilih daerah yang penduduknya lebih banyak, karena 
secara naluri ingin meningkatkan kesejahteraan. Kalau tak ada fasilitas yang 
lebih menjanjikan (insentif, rumah dinas dan kendaraan dinas), tentu akan kalah 
dalam menarik minat dokter khususnya dokter spesialis untuk bekerja di suatu 
daerah.

Masyarakat di luar kesehatan tidak bisa sepenuhnya bersandar bahwa dokter harus 
selalu mengabdi dan menolong. Harus kita sadari, mereka juga manusia biasa yang 
perlu makan dan kesejahteraan. Apalagi seorang dokter yang lulus sekolah 
spesialis rata-rata berumur 35-45 tahun. Suatu umur yang boleh dikata tidak 
muda lagi. Pada umur itu, profesi lain pada umumnya sudah mapan, sedangkan 
dokter spesialis baru mulai hidup baru. Jika mereka ditempatkan di suatu daerah 
yang belum tahu prospeknya, apakah itu bukan suatu gambling. Akibatnya, 
kebanyakan mereka tetap bertahan di Jakarta atau Pulau Jawa.

Melihat kondisi seperti yang saya gambarkan di atas, bukan dokter Indonesia 
yang 'bodoh' tapi sistem dalam pemerintahan kita yang kurang bagus. Akibatnya, 
sistem pelayanan kesehatan, pendidikan dokter, kesejahteraan dokter (baik umum 
dan spesialis), sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, menjadi kurang 
maksimal.

Karena itu, menyikapi artikel 'Mengapa Orang Indonesia Berobat Ke Singapura?', 
saya mengajak sejawat dokter untuk introspeksi dan berharap rekan wartawan 
lebih berimbang dalam menyajikan berita. Maksud saya, agar porsi hak jawab 
lebih diperhatikan. Saya meyakini seyakin-yakinnya, jasa rekan wartawan luar 
biasa bagi kemajuan bangsa ini. Tulisan saya ini pun termasuk tulisan terdahulu 
adalah berkat dorongan dan bantuan rekan-rekan wartawan. Terimakasih sahabatku, 
wartawan!

Ketua IDI Cabang Tapin, tinggal di Rantau 
e-mail: [EMAIL PROTECTED]




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke