http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/11/nas07.htm
Pilu Nelayan akibat Kenaikan Harga BBM (1) Frustrasi, Pilih Bakar Diri BERSAMA KAKEK: Fatmawati, bocah berusia 3 tahun 5 bulan terlihat memelas. Dia ditemani kakeknya di rumah bambu milik orang tuanya di Desa Kedungmalang RT 3 RW 1, Kecamatan Kedung, Jepara. Ibu bocah itu meninggal dengan cara membakar diri awal September lalu, gara-gara kondisi ekonomi keluarga yang semakin memburuk akibat kelangkaan dan kenaikan harga BBM. (57m) SM/Muhammadun Sanomae Langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), perlahan namun pasti ''membunuh'' jutaan nelayan di berbagai daerah. Defisit penghasilan dibanding dengan biaya operasional yang tinggi, menjadi jeritan utama mereka. Bahkan di Jepara, kenaikan harga BBM telah membawa petaka bagi keluarga nelayan. Salah satu anggota keluarga nekat membakar diri karena rasa frustrasi yang akut. Berikut laporan wartawan Suara Merdeka yang diturunkan mulai hari ini. SPONTAN Sumulyadi (65) tidak kuasa menahan air mata saat menceritakan kisah menantunya yang meninggal dunia pertengahan September 2005 lalu. Siti Aisyah (27) warga RT 3 RW 1 Desa Kedungmalang, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara meninggal dunia setelah membakar diri, awal September lalu. Sementara itu, sekujur tubuh Zubaidi (31), suami Aisyah, ikut terbakar ketika berusaha menyelamatkan istrinya. Hingga Senin (10/10), Zubaidi dirawat di rumah saudara di Dukuh Babalan, Desa Kalirejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Sumulyadi tidak bisa menjelaskan secara rinci kejadian nahas yang menimpa keluarganya itu. Najib (14), cucu Sumulyadi menceritakan kejadian yang tidak banyak tercium publik, selain di desa itu. Sebab, kejadian itu baru mencuat saat ratusan nelayan Desa Kedungmalang melakukan aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM di gedung DPRD Jepara, Jumat (7/10) lalu. Kepada Suara Merdeka, Najib bertutur bahwa awal September lalu terjadi kelangkaan minyak tanah luar biasa di sekitar kawasan desa yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan. Sebagaimana istri nelayan yang lain, siang itu Aisyah ''ditugaskan'' suaminya (Zubaidi) antre minyak tanah untuk kebutuhan melaut esok hari. Karena langka, dia tidak memperoleh minyak tanah setetes pun dari pedagang pangkalan maupun eceran. Petang hari, Zubaidi baru saja pulang melaut dengan menggunakan perahu sopek kecil miliknya. ''Saat itu, dia (Zubaidi) tidak memperoleh hasil apa-apa, kecuali rugi,'' kata Najib. Tidak ada tetangga yang tahu kejadian itu karena semua berangkat pengajian. Entah apa isi dialog antara Zubaidi dan istri. Pasangan itu bertengkar atas kesulitan yang terjadi. Menurut Najib mengutip penuturan Zubaidi, saat itu Aisayah yang pikirannya sudah "sumpek", menyiram tubuhnya dengan minyak tanah sisa kompor masak. Wanita itu langsung membakar diri, sedangkan suami berusaha memadamkan kobaran api yang membakar pakaian istrinya. Namun apa mau dikata, pasangan itu sama-sama terbakar. Warga pun langsung membawa Aisyah yang sekujur tubuhnya terbakar, ke Rumah Sakit Islam Kudus. Karena parah, wanita itu dirujuk ke Rumah Sakit Kariadi Semarang. Namun setelah dua pekan menjalani perawatan, Aisyah meninggal dunia. Ia meninggalkan putrinya, Fatmawati yang masih 3 tahun 5 bulan. Sementara itu, Zubaidi yang beberapa hari juga dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Kudus -karena tidak punya uang untuk pengobatan-, dipindah ke rumah saudaranya di Dukuh Babalan Kecamatan Undaan Kudus. Saat ini, dia memulihkan diri sambil memperoleh perawatan dari tenaga kesehatan desa. Saat ini, Fatmawati tinggal bersama kakeknya, Sumulyadi di Desa Kedungmalang. Lelaki tua itu menempati sebuah rumah bambu yang bersebelahan dengan rumah bambu milik Zubaidi. Sangat memprihatinkan kondisi rumah Zubaidi. Selain sempit, rumah itu hanya berlantaikan tanah dan berdinding bambu. Keluarga itu hanya memiliki perabot dua kursi plastik, satu meja tua, dan sebuah dipan kayu tak beralas. Pintu rumah itu pun hanya jeruji bagai penjara tetapi terbuat dari bambu. ''Perahu dan mesin milik Zubaidi sudah terjual. Uangnya habis untuk biaya perawatan di rumah sakit. Bahkan, 18 hari perawatan di Desa Babalan belum terbayar,'' tutur Sumulyadi yang terus tersedu-sedu. Perahu dan mesin itu dijual Rp 5,6 juta. Padahal perawatan menghabiskan dana Rp 7.600.000. Sumulyadi terpaksa menjual kayu-kayu seadanya untuk menutup biaya pengobatan. ''Saat dirawat di RSI Kudus, anak dan menantu, termasuk keluarga kami yang menunggui diberi makan orang lain,'' tuturnya terbata-bata. Sumulyadi yang tidak punya apa-apa lagi itu semakin menangis karena tidak terdaftar sebagai penerima sumbangan langsung tunai (SLT) program kompensasi pengurangan subsidi (PKPS) BBM. ''Saya itu tidak punya apa-apa. Pekerjaan tidak punya. Dulu pernah menyewa tambak, tetapi sekarang tidak kuat bayar sewa. Padahal anak saya sakit dan tak bisa melaut,'' katanya. Sumulyadi berkisah seperti itu disaksikan puluhan nelayan dan istri di Desa Kedungmalang. Bagi mereka, itu merupakan curahan hati paling memilukan di antara sekian banyak keluhan para nelayan setempat. Sehari Makan, Sehari Tidak Simaklah seperti apa yang dituturkan Retinah, warga Desa Kedungmalang. Karena suami mengalami defisit saat melaut, keluarga rela sehari makan, sehari tidak. ''Kami kuat-kuatkan menghadapi kondisi sulit ini, meski terkadang kami harus menangis saat malam hari,'' katanya. Ia lantas menunjukkan puluhan anak perempuan dan para istri nelayan yang tidak lagi mengenakan anting, gelang, cincin atau perhiasan lain. Sebagian besar penduduk Kecamatan Kedung memang bekerja sebagai nelayan. Sebagaimana temperamen masyarakat pesisir yang lain, mereka tidak segan-segan berteriak dan bertindak berani untuk sekadar melawan nasib. Lihatlah gelombang protes nelayan Desa Karangaji yang menyandera mobil tangki Pertamina, disusul tiga hari kemudian unjuk rasa ratusan nelayan Desa Kedungmalang ke DPRD, sebagai puncak kegundahan mereka. ''Langkah pemerintah menaikkan harga BBM benar-benar membunuh kami secara perlahan. Ekonomi kami jadi terhenti, kondisi psikis kami juga sudah sangat lelah. Kami hidup di tengah-tengah keluarga yang butuh makan dan anak-anak yang butuh sekolah. Kami heran masih banyak pejabat yang tertawa sementara masyarakatnya tak berdaya,''tutur Abdul Wahid, nelayan dari RT 4 RW 1 Desa Kedungmalang. Dia mengungkapkan, ribuan nelayan berhenti melaut karena kondisi terakhir sangat menyulitkan. (Muhammadun Sanomae-41m) ++++ http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/12/nas06.htm Pilu Nelayan akibat Kenaikan Harga BBM (2) Pukulan Telak di Musim Paceklik NELAYAN MENGANGGUR: Sejumlah nelayan di Pantai Pasir Kebumen tak dapat melaut akibat melambungnya harga solar. Mereka lebih banyak menganggur dan menepikan perahu-perahunya di pantai. Selain tingginya harga BBM, mereka juga takut melaut karena gelombang besar pada musim timur. (57v) - SM/Komper Wardopo BAGI para nelayan di Pantai Selatan Kebumen, kenaikan harga BBM ibarat pukulan beruntun yang kian menyengsarakan. Sebab, sekitar lima bulan masa paceklik belum berakhir, kini harus menghadapi tingginya harga bensin. Berbeda dengan nelayan tetangganya di Cilacap atau pantura, para nelayan Kebumen adalah nelayan tradisional. Karena keterbatasan perahu dan alat tangkap, mereka hanya berani melaut setengah hari atau istilah mentereng kelautan disebut one day fishing Dari tiga lokasi tempat pelelangan ikan (TPI) di Pantai Pedalen Desa Argopeni, Pantai Karangduwur, dan Pantai Pasir, semuanya di Kecamatan Ayah, Kebumen umumnya nelayan masih memakai perahu kecil jenis fiber glass yang hanya mampu dinaiki dua sampai tiga nelayan. Pukulan telak pertama, dirasakan para nelayan sejak Juli lalu. Sebab, saat itu memasuki angin musim timur. Angin di Samudera Indonesia sangat besar, berkorelasi dengan gelombang pasang yang ganas dan angin laut tak bersahabat tadi. Banyak perahu rusak akibat kecelakaan. Ribuan nelayan praktis menganggur selama berbulan-bulan. Bahkan, belum lama ini belasan perahu yang sandar beserta jaringnya di Pantai Karangduwur dan Pasir, rusak parah. Menurut Kepala Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan (Peperla) Kebumen hal itu akibat hantaman badai dan kerugian nelayan diperkirakan sampai Rp 140 juta. Hantaman berikutnya, semestinya pada awal Oktober ini sudah mulai memasuki masa panen semua jenis ikan. Baik ikan tengiri, bawal, cucut, layur, udang jerbung maupun lobster sampai ubur-ubur. N amun karena musim kemarau yang pendek, sedangkan hujan sering turun, ikan-ikan beserta ubur-ubur itu pun seperti menghilang. Belum juga masa paceklik usai, sejak awal Oktober ini harga bensin tiba-tiba naik 100% lebih. Harap maklum, nelayan pantai Ayah itu, sekitar 44 kilometer barat daya Kebumen, rata-rata masih memakai mesin tempel 15 PK dengan bahan bakar bensin campur. Jika harga eceran resmi bensin Rp 4.500/liter, di tangan nelayan sudah mencapai Rp 5.000/liter. ''Padahal, kami memakai bensin campur, jadi harga satu liter bahan bakar sudah Rp 6.000,'' keluh Siswanto (54), nelayan Desa Pasir, Kecamatan Ayah. Ia yang hari itu menerjunkan sebuah perahu dengan modal Rp 215.000. Perhitungannya, bekal bahan bakar untuk 40 liter, ditambah uang makan Rp 10.000. Berhubung masih masa pacelik, hasil tangkapan dia setelah dijual di TPI, hanya tinggal sisa uang Rp 19.000 bersih. ''Tolong sampaikan Pak SBY, anak saya tiga SLTA semua. Bagaimana bisa menutup makan dan ongkos sekolah? ''ucap Siswanto sambil leyeh-leyeh di perahunya. Bejo (25), buruh nelayan yang memiliki dua anak itu jauh lebih mengenaskan nasibnya. Berhubung tak punya modal dan risiko melaut sangat tinggi, sejak beberapa bulan ini ia harus ganti profesi. Pekerjaan apa saja dia lakoni, asal bisa mendapat uang. ''Saya mau jadi buruh cangkul atau buruh apa saja. Yang penting bisa untuk makan,'' tandas Bejo disertai anak perempuannya berumur sekitar delapan tahun. Dia setiap hari tetap ke pantai, namun hanya ngobrol sambil menunggu ada orang menawari pekerjaan serabutan. Slamet, buruh menarik atau menepikan perahu beserta beberapa temannya dari Desa Banjarharjo Kecamatan Ayah pun, bernasib serupa. Sejak ratusan kapal di Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Pantai Pasir tak bisa melaut, praktis dia jadi sering menganggur. Sehari paling menepikan dua sampai tiga kapal. Hasil tangkapan ikan pun relatif kecil hanya lima sampai 10 kilogram. Adapun posisi mereka adalah buruh terbawah, sebagai tukang mengangkut perahu dan ikan dari tepi laut ke bibir pantai dan TPI. Ketika ditanya soal kompensasi BBM, warga nelayan miskin itu umumnya tak tahu menahu. Padahal, sejak hari itu (Selasa,11/10), warga miskin di Kebumen yang lain telah berbondong-bondong menerima bantuan langsung tunai Rp 300.000 untuk tiga bulan. Tak heran wajah-wajah hitam, kasar dan frustasi, terlihat dari para nelayan Kebumen. Bahkan, saat ditemui di kapal yang bersandar ataupun di lokasi pelelangan, para nelayan enggan diajak bicara. Apalagi jika diungkit soal tingginya harga BBM, mereka menjawab ketus dan sekenanya. Kepala PPI Pasir Darsono mengakui, sejak masa paceklik akibat angin musim timur, para nelayan yang melaut turun drastis. Biasanya, di PPI Pasir setiap hari ada ratusan nelayan dan kapal dapat melaut. Kini, sehari maksimal hanya sepuluh perahu. Itu pun hasil tangkapan mereka sangat kecil. Jumlah nelayan di PPI Pasir sesuai data 715 orang. Jumlah juragan 261 orang dan pandega atau nelayan sekitar 454 orang. Sementara itu, jumlah kapal motor ada 315, gantaran sekitar 306 buah. Kondisi hampir serupa terjadi di TPI Pantai Karangduwur yang dihuni sekitar 80 nelayan, serta TPI Pantai Pedalen Argopeni, yang dihuni sekitar 300 nelayan. Umumnya para nelayan saat musim angin timur ini kesulitan masuk ke laut karena gelombang besar, sedangkan kapal mereka amat kecil. Padahal, meski masa paceklik, sekarang harga ikan laut Kebumen relatif stabil. Darsono menyebutkan, harga ikan tengiri Rp 22.500 per kilogram, dari semula Rp 18.000. Ikan bawal berkisar Rp 40.000/kilogram, cucut Rp 9.000/kilogram dan layur paling murah laku Rp 6.000/kilogram. Kepala Dinas Peperla Kebumen dokter hewan Jatmoko menyatakan, ada kekhasan nelayan tradisional Kebumen. Sebab, selain menekuni sebagai nelayan, sebagian dari mereka sambilan sebagai peternak, petani tadah hujan, dan pembuat gula merah. Karena itu, sebagian keluarga nelayan tersebut selama ini telah diberi bantuan ternak sapi. Di kala paceklik, para nelayan ada yang beralih menjadi peternak dan mencari pakan ke hutan. Hasilnya memang tak bisa diambil sekejap. Namun, dalam beberapa tahun, ternaknya bisa dijual dengan hasil lumayan. Mengenai bantuan kompensasi BBM bagi nelayan, Jatmiko mengakui, sampai saat ini para nelayan Kebumen belum menerima. Pihaknya telah mengusulkan agar para nelayan juga mendapat bantuan kompensasi BBM. Apalagi harga BBM melonjak tajam. Bagi nelayan miskin dan buruh nelayan, semestinya juga layak mendapat kartu kompensasi BBM. Sayangnya, ratusan nelayan di Pantai Pasir Kecamatan Ayah, saat ditanya rata-rata menjawab belum ada yang menerima kartu untuk mengambil bantuan uang tunai itu. Ke Pegadaian Tak terkecuali ribuan nelayan Cilacap juga menjerit. Mereka menjerit karena kesulitan mendapatkan bensin atau solar. Untuk mendapat bahan bakar, mereka harus antre berjam-jam. Sebab, pengambilan BBM untuk kalangan nelayan dilakukan secara bergiliran. Saat itu, para nelayan tidak mungkin membeli BBM di SPBU karena ada larangan membeli bensin atau solar dengan jerigen. Larangan tersebut dikeluarkan Pertamina. Para pengawas SPBU tidak berani melayani pembelian dengan jerigen karena takut mendapatkan sanksi dari Pertamina. Penderitaan nelayan ternyata tidak berhenti sampai di sini. Begitu pemerintah per 1 Oktober 2005 menaikan harga BBM, nelayan pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menangis menghadapi kenyataan bahwa hidup ini ternyata semakin susah. Menurut Rosikin, kenaikan harga BBM cukup mencekik kehidupan nelayan. Sebab, kenaikan harga BBM selalu berimbas pada kenaikan harga sembako. Itu berarti, biaya perbekalan yang harus dikeluarkan nelayan setiap akan berangkat melaut menjadi membengkak 200 %. Tokoh nelayan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC) Simon Domingus mengatakan, keterpurukan nelayan akibat kenaikan harga BBM semakin diperparah dengan adanya peraturan pemerintah yang melarang kapal ikan dengan bobot mati di atas 30 gross ton (GT) menggunakan minyak solar. Itu berarti kapal tersebut harus menggunakan solar untuk industri. Padahal pemerintah juga telah menaikan harga BBM industri. Ketua KUD Mino Saroyo Rosikin SSos mengatakan, nelayan selalu berada pada posisi terjepit. Terutama pada saat menjelang Lebaran nanti, di mana kebutuhan semakin meningkat dan harga-harga barang kebutuhan semakin mahal. Untuk mencukupi kebutuhan untuk Lebaran, para nelayan biasanya akan beramai-ramai datang ke kantor Pegadaian untuk menggadaikan barang berharga atau perabotan yang masih bisa digadaikan. Seperti TV, kulkas, perhiasan dan perabotan lainnya. (Komper Wardopo,Agus Sukaryanto-14v) ++++ http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/13/nas06.htm Pilu Nelayan akibat Kenaikan Harga BBM (3-Habis) Hanya Dua-Tiga Perahu yang Melaut SM/Eko Priyono MEMILIH LIBUR: Banyak nelayan Pantai Jatimalang, Purwodadi, Purworejo memilih libur sejak kenaikan harga BBM. Beberapa nelayan Jatimalang melaut untuk melayani pembelian ikan para wisatawan. (30j) KELUHAN bensin mahal juga dirasakan para nelayan Pantai Jatimalang, Purwodadi, Purworejo. Akibatnya, rata-rata setiap hari hanya dua sampai tiga perahu yang masih mau melaut. Kondisi seperti itu, menurut para nelayan setempat, sekadar untuk memberikan layanan bagi wisatawan di pantai tersebut. Biasanya pengunjung pantai membeli ikan dari nelayan dan minta dibakarkan sekalian. Lalu ikan bakar itu dinikmati di warung yang tersedia di pantai. Nelayan Karib (35) menyatakan, di pantai itu ada sekitar 60 nelayan dengan 20 perahu mesin. Sebelum kenaikan harga BBM, dalam setiap hari rata-rata delapan sampai sepuluh perahu yang melaut. Tetapi sejak harga bensin naik kini setiap hari rata-rata hanya dua sampai tiga perahu yang mencari ikan. Itu pun lingkupnya hanya di pinggir pantai, dengan pertimbangan untuk menghemat bahan bakar. ''Dulu sebelum harga bensin naik, nelayan sini mencari ikan sampai Congot dan Keburuhan. Tetapi sekarang hanya di sekitar sini,'' tuturnya. Menurut Karib, sebetulnya saat ini sudah datang musim ikan. Jenis ikan seperti tengiri, mamo, hiu martil, serta hiu cucut mulai banyak. Tetapi akibat keterbatasan dana akhirnya hanya sebagian nelayan yang tetap melaut. Dia pun masih sering mencari ikan dengan pertimbangan daripada wisatawan di pantai itu kecele. Sebab, biasanya pengunjung di pantai itu membeli ikan hasil tangkapan nelayan. ''Daripada pengunjungnya kecewa karena tidak ada ikan, saya tetap melaut,'' kata nelayan yang juga membuka warung makan itu, Rabu kemarin. Berbeda dari pendapat beberapa nelayan lain. Sebagian besar nelayan di pantai itu memilih beristirahat di rumah lantaran bensin mahal. ''Bensin mahal ya lebih baik menganggur. Sebab, kalau tetap kerja, hasilnya pas-pasan saja,'' tutur Wardi. Dia menyebutkan, nelayan membeli bensin eceran dari Desa Gesing atau Nampurejo, keduanya juga wilayah Kecamatan Purwodadi. Harga bensin eceran di sana Rp 5.000 per liter. Seingat dia, semula dengan modal Rp 50.000 sudah bisa melaut sampai ke pantai desa lain, tetapi saat ini sudah tidak memungkinkan. ''Dulu dengan modal bensin Rp 50.000 bisa sampai Pantai Keburuhan dan Congot. Sekarang bensin mahal, uang sebesar itu dapat bensin tidak seberapa, belum termasuk untuk membeli oli,'' ujar Kasman. Padahal, untuk menangkap ikan berharga jual mahal seperti bawal dan udang lopster tidak cukup di pinggiran laut. Biasanya kalau musim ikan bawal, dalam setiap melaut sebuah kapal dapat meraup hasil sampai Rp 6 juta. Itu karena harga jualnya yang kelas A bisa laku Rp 60.000/kg, kelas B Rp 45.000, dan kelas C Rp 25.000/kg. Lebih menguntungkan lagi kalau nelayan mendapat udang lopster. Harga setiap kilogram udang lopster mutiara Rp 125.000/kg, sedangkan super biasa harga jualnya Rp 100.000/kg. Dengan catatan udang berukuran besar tersebut masih hidup dan utuh. Sementara itu, suasana di Pantai Keburuhan, Kecamatan Ngombol, tampak sepi. Sebanyak 13 perahu di pantai itu tampak di daratan. Diperoleh keterangan, nelayan di pantai itu sudah beberapa bulan terakhir ini tidak melaut. Selain masa paceklik, juga karena tidak berani melawan ombak yang besar. Melihat keganasan ombak, nelayan di pantai selatan Purworejo memang harus memiliki nyali yang besar. Sebab, risiko hantaman ombak yang menyebabkan perahu terguling relatif sering, meski cara melaut mereka sudah melalui strategi. Sebagai gambaran, untuk menurunkan perahu ke laut lepas para nelayan setempat harus menunggu sampai ombaknya mereda. Selama menunggu ombak mereda, mesin kapal sudah dihidupkan. Ketika ombak mengecil, perahu harus cepat-cepat didorong ke laut dengan dibantu mesin. Kalau pada saat star seperti itu datang ombak, dipastikan perahu bakal terempas. Tak ayal para nelayan juga akan terlempar. ''Nelayan mriki sampun biasa kados ngoten niku (Nelayan di sini sudah terbiasa atas kejadian seperti itu),'' tutur seorang nelayan Pantai Jatimalang. Kesedihan juga dirasakan nelayan Pekalongan. Solichin (40) bersama rekan-rekan nelayan yang lain hanya duduk mengobrol sepanjang hari. ''Kami tidak berani ke rumah, karena malu terhadap keluarga. Kami tidak memiliki uang untuk menghidupi anak dan istri,'' kata Solichin. Kini dia tidak lagi melaut. Sebab, tidak punya modal. Sekali melaut harus menyediakan Rp 600.000. Sebagian besar perbekalan itu untuk membeli solar selama 2-3 hari. Sebelum ada kenaikan harga solar, dia hanya cukup bermodalkan Rp 300.000. Ketika itu hasil lelang ikan tangkapan bisa mencapai Rp 450.000, sehingga masih sisa Rp 150.000 untuk tiga nelayan dalam satu kapal. Kini hal itu tidak mungkin lagi. Dengan cara apa pun, kalau harga solar Rp 4.300 per liter, nelayan jelas akan mati kelaparan. Menurut dia, kalaupun pemerintah kini membantu keluarga miskin Rp 100.000, termasuk nelayan miskin, bantuan itu tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Padahal, yang namanya nelayan, sepanjang masa hidupnya hanya bisa bekerja di laut. Mereka tidak memiliki pekerjaan selain nelayan. Karena itu, kenaikan harga BBM jelas akan menciptakan pengangguran yang jumlahnya ribuan orang di Pekalongan. Pemilik kapal juga mengalami pukulan berat. ''Kenaikan BBM ini merupakan pukulan terberat dan menjadi gong terakhir yang bisa memusnahkan kegiatan perikanan di Pekalongan,'' kata H Ani Martopo, pemilik kapal Bina Muda Pekalongan. Sebab, lanjut dia, sejak kenaikan BBM 1 Oktober dan kebijaksanaan kapal di atas 30 gross tone wajib menggunakan solar industri yang harganya Rp 6.000, jelas-jelas tidak memungkinkan kegiatan perikanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan bisa berlangsung. Sebab, dengan harga Rp 4.300 per liter saja, kapal-kapal tidak mau melaut karena rugi. Apalagi dibebani harga solar Rp 6.000 (harga industri). Karena itu, jangan heran jika kapal perikanan akan dibiarkan merana di pelabuhan atau di kolam miliknya.(Eko Priyono,Trias Purwadi-14t) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Click here to rescue a little child from a life of poverty. http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/