http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/11/nas07.htm

Pilu Nelayan akibat Kenaikan Harga BBM (1)
Frustrasi, Pilih Bakar Diri
       
      BERSAMA KAKEK: Fatmawati, bocah berusia 3 tahun 5 bulan terlihat memelas. 
Dia ditemani kakeknya di rumah bambu milik orang tuanya di Desa Kedungmalang RT 
3 RW 1, Kecamatan Kedung, Jepara. Ibu bocah itu meninggal dengan cara membakar 
diri awal September lalu, gara-gara kondisi ekonomi keluarga yang semakin 
memburuk akibat kelangkaan dan kenaikan harga BBM. (57m) SM/Muhammadun Sanomae  
 
     
Langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), perlahan namun 
pasti ''membunuh'' jutaan nelayan di berbagai daerah. Defisit penghasilan 
dibanding dengan biaya operasional yang tinggi, menjadi jeritan utama mereka. 
Bahkan di Jepara, kenaikan harga BBM telah membawa petaka bagi keluarga 
nelayan. Salah satu anggota keluarga nekat membakar diri karena rasa frustrasi 
yang akut. Berikut laporan wartawan Suara Merdeka yang diturunkan mulai hari 
ini.

SPONTAN Sumulyadi (65) tidak kuasa menahan air mata saat menceritakan kisah 
menantunya yang meninggal dunia pertengahan September 2005 lalu. Siti Aisyah 
(27) warga RT 3 RW 1 Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara 
meninggal dunia setelah membakar diri, awal September lalu.

Sementara itu, sekujur tubuh Zubaidi (31), suami Aisyah, ikut terbakar ketika 
berusaha menyelamatkan istrinya. Hingga Senin (10/10), Zubaidi dirawat di rumah 
saudara di Dukuh Babalan, Desa Kalirejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. 

Sumulyadi tidak bisa menjelaskan secara rinci kejadian nahas yang menimpa 
keluarganya itu. Najib (14), cucu Sumulyadi menceritakan kejadian yang tidak 
banyak tercium publik, selain di desa itu. Sebab, kejadian itu baru mencuat 
saat ratusan nelayan Desa Kedungmalang melakukan aksi unjuk rasa menentang 
kenaikan harga BBM di gedung DPRD Jepara, Jumat (7/10) lalu. 

Kepada Suara Merdeka, Najib bertutur bahwa awal September lalu terjadi 
kelangkaan minyak tanah luar biasa di sekitar kawasan desa yang sebagian besar 
penduduknya bekerja sebagai nelayan. Sebagaimana istri nelayan yang lain, siang 
itu Aisyah ''ditugaskan'' suaminya (Zubaidi) antre minyak tanah untuk kebutuhan 
melaut esok hari. Karena langka, dia tidak memperoleh minyak tanah setetes pun 
dari pedagang pangkalan maupun eceran.

Petang hari, Zubaidi baru saja pulang melaut dengan menggunakan perahu sopek 
kecil miliknya. ''Saat itu, dia (Zubaidi) tidak memperoleh hasil apa-apa, 
kecuali rugi,'' kata Najib. Tidak ada tetangga yang tahu kejadian itu karena 
semua berangkat pengajian. Entah apa isi dialog antara Zubaidi dan istri. 
Pasangan itu bertengkar atas kesulitan yang terjadi. Menurut Najib mengutip 
penuturan Zubaidi, saat itu Aisayah yang pikirannya sudah "sumpek", menyiram 
tubuhnya dengan minyak tanah sisa kompor masak. Wanita itu langsung membakar 
diri, sedangkan suami berusaha memadamkan kobaran api yang membakar pakaian 
istrinya. Namun apa mau dikata, pasangan itu sama-sama terbakar.

Warga pun langsung membawa Aisyah yang sekujur tubuhnya terbakar, ke Rumah 
Sakit Islam Kudus. Karena parah, wanita itu dirujuk ke Rumah Sakit Kariadi 
Semarang. Namun setelah dua pekan menjalani perawatan, Aisyah meninggal dunia. 
Ia meninggalkan putrinya, Fatmawati yang masih 3 tahun 5 bulan. 

Sementara itu, Zubaidi yang beberapa hari juga dirawat di Rumah Sakit Islam 
(RSI) Kudus -karena tidak punya uang untuk pengobatan-, dipindah ke rumah 
saudaranya di Dukuh Babalan Kecamatan Undaan Kudus. Saat ini, dia memulihkan 
diri sambil memperoleh perawatan dari tenaga kesehatan desa.

Saat ini, Fatmawati tinggal bersama kakeknya, Sumulyadi di Desa Kedungmalang. 
Lelaki tua itu menempati sebuah rumah bambu yang bersebelahan dengan rumah 
bambu milik Zubaidi. Sangat memprihatinkan kondisi rumah Zubaidi. Selain 
sempit, rumah itu hanya berlantaikan tanah dan berdinding bambu. Keluarga itu 
hanya memiliki perabot dua kursi plastik, satu meja tua, dan sebuah dipan kayu 
tak beralas. Pintu rumah itu pun hanya jeruji bagai penjara tetapi terbuat dari 
bambu. 

''Perahu dan mesin milik Zubaidi sudah terjual. Uangnya habis untuk biaya 
perawatan di rumah sakit. Bahkan, 18 hari perawatan di Desa Babalan belum 
terbayar,'' tutur Sumulyadi yang terus tersedu-sedu. Perahu dan mesin itu 
dijual Rp 5,6 juta. Padahal perawatan menghabiskan dana Rp 7.600.000. Sumulyadi 
terpaksa menjual kayu-kayu seadanya untuk menutup biaya pengobatan. ''Saat 
dirawat di RSI Kudus, anak dan menantu, termasuk keluarga kami yang menunggui 
diberi makan orang lain,'' tuturnya terbata-bata.

Sumulyadi yang tidak punya apa-apa lagi itu semakin menangis karena tidak 
terdaftar sebagai penerima sumbangan langsung tunai (SLT) program kompensasi 
pengurangan subsidi (PKPS) BBM. ''Saya itu tidak punya apa-apa. Pekerjaan tidak 
punya. Dulu pernah menyewa tambak, tetapi sekarang tidak kuat bayar sewa. 
Padahal anak saya sakit dan tak bisa melaut,'' katanya.

Sumulyadi berkisah seperti itu disaksikan puluhan nelayan dan istri di Desa 
Kedungmalang. Bagi mereka, itu merupakan curahan hati paling memilukan di 
antara sekian banyak keluhan para nelayan setempat.

Sehari Makan, Sehari Tidak 

Simaklah seperti apa yang dituturkan Retinah, warga Desa Kedungmalang. Karena 
suami mengalami defisit saat melaut, keluarga rela sehari makan, sehari tidak. 
''Kami kuat-kuatkan menghadapi kondisi sulit ini, meski terkadang kami harus 
menangis saat malam hari,'' katanya. 

Ia lantas menunjukkan puluhan anak perempuan dan para istri nelayan yang tidak 
lagi mengenakan anting, gelang, cincin atau perhiasan lain. 

Sebagian besar penduduk Kecamatan Kedung memang bekerja sebagai nelayan. 
Sebagaimana temperamen masyarakat pesisir yang lain, mereka tidak segan-segan 
berteriak dan bertindak berani untuk sekadar melawan nasib. 

Lihatlah gelombang protes nelayan Desa Karangaji yang menyandera mobil tangki 
Pertamina, disusul tiga hari kemudian unjuk rasa ratusan nelayan Desa 
Kedungmalang ke DPRD, sebagai puncak kegundahan mereka. ''Langkah pemerintah 
menaikkan harga BBM benar-benar membunuh kami secara perlahan. Ekonomi kami 
jadi terhenti, kondisi psikis kami juga sudah sangat lelah. Kami hidup di 
tengah-tengah keluarga yang butuh makan dan anak-anak yang butuh sekolah. Kami 
heran masih banyak pejabat yang tertawa sementara masyarakatnya tak 
berdaya,''tutur Abdul Wahid, nelayan dari RT 4 RW 1 Desa Kedungmalang. Dia 
mengungkapkan, ribuan nelayan berhenti melaut karena kondisi terakhir sangat 
menyulitkan. (Muhammadun Sanomae-41m) 

++++
http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/12/nas06.htm

Pilu Nelayan akibat Kenaikan Harga BBM (2)
Pukulan Telak di Musim Paceklik
       
      NELAYAN MENGANGGUR: Sejumlah nelayan di Pantai Pasir Kebumen tak dapat 
melaut akibat melambungnya harga solar. Mereka lebih banyak menganggur dan 
menepikan perahu-perahunya di pantai. Selain tingginya harga BBM, mereka juga 
takut melaut karena gelombang besar pada musim timur. (57v) - SM/Komper Wardopo 
  
     
BAGI para nelayan di Pantai Selatan Kebumen, kenaikan harga BBM ibarat pukulan 
beruntun yang kian menyengsarakan. Sebab, sekitar lima bulan masa paceklik 
belum berakhir, kini harus menghadapi tingginya harga bensin.

Berbeda dengan nelayan tetangganya di Cilacap atau pantura, para nelayan 
Kebumen adalah nelayan tradisional. Karena keterbatasan perahu dan alat 
tangkap, mereka hanya berani melaut setengah hari atau istilah mentereng 
kelautan disebut one day fishing 

Dari tiga lokasi tempat pelelangan ikan (TPI) di Pantai Pedalen Desa Argopeni, 
Pantai Karangduwur, dan Pantai Pasir, semuanya di Kecamatan Ayah, Kebumen 
umumnya nelayan masih memakai perahu kecil jenis fiber glass yang hanya mampu 
dinaiki dua sampai tiga nelayan.

Pukulan telak pertama, dirasakan para nelayan sejak Juli lalu. Sebab, saat itu 
memasuki angin musim timur. Angin di Samudera Indonesia sangat besar, 
berkorelasi dengan gelombang pasang yang ganas dan angin laut tak bersahabat 
tadi. Banyak perahu rusak akibat kecelakaan. Ribuan nelayan praktis menganggur 
selama berbulan-bulan.

Bahkan, belum lama ini belasan perahu yang sandar beserta jaringnya di Pantai 
Karangduwur dan Pasir, rusak parah. Menurut Kepala Dinas Peternakan, Perikanan, 
dan Kelautan (Peperla) Kebumen hal itu akibat hantaman badai dan kerugian 
nelayan diperkirakan sampai Rp 140 juta.

Hantaman berikutnya, semestinya pada awal Oktober ini sudah mulai memasuki masa 
panen semua jenis ikan. Baik ikan tengiri, bawal, cucut, layur, udang jerbung 
maupun lobster sampai ubur-ubur. N

amun karena musim kemarau yang pendek, sedangkan hujan sering turun, ikan-ikan 
beserta ubur-ubur itu pun seperti menghilang.

Belum juga masa paceklik usai, sejak awal Oktober ini harga bensin tiba-tiba 
naik 100% lebih. Harap maklum, nelayan pantai Ayah itu, sekitar 44 kilometer 
barat daya Kebumen, rata-rata masih memakai mesin tempel 15 PK dengan bahan 
bakar bensin campur. Jika harga eceran resmi bensin Rp 4.500/liter, di tangan 
nelayan sudah mencapai Rp 5.000/liter.

''Padahal, kami memakai bensin campur, jadi harga satu liter bahan bakar sudah 
Rp 6.000,'' keluh Siswanto (54), nelayan Desa Pasir, Kecamatan Ayah. Ia yang 
hari itu menerjunkan sebuah perahu dengan modal Rp 215.000. Perhitungannya, 
bekal bahan bakar untuk 40 liter, ditambah uang makan Rp 10.000.

Berhubung masih masa pacelik, hasil tangkapan dia setelah dijual di TPI, hanya 
tinggal sisa uang Rp 19.000 bersih. ''Tolong sampaikan Pak SBY, anak saya tiga 
SLTA semua. Bagaimana bisa menutup makan dan ongkos sekolah? ''ucap Siswanto 
sambil leyeh-leyeh di perahunya.

Bejo (25), buruh nelayan yang memiliki dua anak itu jauh lebih mengenaskan 
nasibnya. Berhubung tak punya modal dan risiko melaut sangat tinggi, sejak 
beberapa bulan ini ia harus ganti profesi. Pekerjaan apa saja dia lakoni, asal 
bisa mendapat uang.

''Saya mau jadi buruh cangkul atau buruh apa saja. Yang penting bisa untuk 
makan,'' tandas Bejo disertai anak perempuannya berumur sekitar delapan tahun. 
Dia setiap hari tetap ke pantai, namun hanya ngobrol sambil menunggu ada orang 
menawari pekerjaan serabutan.

Slamet, buruh menarik atau menepikan perahu beserta beberapa temannya dari Desa 
Banjarharjo Kecamatan Ayah pun, bernasib serupa. Sejak ratusan kapal di Pusat 
Pendaratan Ikan (PPI) Pantai Pasir tak bisa melaut, praktis dia jadi sering 
menganggur.

Sehari paling menepikan dua sampai tiga kapal. Hasil tangkapan ikan pun relatif 
kecil hanya lima sampai 10 kilogram. Adapun posisi mereka adalah buruh 
terbawah, sebagai tukang mengangkut perahu dan ikan dari tepi laut ke bibir 
pantai dan TPI.

Ketika ditanya soal kompensasi BBM, warga nelayan miskin itu umumnya tak tahu 
menahu. Padahal, sejak hari itu (Selasa,11/10), warga miskin di Kebumen yang 
lain telah berbondong-bondong menerima bantuan langsung tunai Rp 300.000 untuk 
tiga bulan.

Tak heran wajah-wajah hitam, kasar dan frustasi, terlihat dari para nelayan 
Kebumen. Bahkan, saat ditemui di kapal yang bersandar ataupun di lokasi 
pelelangan, para nelayan enggan diajak bicara. Apalagi jika diungkit soal 
tingginya harga BBM, mereka menjawab ketus dan sekenanya. 

Kepala PPI Pasir Darsono mengakui, sejak masa paceklik akibat angin musim 
timur, para nelayan yang melaut turun drastis. Biasanya, di PPI Pasir setiap 
hari ada ratusan nelayan dan kapal dapat melaut. Kini, sehari maksimal hanya 
sepuluh perahu. Itu pun hasil tangkapan mereka sangat kecil.

Jumlah nelayan di PPI Pasir sesuai data 715 orang. Jumlah juragan 261 orang dan 
pandega atau nelayan sekitar 454 orang. Sementara itu, jumlah kapal motor ada 
315, gantaran sekitar 306 buah.

Kondisi hampir serupa terjadi di TPI Pantai Karangduwur yang dihuni sekitar 80 
nelayan, serta TPI Pantai Pedalen Argopeni, yang dihuni sekitar 300 nelayan. 
Umumnya para nelayan saat musim angin timur ini kesulitan masuk ke laut karena 
gelombang besar, sedangkan kapal mereka amat kecil.

Padahal, meski masa paceklik, sekarang harga ikan laut Kebumen relatif stabil. 
Darsono menyebutkan, harga ikan tengiri Rp 22.500 per kilogram, dari semula Rp 
18.000. Ikan bawal berkisar Rp 40.000/kilogram, cucut Rp 9.000/kilogram dan 
layur paling murah laku Rp 6.000/kilogram. 

Kepala Dinas Peperla Kebumen dokter hewan Jatmoko menyatakan, ada kekhasan 
nelayan tradisional Kebumen. Sebab, selain menekuni sebagai nelayan, sebagian 
dari mereka sambilan sebagai peternak, petani tadah hujan, dan pembuat gula 
merah.

Karena itu, sebagian keluarga nelayan tersebut selama ini telah diberi bantuan 
ternak sapi. Di kala paceklik, para nelayan ada yang beralih menjadi peternak 
dan mencari pakan ke hutan. Hasilnya memang tak bisa diambil sekejap. Namun, 
dalam beberapa tahun, ternaknya bisa dijual dengan hasil lumayan.

Mengenai bantuan kompensasi BBM bagi nelayan, Jatmiko mengakui, sampai saat ini 
para nelayan Kebumen belum menerima. Pihaknya telah mengusulkan agar para 
nelayan juga mendapat bantuan kompensasi BBM. Apalagi harga BBM melonjak tajam.

Bagi nelayan miskin dan buruh nelayan, semestinya juga layak mendapat kartu 
kompensasi BBM. Sayangnya, ratusan nelayan di Pantai Pasir Kecamatan Ayah, saat 
ditanya rata-rata menjawab belum ada yang menerima kartu untuk mengambil 
bantuan uang tunai itu.

Ke Pegadaian

Tak terkecuali ribuan nelayan Cilacap juga menjerit. Mereka menjerit karena 
kesulitan mendapatkan bensin atau solar. Untuk mendapat bahan bakar, mereka 
harus antre berjam-jam. Sebab, pengambilan BBM untuk kalangan nelayan dilakukan 
secara bergiliran.

Saat itu, para nelayan tidak mungkin membeli BBM di SPBU karena ada larangan 
membeli bensin atau solar dengan jerigen. Larangan tersebut dikeluarkan 
Pertamina. Para pengawas SPBU tidak berani melayani pembelian dengan jerigen 
karena takut mendapatkan sanksi dari Pertamina.

Penderitaan nelayan ternyata tidak berhenti sampai di sini. Begitu pemerintah 
per 1 Oktober 2005 menaikan harga BBM, nelayan pun tidak bisa berbuat apa-apa. 
Mereka hanya bisa menangis menghadapi kenyataan bahwa hidup ini ternyata 
semakin susah.

Menurut Rosikin, kenaikan harga BBM cukup mencekik kehidupan nelayan. Sebab, 
kenaikan harga BBM selalu berimbas pada kenaikan harga sembako. Itu berarti, 
biaya perbekalan yang harus dikeluarkan nelayan setiap akan berangkat melaut 
menjadi membengkak 200 %.

Tokoh nelayan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC) Simon Domingus 
mengatakan, keterpurukan nelayan akibat kenaikan harga BBM semakin diperparah 
dengan adanya peraturan pemerintah yang melarang kapal ikan dengan bobot mati 
di atas 30 gross ton (GT) menggunakan minyak solar.

Itu berarti kapal tersebut harus menggunakan solar untuk industri. Padahal 
pemerintah juga telah menaikan harga BBM industri.

Ketua KUD Mino Saroyo Rosikin SSos mengatakan, nelayan selalu berada pada 
posisi terjepit. Terutama pada saat menjelang Lebaran nanti, di mana kebutuhan 
semakin meningkat dan harga-harga barang kebutuhan semakin mahal.

Untuk mencukupi kebutuhan untuk Lebaran, para nelayan biasanya akan 
beramai-ramai datang ke kantor Pegadaian untuk menggadaikan barang berharga 
atau perabotan yang masih bisa digadaikan. Seperti TV, kulkas, perhiasan dan 
perabotan lainnya. (Komper Wardopo,Agus Sukaryanto-14v) 

++++

http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/13/nas06.htm

      
     
      Pilu Nelayan akibat Kenaikan Harga BBM (3-Habis)
      Hanya Dua-Tiga Perahu yang Melaut
             
            SM/Eko Priyono MEMILIH LIBUR: Banyak nelayan Pantai Jatimalang, 
Purwodadi, Purworejo memilih libur sejak kenaikan harga BBM. Beberapa nelayan 
Jatimalang melaut untuk melayani pembelian ikan para wisatawan. (30j)   
           
      KELUHAN bensin mahal juga dirasakan para nelayan Pantai Jatimalang, 
Purwodadi, Purworejo. Akibatnya, rata-rata setiap hari hanya dua sampai tiga 
perahu yang masih mau melaut.

      Kondisi seperti itu, menurut para nelayan setempat, sekadar untuk 
memberikan layanan bagi wisatawan di pantai tersebut. Biasanya pengunjung 
pantai membeli ikan dari nelayan dan minta dibakarkan sekalian. Lalu ikan bakar 
itu dinikmati di warung yang tersedia di pantai.

      Nelayan Karib (35) menyatakan, di pantai itu ada sekitar 60 nelayan 
dengan 20 perahu mesin. Sebelum kenaikan harga BBM, dalam setiap hari rata-rata 
delapan sampai sepuluh perahu yang melaut. Tetapi sejak harga bensin naik kini 
setiap hari rata-rata hanya dua sampai tiga perahu yang mencari ikan.

      Itu pun lingkupnya hanya di pinggir pantai, dengan pertimbangan untuk 
menghemat bahan bakar. ''Dulu sebelum harga bensin naik, nelayan sini mencari 
ikan sampai Congot dan Keburuhan. Tetapi sekarang hanya di sekitar sini,'' 
tuturnya.

      Menurut Karib, sebetulnya saat ini sudah datang musim ikan. Jenis ikan 
seperti tengiri, mamo, hiu martil, serta hiu cucut mulai banyak. Tetapi akibat 
keterbatasan dana akhirnya hanya sebagian nelayan yang tetap melaut.

      Dia pun masih sering mencari ikan dengan pertimbangan daripada wisatawan 
di pantai itu kecele. 

      Sebab, biasanya pengunjung di pantai itu membeli ikan hasil tangkapan 
nelayan. ''Daripada pengunjungnya kecewa karena tidak ada ikan, saya tetap 
melaut,'' kata nelayan yang juga membuka warung makan itu, Rabu kemarin.

      Berbeda dari pendapat beberapa nelayan lain. Sebagian besar nelayan di 
pantai itu memilih beristirahat di rumah lantaran bensin mahal. ''Bensin mahal 
ya lebih baik menganggur. Sebab, kalau tetap kerja, hasilnya pas-pasan saja,'' 
tutur Wardi.

      Dia menyebutkan, nelayan membeli bensin eceran dari Desa Gesing atau 
Nampurejo, keduanya juga wilayah Kecamatan Purwodadi. Harga bensin eceran di 
sana Rp 5.000 per liter. Seingat dia, semula dengan modal Rp 50.000 sudah bisa 
melaut sampai ke pantai desa lain, tetapi saat ini sudah tidak memungkinkan.

      ''Dulu dengan modal bensin Rp 50.000 bisa sampai Pantai Keburuhan dan 
Congot. Sekarang bensin mahal, uang sebesar itu dapat bensin tidak seberapa, 
belum termasuk untuk membeli oli,'' ujar Kasman.

      Padahal, untuk menangkap ikan berharga jual mahal seperti bawal dan udang 
lopster tidak cukup di pinggiran laut. Biasanya kalau musim ikan bawal, dalam 
setiap melaut sebuah kapal dapat meraup hasil sampai Rp 6 juta. Itu karena 
harga jualnya yang kelas A bisa laku Rp 60.000/kg, kelas B Rp 45.000, dan kelas 
C Rp 25.000/kg.

      Lebih menguntungkan lagi kalau nelayan mendapat udang lopster. Harga 
setiap kilogram udang lopster mutiara Rp 125.000/kg, sedangkan super biasa 
harga jualnya Rp 100.000/kg. Dengan catatan udang berukuran besar tersebut 
masih hidup dan utuh.

      Sementara itu, suasana di Pantai Keburuhan, Kecamatan Ngombol, tampak 
sepi. Sebanyak 13 perahu di pantai itu tampak di daratan. Diperoleh keterangan, 
nelayan di pantai itu sudah beberapa bulan terakhir ini tidak melaut. Selain 
masa paceklik, juga karena tidak berani melawan ombak yang besar.

      Melihat keganasan ombak, nelayan di pantai selatan Purworejo memang harus 
memiliki nyali yang besar. Sebab, risiko hantaman ombak yang menyebabkan perahu 
terguling relatif sering, meski cara melaut mereka sudah melalui strategi.

      Sebagai gambaran, untuk menurunkan perahu ke laut lepas para nelayan 
setempat harus menunggu sampai ombaknya mereda. Selama menunggu ombak mereda, 
mesin kapal sudah dihidupkan. Ketika ombak mengecil, perahu harus cepat-cepat 
didorong ke laut dengan dibantu mesin.

      Kalau pada saat star seperti itu datang ombak, dipastikan perahu bakal 
terempas. Tak ayal para nelayan juga akan terlempar. ''Nelayan mriki sampun 
biasa kados ngoten niku (Nelayan di sini sudah terbiasa atas kejadian seperti 
itu),'' tutur seorang nelayan Pantai Jatimalang. 

      Kesedihan juga dirasakan nelayan Pekalongan.

      Solichin (40) bersama rekan-rekan nelayan yang lain hanya duduk mengobrol 
sepanjang hari.

      ''Kami tidak berani ke rumah, karena malu terhadap keluarga. Kami tidak 
memiliki uang untuk menghidupi anak dan istri,'' kata Solichin.

      Kini dia tidak lagi melaut. Sebab, tidak punya modal. Sekali melaut harus 
menyediakan Rp 600.000. Sebagian besar perbekalan itu untuk membeli solar 
selama 2-3 hari.

      Sebelum ada kenaikan harga solar, dia hanya cukup bermodalkan Rp 300.000. 
Ketika itu hasil lelang ikan tangkapan bisa mencapai Rp 450.000, sehingga masih 
sisa Rp 150.000 untuk tiga nelayan dalam satu kapal. 

      Kini hal itu tidak mungkin lagi. Dengan cara apa pun, kalau harga solar 
Rp 4.300 per liter, nelayan jelas akan mati kelaparan. 

      Menurut dia, kalaupun pemerintah kini membantu keluarga miskin Rp 
100.000, termasuk nelayan miskin, bantuan itu tetap tidak bisa memenuhi 
kebutuhan keluarganya. Padahal, yang namanya nelayan, sepanjang masa hidupnya 
hanya bisa bekerja di laut. Mereka tidak memiliki pekerjaan selain nelayan. 
Karena itu, kenaikan harga BBM jelas akan menciptakan pengangguran yang 
jumlahnya ribuan orang di Pekalongan.

      Pemilik kapal juga mengalami pukulan berat. ''Kenaikan BBM ini merupakan 
pukulan terberat dan menjadi gong terakhir yang bisa memusnahkan kegiatan 
perikanan di Pekalongan,'' kata H Ani Martopo, pemilik kapal Bina Muda 
Pekalongan.

      Sebab, lanjut dia, sejak kenaikan BBM 1 Oktober dan kebijaksanaan kapal 
di atas 30 gross tone wajib menggunakan solar industri yang harganya Rp 6.000, 
jelas-jelas tidak memungkinkan kegiatan perikanan di Pelabuhan Perikanan 
Nusantara Pekalongan bisa berlangsung.

      Sebab, dengan harga Rp 4.300 per liter saja, kapal-kapal tidak mau melaut 
karena rugi. Apalagi dibebani harga solar Rp 6.000 (harga industri). Karena 
itu, jangan heran jika kapal perikanan akan dibiarkan merana di pelabuhan atau 
di kolam miliknya.(Eko Priyono,Trias Purwadi-14t) 
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Click here to rescue a little child from a life of poverty.
http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke