Tanggapan: "Goenawan Mohamad, Azahari dan Kekhalifahan"
  
  Oleh Farid Gaban
  e: [EMAIL PROTECTED]  
  
  Bung Radityo dan teman-teman,
  
  Aksi teror yang membunuh banyak orang tak berdosa adalah tindakan
  laknat, khususnya dalam konteks politik Indonesia.
  
  Masalahnya, kita tidak tahu persis (kecuali kita percaya polisi/BIN)
  siapa sebenarnya mastermind dari aksi ini.
  
  Menurut polisi/BIN (yang juga dipercaya Goenawan Mohamad), aksi teror
  ini dilakukan dan didalangi oleh militan Islam dengan MOTIF: "ingin 
  mendirikan Kekahalifahan di Asia Tenggara".
  
  Jika benar itu motifnya, saya menemukan gap yang besar antara aksi
  dengan goal akhirnya.
  
  - Bagaimana membunuh dan melukai ratusan orang pada Bom Bali I bisa
  menjadi jalan mewujudkan imperium Islam Asia Tenggara?
  
  - Bagaimana membunuh puluhan orang--sebagian besar Muslim--di depan
  Kedutaan Australia, di Hotel Marriott dan di Jimbaran bisa mencapai
  tujuan akhir itu?
  
  - Bagaimana merusakkan ekonomi Indonesia dan menciptakan ketegangan
  antar-agama di sini bisa meretas jalan ke imperium itu?
  
  - Bagaimana menciptakan ketergantungan yang lebih besar Indonesia
  terhadap "negeri teror" seperti Amerika dan Australia bisa mencapai
  tujuan itu?
  
  - Aksi-aksi teror di Indonesia telah menjadi dalih kehadiran kembali
  pasukan Amerika ke Asia Tenggara (mereka pergi setelah jatuhnya Rezim
  Ferdinand Marcos di Filipina). Bagaimana memancing kehadiran Amerika
  ke kawasan ini bisa menjadi jalan menuju imperium Islam Asia Tenggara?
  
  Radityo dan teman-teman,
  
  "Mendirikan Kekhalifahan di Asia Tenggara" adalah sebuah motif
  politik. Cita-cita ke arah itu membutuhkan gerakan dan leverage
  politik--serta menuntut prasyarat bahwa siapapun yang menginginkannya
  haruslah punya infrastruktur politik dan bersifat terbuka.
  
  Tersangka dalang bom di Indonesia versi polisi--dari Azahari, Noordin,
  Al Faruk hingga Hambali--tidak pernah dikenal dalam gerakan Islam di
  Indonesia.
  
  Dan fakta itu saja sudah makin mengaburkan kaitan antara aksi dan
  motif. Bagaimana cita-cita ingin mendirikan imperium Islam Asia
  Tenggara bisa diwujudkan dengan hanya mengandalkan gerakan bawah tanah
  yang tanpa bentuk. (Sekali lagi jika kita percaya cerita versi polisi)
  
  Kita mengenal organisasi seperti Hizbut Tahrir. Organisasi ini
  bercita-cita tak hanya mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara, tapi
  di seluruh dunia. Mereka menyatakan itu secara terbuka, mereka
  menggalang demonstrasi terbuka meski damai, mereka merekrut anggota
  secara terbuka melalui pengajian dan pidato akbar.
  
  Di tengah ruwetnya situasi politik Indonesia masa kini, dan di tengah
  kegagalan pemerintahan sekuler dalam mengatasi soal ekonomi dan
  kenegaraan, gerakan Hizbut Tahrir punya peluang untuk memperluas basis
  dan pengaruh.
  
  Lepas dari kita setuju atau menolak ide kekhalifahan yang dibawakannya, 
  gerakan damai Hizbut Tahrir justru jauh lebih efektif dan makin efektif 
  jika mereka berhasil meyakinkan banyak orang tentang busuknya pemerintahan 
  sekuler sekarang.
  
  Apa moral ceritanya?
  
  Siapapun orang Islam yang ingin mewujudkan cita-cita pemerintahan
  Islam kini menemukan kebebasan politik mereka untuk menyuarakan secara
  terbuka (berbeda dengan di masa Orde Baru).
  
  Jemaah Islamiyah (versi polisi) adalah anomali. Teror yang bermotif
  politik hanya muncul di negeri represif (seperti Irak sekarang,
  Palestina, Chehnya atau Irlandia dan Basque untuk menyebut contoh
  non-muslim). Di Indonesia setelah reformasi, teror bom dengan motif
  Islam tidak ada gunanya.
  
  Sebaliknya, justru di era demokrasi sekarang, organisasi seperti
  Hizbut Tahrir lah yang menjadi ancaman politik/sosial serius tak hanya
  bagi non muslim, tapi juga politisi Islam seperti PAN, PKB, bahkan
  PKS. (Juga bagi kaum sekuler yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal).
  
  Juga ancaman serius bagi hegemoni Amerika di kawasan Asia Tenggara.
  Kehadiran kembali pangkalan Amerika di Asia Tenggara punya "bonus"
  lain bagi Amerika: menangkal hegemoni China yang belakangan ini
  menguat bersama kedigdayaan ekonominya.
  
  Tidakkah kita bisa mengambil SPEKULASI dari sudut pandang lain:
  
  - teror diciptakan untuk memberi label buruk kepada kata
  "kekhalifahan" (sekali lagi, lepas dari apakah kita setuju atau
  menolak ide itu).
  
  - teror diciptakan untuk memberi label buruk pada "bom bunuh diri"
  ala Irak dan Palestina (yang sekarang menjadi trend dan membuat
  Amerika kewalahan)
  
  - teror diciptakan untuk memberi dalih (pretext) perbaikan hubungan
  militer/keamanan Indonesia-Amerika-Australia dan penguatan kembali
  hegemoni mereka di kawasan ini.
  
  Harap ditangkap dengan teliti. Saya mengatakan tiga kemungkinan tadi
  sebagai SPEKULASI. Sama seperti hipotesis, spekulasi harus diuji.
  
  Salah satu cara mengujinya adalah dengan melakukan verifikasi atas
  detil, klaim dan teori yang disodorkan polisi.
  
  Saya juga ingin mengajak kita semua menelisik orang-orang yang dalam
  beberapa pekan terakhir ini muncul di video polisi sebagai pelaku
  teror bom dan orang-orang yang ditangkapi di berbagai daerah.
  
  Amati mereka: siapa, bagaimana latar belakang ekonomi dan sosialnya,
  pernah sekolah di manakah mereka, siapa orangtuanya, jika dari
  pesantren mana pesantrennya?
  
  Saya belum meneliti secara sangat seksama. Tapi, dari data yang saya
  kumpulkan, kesimpulan sementara: sebagian besar mereka datang dari
  keluarga miskin di pedesaan.
  
  Apa artinya? Ini adalah orang-orang yang rentan secara ekonomi, sosial
  dan bahkan hukum. Jika benar seperti kata polisi mereka ini pelaku dan
  anggota komplotan, kita bisa mengambil spekulasi bahwa mereka sekadar
  alat.
  
  Siapakah yang memperalat mereka? Untuk tujuan apa?
  
  Itulah pertanyaan besarnya. Dan jawaban versi polisi: Azahari.
  
  Kembali ke kasus yang lebih spesifik, kasus Azahari (muncul, buron dan
  matinya) memiliki aspek berlapis-lapis. Dan harus kita lihat secara
  keseluruhan.
  
  1. Apakah Azahari sudah mati?
  
  Kita bisa mengambil kesimpulan Azahari sudah mati. Spekulasi ini punya
  dasar yang kuat, karena adanya pernyataan keluarga. Meski begitu,
  tidak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di kamar mayat
  ketika Bani Yamin memastikan mayat kakaknya.
  
  2. Bagaimana Azahari mati?
  
  Benarkah dia mati dalam tembak-menembak di Batu? Atau dia mati karena
  eksekusi jarak dekat?
  
  Detil ini penting: tugas polisi adalah menangkap Azahari hidup-hidup
  untuk bisa diadili dan mempertanggungjawabkan perbuatannya (jika dia
  benar salah) atau membela diri (jika tuduhan polisi hanya cerita rekaan).
  
  Jika Azahari mati karena eksekusi, kita perlu melacak kenapa polisi
  melakukan itu: untuk membungkam dia supaya tidak menghadirkan cerita
  versi lain?
  
  3. Benarkah Azahari mastermind dari semua teror versi polisi?
  
  Ini pertanyaan yang lebih sulit dijawab justru karena kematian
  Azahari. Semua cerita tentang Azahari selama dia buron berasal dari
  polisi.
  
  Walhasil: dari sudut pandang jurnalisme, ini kasus yang tak
  tertuntaskan. Kasus yang tidak atau belum, setidaknya sampai sekarang,
  bisa diverifikasi pada wartawan.
  
  diposting 25.11.05
  
  ___________________________________________________________________
  
  
  Azahari dan Indonesia
  Oleh Goenawan Mohamad
  
  Azahari dan Noordin Top masuk diam-diam dari Malaysia ke Indonesia, 
  dan ‘membaur’ dengan orang setempat. Mereka bukan orang asing, jika 
  ‘asing’ berarti ‘ganjil’ dan ‘tak dikenal’. Tapi mereka bukan orang 
  sini.  
  
  Mereka merekrut orang lokal yang dilatih untuk meledakkan bom, membunuh 
  orang secara acak, dan sejak itu Indonesia pun terjerembab. Sejak itu 
  negeri ini, yang  kita nyanyikan sebagai negeri ‘aman sentausa’, jadi 
  tempat yang dianggap tak aman dan tak sentausa.  
  
  Tentu saja Azahari dan Noordin Top mengatakan mereka melawan Amerika 
  Serikat dan Zionisme. Tentu saja mereka akan mengatakan jihad mereka 
  adalah bagian dari perang global yang kini berkecamuk. Tapi pada 
  akhirnya yang terluka bukanlah Amerika Serikat atau Israel, melainkan 
  Indonesia -- sebuah negeri yang bagi kedua orang Malaysia itu tak punya 
  makna apa-apa.
  
  Mereka memang bukan orang sini. Kata ‘sini’ mengimplikasikan sebuah 
  perbatasan, antara ‘dalam’ dan ‘luar’. Harus diakui perbatasan itu 
  tak datang dari Tuhan atau alam, melainkan dari sebuah proses politik 
  dalam sejarah. Perbatasan itu juga tak kekal. Tapi apakah yang tak 
  kekal tak punya arti dan tak punya kekuatannya sendiri?
  
  Azahari dan orang sejenisnya - yang bercita-cita mendirikan sebuah 
  kekhalifahan Islam yang mengatasi ‘negara-bangsa’ -  berangkat dari 
  semangat ‘de-lokalisasi’: melintasi lokalitas yang mereka anggap 
  membatasi diri. Mereka tak mau bersetia kepada sebuah ‘tanah air’. 
  Yang pasti, mereka tak mau bersetia kepada Indonesia.  
  
  Mereka berangkat bersama asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang 
  universal, yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Mereka seiring 
  dengan dinamika abad ini, yang menerjang atau menyeberangi perbatasan 
  nasional, dinamika yang digerakkan ilmu, teknologi, dan  kapitalisme 
  mutakhir. ‘Hari ini, agama bersekutu dengan tele-tekno-ilmu’, kata 
  Derrida dalam sebuah simposium di Capri di tahun 1994 - sebuah kalimat 
  yang tetap punya gema satu dasawarsa kemudian.
  
  Tapi pada saat yang sama, terjadi juga sebuah tabrakan. Agama, seperti 
  yang dibawakan orang macam Azahari, mengandung kontradiksi: di satu 
  sisi ia mengklaim dirinya universal, tapi di sisi lain, semakin ia 
  jadi bendera identitas kelompok, semakin ia melawan sifat universalnya 
  sendiri. Maka ketika agama jadi identitas kelompok, ‘globalisasi’ 
  yang dibawakan oleh modal, ilmu dan teknologi pun seakan-akan jadi 
  ancaman - meskipun sebenarnya televisi, internet, serta teknik 
  persenjataan dan pembunuhan, yang berasal dari ‘tele-tekno-ilmu’, 
  adalah penopang gerak ‘de-lokalisasi’ mereka.
  
  Dalam pemikiran agama macam ini, identitas kelompok bertaut dengan 
  ‘de-lokalisasi’. Itu artinya agama, dalam kata-kata Derrida, 
  ‘terlepas’ dari ‘semua tempatnya yang pas’, bahkan dari  pengertian 
  ‘tempat’ itu sendiri.
   
  Tapi bisakah kebenaran agama, ketika diamalkan, berlangsung tanpa 
  tempat dan terlepas dari konteks lokal apapun? Pernahkah? Khalil 
  Abdul Karim, seorang mantan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin di 
  Mesir, pernah menganalisa bahwa sejarah Islam sejak sebelum dan 
  segera sesudah Nabi Muhammad s.a.w. tak dapat dilepaskan dari posisi 
  politik suku Quraish di sekitar Mekah. Ia menyebut bukunya 
  (diterjemahkan dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta) Hegemoni 
  Quraish. 
  
  Buku itu mungkin tak sepenuhnya tepat. Tapi sulit dibayangkan Islam 
  terlepas dari keterpautan dengan yang sempit di sebuah ruang dan sebuah 
  waktu. Khalifah Usmani yang berpusat di Turki, yang konon melintasi 
  perbatasan ‘negara-bangsa’ itu, pada dasarnya bagian dari pengalaman 
  dan kepentingan tahta Turki itu sendiri.
  
  ‘De-lokalisasi’ selalu mustahil: Islam yang diamalkan akan senantiasa 
  terkait dengan sebuah petak di muka bumi. Sesuatu yang ‘bukan-global’, 
  yang telah ada sejak beratus-ratus tahun, terus bertahan: sebuah 
  wilayah dan sehimpun manusia yang identifikasi dirinya disebutkan 
  dengan nama sebuah negeri ataupun bangsa. 
    
  Itulah ‘tanah air.’ Tanah air adalah tempat seseorang terlempar. Di 
  sana ia memilih untuk menerima posisi itu secara aktif ataupun pasif, 
  secara bersemangat atau pasrah. Tanah air, seperti yang terjadi ketika 
  republik ini lahir dari penjajahan, adalah sebuah ‘peristiwa’: sesuatu 
  yang mengguncang kehidupan dan menggerakkan hati.  
  
  Tapi tanah air juga sebuah ‘pengalaman’: sebuah proses tumbuhnya 
  akar. Kita tak perlu mengaitkan akar itu dengan asal-usul ‘darah dan 
  tanah’, Blut und Boden, seperti dalam nasionalisme Jerman yang sesat. 
  Akar itu bukan sesuatu yang harus disakralkan, dan tempat kita hidup 
  dan berasal, Heimat, bukanlah sesuatu yang suci. Tanah air terbentuk 
  terus oleh sejarah, oleh kerja kita,  dan itu sebabnya ia, dengan 
  bekas darah dan keringat, punya arti bagi kita... 
  
  Indonesia, tanah air kita, lahir seperti itu, melalui revolusi - satu 
  hal yang tak dialami orang Malaysia macam Azahari. Revolusi itu 
  melibatkan rakyat banyak yang menderita di bawah penjajahan Belanda.  
  Revolusi itu sebuah peristiwa, l’evenement dalam pengertian Badiou, 
  khususnya peristiwa solidaritas, dengan pengorbanan dan rasa bangga. 
  Tapi sebagai peristiwa, revolusi selalu punya akhir, tak dapat 
  diulangi, dan setelah itu Indonesia pun ‘terjadi’, tumbuh, dan 
  akhirnya jadi sebuah proyek bersama. Proyek itu makin disadari sebagai 
  sesuatu yang tak sempurna, karena menyadari keterbatasan manusia.  
  
  Itu sebabnya Indonesia sebagaimana ia dirikan di tahun 1945 adalah 
  tanah air dengan banyak harap tapi juga cemas, dengan gairah tapi juga 
  gentar. Naskah Proklamasi itu tak ditulis dengan cetakan yang 
  sempurna; ada coretan dalam teks yang ditandatangani Bung Karno dan 
  Bung Hatta. Di situlah ia berbeda dengan ‘negara Islam’ yang membawa 
  nama sesuatu yang kekal dan tak akan salah. ‘Negara Islam’, 
  terutama dalam impian Azahari, adalah sebuah keangkuhan kepada 
  sejarah. Sebaliknya ‘Indonesia’: ia tak menafikan dan tak takut bahwa 
  dirinya tak akan pernah salah, bahkan berdosa. 
  
  Itulah sebabnya demokrasi niscaya: demokrasi adalah sebuah mekanisme 
  untuk selalu memperbaiki diri, mengurangi langkah yang keliru. Dan 
  kita tahu, Indonesia telah berjalan panjang dan terbentur-bentur, 
  tapi sampai hari ini bangkit lagi - juga dengan harap dan cemas.
   
  Azahari tak memahami ini: ia dan kawan-kawannya tak punya kaitan dengan 
  pengalaman kita, apalagi dengan sejarah revolusi Indonesia. Mereka 
  meledakkan bom berkali-kali, merusak negeri ini berkali-kali, dan kita 
  merasakan sakitnya. 
  
  Apa gerangan hasilnya, selain sebuah jalan ke surga yang diyakini 
  sementara orang - sebuah firdaus yang instan, sebuah kenikmatan yang 
  seketika, seperti banyak hal yang ditawarkan di pasar dunia yang serba 
  tak sabar sekarang?
  
  Mungkin Azahari dan kawan-kawannya, ketika mereka memasarkan surga 
  yang instan, mereka tahu ‘jihad’ mereka akan gagal.  Amerika akan 
  tetap tegak dan Zionisme tak punah. Jika demikian, Azahari dan 
  kawan-kawannya siap mati dengan harapan bisa ke sorga bagi diri 
  sendiri, bukan dengan harapan untuk memenangkan orang-orang yang 
  mereka bela di muka bumi.**
  
  diposting 24.11.05
  ___________________________________________________________________
  

                
---------------------------------
 Yahoo! Music Unlimited - Access over 1 million songs. Try it free.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke