Catatan Sastra Seorang Awam
MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 12. Sejauh ini, aku masih berbicara tentang masalah pandangan dan sikap Kathirina sebagai anak manusia dan penyair, dua hal yang kukira tidak terpisahkan. Apalagi setelah mencermati "puisi-puisi November"nya, barangkali, berangkat dari pengalaman pribadinya yang pahit-getir Kathirina banyak merenungi masalah manusia dan kemanusiaan , berusaha memahami arti hidup dan manusia secara umum. Biasanya dalam keadaan begini tidak sedikit orang yang dengan semena-mena memanfaatkan kepahit-geritan orang lain untuk kepentingan diri sendiri dan yang bersangkutan bisa dieksploatasi saat yang terkait menempuh jalan eskapisme atau jalan pintas. Membandingkan puisi-puisi Kathirina sebelum "sanjak-sanjak November" dan sanjak-"sanjak November"-nya, ada kudapatkan usaha penyair sekali pun tertatih-tatih untuk menyimpulkan pengalamannya. Keadaan ini memberikan kepadaku tambahan bukti bahwa melakukan kesalahan adalah suatu hak asal ketika menyadari adanya kekeliruan, yang bersangkutan sanggup mengkoreksinya. Pengalaman-pengalaman hidup baik yang manis dan getir jika bisa bisa disimpulkan akan membuat seorang anak manusia dewasa dan menemukan jalan baru yang mantap atau lebih mantap. Inilah yang kunamakan sebagai proses perjalanan pencarian nilai seorang penyair dan langsung mempengaruhi karya-karyanya. Dalam perjalanan pencarian nilai ini seorang penyair akan sangat banyak terbantu oleh jenis karya-karya sastrawan lain yang juga jatuh-bangun menemukan dirinya.Karya-karya para sastrawan lain adalah proses penncarian diri dan nilai. Dari karya-karya tersebut, pembaca selain menemukan peliknya suatu perjalanan nilai, pembaca juga akan mendapatkan acuan nilai sehingga hidup tidak sebatas "for bread only", atau hidup asal hidup. Di samping itu, pembaca akan mendapatkan pelajaran secara langsung tentang tekhnik pengungkapan diri. Membaca adalah membanding. Dengan membanding penulis bisa meningkatkan dirinya. Jika kita berbicara tentang kepenyairan maka di sini kita memasuki tekhnik kepenyairan. Tekhnik pengungkapan diri, jika dilihat dari segi ilmu komunikasi, maka ia tidak lain bagaimana pengungkapan diri itu bisa komunikatif. Dan karena ia seorang penyair, maka masalah yang muncul adalah bagaimana tekhnik pengungkapan diri itu bisa puitis, yang jika menggunakan istilah pelukis Amrus Natalsja, memperhatikan unsur-unsur keindahan -- ciri dari kesenian!. Kuantitas dan kualitas bacaan tanpa batas, dalam hal ini akan banyak membantu sang penyair baik dari segi pemikiran maupun dari segi tekhnis. Apalagi aku tidak percaya penyair bisa lahir dan berkembang secara instingtif dengan mengabaikan belajar di mana membanding merupakan bagian dari pemelajaran. Aku tentu saja bukan penganut pandangan bahwa bakat menentukan kelangsungan berkembangnya seseorang sebagai penyair. Yang banyak menentukan adalah bagaimana penyair menjawab apa-siapakah menjadi penyair itu. Di Indonesia, juga di dunia kepenyairan Eropa Barat, ada sejenis puisi yang disebut "puisi gelap" artinya makin ia tidak dipahami pembaca, makin puisi itu dipandang sebagai bermutu tinggi. Tidak komunikatif pun dipandang tidak menjadi soal sekali pun sejarah hubungan puisi dengan kehidupan manusia, sejak awal lahirnya puisi tidak memperkuat alasan ini. Puisi gelap dan tidak komunikatif begini oleh penyair terkemuka Perancis abad ke-20, Paul Elouard, dinamakan sebagai "puisi para pangeran" atau "puisi anak raja", yang merasa diri mereka sebagai lapisan istimewa masyarakat [nomenklatura], lapisan yang merasa tidak perlu mengerti mayoritas masyarakat tapi menuntut untuk dipahami. Lapisan "anak raja" atau "para pangeran" ini, umumnya tidak mengenal kehidupan nyata serta permasalahan-permasalahannya karena mereka hidup di dunia tersendiri yang disebut "menara gading" [ivory tower]. Kathirinia yang berasal dari lapisan masyarakat bawah dan tidak lupa pada asalnya, bukanlah penyair "anak raja" atau yang merasa diri sebagai para "pangeran", hal ini terbukti dari cara pengungkapan diri penyair yang langsung dan gampang dimengerti. Kathirina bukanlah pengikut aliran puisi-puisi gelap. Jika mencermati puisi-puisinya Kathirina baik yang terdapat di website "kathytati.tripod.com/bungakasih dan puisicintaku serta "puisi-puisi November"nya, ia bukanlah termasuk pengikut aliran "puisi-gelap" .Kathirina berbicara langsung dan sederhana seperti apa yang ada di hatinya sehingga sangat komunikatif. Misal, dalam puisinya berikut: BERAPA BANYAK LAGI. Aku benci peperangan! Aku sudah tidak tahan melihat darah bertumpahan Tubuh jatuh bergelimpangan angkara peluru kejam Aku sudah puas melihat kemusnahan Aku benci kekejaman ini! Aku sudah tidak tega lagi. Melihat anak anak muda keperbatasan Kekasih kekasih hatiku ini Harus di hantar ke barisan hadapan Bertarung hidup bergadai nyawa Antara pulang sebagai pahlawan tanpa nyawa Atau pulang bersama duka dan penderitaan. Aku benci peperangan ini! Berapa banyak lagi harus terkorban Berapa banyak lagi air mata harus mengalir Berapa banyak lagi jiwa jiwa harus terus menderita Kosovo! Afghanistan! Iraq! Pasti peperangan akan terus berkembang Apakah demokrasi harus diperolehi dari peperangan! Aku benci peperangan! Aku simpati pada mereka yang mengiringi perpisahan Melihat kekasih hati mereka berangkat ke perbatasan Kekasih hati yang bersumpah untuk berbakti Biar berputih tulang Jangan pulang berputih mata Harus berjuang hingga keakhir nyawa Demi negaranya yang dikasihi. Namun kekasih kekasih hati ini Bukan mati memperjuangkan hak negara sendiri Tetapi harus gugur di tanah orang Mempertahankan sesuaatu yang tidak pasti Satu visi yang samar! Berapa banyak lagi yang harus gugur Seperti mereka mereka ini? Kekasih kekasih hati.. Yang perlu melihat sinar mentari terus bercahaya Memberi keceriaan dalam bahagia mereka Berapa banyak yang harus pergi lagi Bergadai nyawa. Antara pulang sebagai pahlawan yang terkorban Atau pulang bersama duka berjuta penderitaan. Aku benci peperangan! Aku benci pada ketamakan kuasa! Aku benci pada mereka yang membuatkan kekasih kekasih hatiku terkorban! Aku benci pada mereka yang membuat ibu bapa kehilangan anak Anak kehilangan ibu bapa! Isteri kehilangan suami! Atau mungkin suami kehilangan isteri... Yang harus tumpas di tanah air orang! Aku benci pada keegoan kuasa besar! Yang tidak memperdulikan hak hak kekasih kekasih hatiku! Kathirina Susanna November 2005 [Sumber:milis matabambu & watan-sabah, 25 November 2005] Dari masalah memperhitungkan komunikatif tidaknya sebuah puisi, aku kira dalam soal ini terdapat masalah pendirian yaitu "untuk siapa dan untuk apa seorang penyair menulis". Untuk orang banyak atau untuk diri sendiri, untuk sekedar mengungkapkan diri? Jika untuk diri sendiri saja , memang penyair tidak perlu memperhitungkan masalah komunikatif tidaknya karya yang lahir dari penanya. Dengan pendirian begini, si penyair tidak usah risau dengan masalah tanggungjawab dan bisa berasyik-asyik dengan diri sendiri dan hanya berindah-indah [sekali pun masalah indah dan tidak indah bisa merupakan tema diskusi/debat tersendiri!]. Berindah-indah, barangkali berbeda dari usaha pembinaan bahasa yang dari para penyair bisa diharapkan sumbangan-sumbangan berarti. Tapi tentu saja pembinaan bahasa tidak sama dengan kesukaan berindah-indah dalam berpuisi apalagi merusak kadiah-kaidah umum suatu bahasa. Bahwa bahasa itu berkembang, tidak juga aku sangkal. Tapi perkembangan dan perkembangan ada macam-macam. Ada perkembangan liar dan ada perkembangan sehat. Barangkali sumbangan yang diharapkan dari para sastrawan , termasuk penyair adalah bagaimana menumbuhkembangkan bahasa secara sehat dan bukan menumbuhkan atau mencoba memasukkan eksentrisisme ke dalam bahasa. Eksentrisisme, kukira bukan sesuatu yang sehat bagi pengembangan bahasa. Kata-kata ini bersifat umum dan tidak aku tujukan pada Kathirina. Kata-kata ini kutulis karena teringat akan ada gejala-gejala yang kulihat di Indonesia bahwa bahasa nasional seperti kurang diindahkan termasuk oleh yang mengaku dan memproklamirkan diri sastrawan. Dengan kata-kata ini yang terutama ingin kukatakan bahwa sesungguhnya para sastrawan, termasuk penyair, kukira mempunyai tanggungjawab sastra, termasuk tanggungjawab bahasa. Apalagi jika kita sepakat bahwa alat utama yang digunakan oleh sastrawan, termasuk penyair adalah bahasa. Apabila sastrawan menggunakan bahasa yang tidak komunikatif, maka sama artinya ia menggunakan jargon [l'argot], bahasa yang hanya dimengerti oleh sekelompok sangat kecil. Hal begini pun menyangkut soal pendirian dan sikap: menulis untuk apa dan untuk siapa? Jargonisme, kukira bisa berdampak kian mengucilkan sastra di pulau asing , berbeda dengan keadaan lahirnya sastra di berbagai pulau Indonesia dan daerah di dunia. Jargonisme membuat sastra jadi elitis dan tidak dijadikan bagian dari kehidupan. Dengan mengungkapkan hal ini , aku sedang berbicara tentang sastra sebagai alat komunikasi, alat ekspresi dan komunikasi. Patutkah sastra dijadikan alat ekpresi komunikatif? Kalau tidak mengapa tidak? Karena kita berbicara tentang sastra tentu saja unsur-unsur sastra tidak luput dan tidak bisa dilepaskan kalau masih mau disebut sebagai karya sastra. Memperhatikan puisi-puisi Kathirina sebagai teks, agaknya penyair memperhitungkan benar soal komunikatif tidaknya karya-karyanya. Malang, aku belum membaca cerpen-cerpen Kathirina seperti "Menanti Mau Mengamit Pulang" yang pernah mendapat hadiah dari Ikatan Penulis Sabah [?], padahal menurut keterangan Ony Basalin, seorang sastrawan Sabah, teman dekat Hasyuda Abadi , orang pertama IPS sekarang, kekuatan utama Kathirina justru terdapat pada cerpen. Dengan memperdulikan soal komunikatif tidaknya suatu karya, kukira, penulis mengindahkan masalah yang disebut oleh pelukis Indonesia dari Sanggar Bumi Tarung, , Amrus Natalsja tentang "keberpihakan", sebagai salah satu unsur dari tiga unsur kesenian: ilmiah, indah dan keberpihakan. Keterkucilan sastra, seperti yang sering diributkan di Indonesia, kukira tidak lepas dari masalah pendirian dan sikap menulis untuk apa dan untuk siapa? Agaknya jika ada soal keterkucilan sastra, maka pertama-tama yang dipertanyakan bukan kepada para pembaca tapi kepada para sastrawan sendiri. Mengapa pembaca yang disalahkan?! Dalam hal ini nampaknya Kathirina, sang penyair Kinibalu ini, sidah pasti dengan pendirian dan sikapnya. Adakah pendirian dan sikap ini mempunyai hubungan dengan tradisi sastra lisan Dayak Kadasan dari mana penyair berasal? Dengan ini kita sampai pada pengaruh dan peran sastra lisan pada Kathirina.Satra lisan yang sering dipandang sebelah mata oleh tidak sedikit orang yang mabuk berorientasi ke Barat seakan-akan Barat adalah segala-galanya.*** Paris,Nopember 2005. ---------------- JJ. Kusni [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/