Salam,
  
  Ini tulisan Gus Dur untuk Mas Ulil, disampaikan pada acara Peluncuran  dan 
Bedah Buku "Menjadi Muslim Liberal" Karya Ulil Abshar-Abdallah.
  
  Selamat membaca
  
  -GuN-
  ==============     ULIL DENGAN  LIBERALISMENYA·       
      Oleh KH Abdurrahman  Wahid
       
      Ulil Abshar Abdalla adalah seorang muda  Nahdlatul Ulama (NU) yang 
berasal dari lingkungan “orang santri”, istrinya pun  dari kalangan santri, 
yaitu putri budayawan muslim Mustofa Bisri, sehingga  kredibilitasnya sebagai 
seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang.  Mungkin juga cara hidupnya 
masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang  membedakan Ulil dari orang-orang 
pesantren  lainya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah 
profesi lingkungan  pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat 
ia dimaki-maki  sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak 
kalangan lain ia  dianggap “abangan”.  Dan di lingkungan  NU, cukup banyak yang 
mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap  “aneh” bagi kalangan 
santri, baik dari pesantren maupun bukan.
       
      Mengapa demikian?  Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, 
sebuah pandangan yang sama  sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat 
jauh. Salah satu implikasinya,  adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan 
“kemerdekaan” berpikir seorang  santri dengan demikian bebasnya, sehingga 
meruntuhkan asas-asas keyakinanya  sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal hal 
itu telah menjadi keyakinan yang  baku dalam diri setiap orang beragama 
tersebut. Itulah sebabnya, mengapa  demikian besar reaksi orang terhadap hal 
ini. 
       
      Reaksi seperti ini  pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa 
ucapan Assalamu’alaikum  dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap 
penulis lah yang memutuskan  hal itu. Sehingga penulis dimaki-maki oleh mereka 
yang tidak mengerti maksud  penulis sebenarnya. KH. Syukron Makmun dari Jalan 
Tulodong di Kebayoran Baru  (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin 
merubah cara orang  bersholat. Penulis, demikian kata Kyai yang dahulu kondang 
itu, menghendaki  orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat 
sore. Padahal  penulis tahu definisi shalat adalah   sesuatu yang dimulai 
dengan Takbiratul Al-Ihram dan disudahi  dengan ucapan Salam. Jadi, menurut 
paham Mazhab al-Syafi’i, Penulis  tidak akan semaunya sendiri menghilangkan 
salam sebagai peribadatan, melainkan  hanya mengemukakan perubahan salam 
sebagai ungkapan. Baik ketika orang bertemu  dengan seorang muslim yang lain 
maupun dengan non muslim. Di lingkungan  Universitas Al-Azhar di Kairo
 misalnya, para syaikh/ kyai yang menjadi dosen  juga sering mengubah “tanda 
perkenalan “ tersebut, umpamanya saja dengan  ungkapan “selamat pagi yang 
cerah” (Shabah Al-Nur). Kurangnya  pengetahuan Kyai kita itu, mengakibatkan 
beliau berburuk sangka kepada Penulis.  Dan tentu reaksi terhadap pandangan 
Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan  pengetahuan itu.
       
      *****
       
      Tidak heranlah jika  reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh 
muda kita ini. Yang terpenting,  penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, 
bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah  seorang santri yang berpendapat, bahwa 
kemerdekaan berpikir adalah sebuah  keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia 
percaya akan batas-batas kemerdekaan  itu, karena bagaimanapun tidak ada yang 
sempurna kecuali kehadirat Tuhan.  Selama ia percaya ayat dalam kitab suci 
Al-Qur’an: “Dan tak ada yang abadi  kecuali kehadirat Tuhan “ (Kullu man 
‘alayha faan wa yabqa wajhu rabbika  dzul jalali wal ikram), dan yakin akan 
kebenaran kalimat Tauhid, maka ia  adalah seorang Muslim. Orang lain boleh 
berpendapat apa saja, tetapi tidak  dapat mengubah kenyataan ini. Seorang 
Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti  Muslim, akan terkena Sabda Nabi 
Muhammad SAW: “Barang siapa yang mengkafirkan  saudara yang beragam Islam, 
justru ialah yang kafir” (Man kaffara akhahu  musliman fahuwa kafirun). 
       
      Ulil dalam hal ini  bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela 
habis-habisan kemerdekaan  berpikir dalam Islam. Sebagai  akibat  Averros juga 
di “kafir” kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran  sempit dan takut 
akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum  antara pengikut paham 
sumber tertulis  Ahl  al-Naqli (kaum tekstualis) dan penganut paham serba akal 
Ahl al-Aqli  (kaum rasional) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini 
pun, sekarang  sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi” (Ahl 
al-Dzawq),  seperti dikemukakan oleh Al-Zaribi dari Universitas Yar’muk di 
Yordania. Sumber  ketiga ini, diusung oleh Imam al-Ghazali dalam magnumopus 
(karya besar),  Ihya’ ’Ulum al-Din, yang saat ini masih diajarkan di 
pondok-pondok  pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.
       
      Jelaslah, dengan  demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap 
“menentang” anggapan salah  yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. 
Bahwa kitab suci Al-Qur’an  menyatakan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama 
kalian hari ini” (Alyawma  akmaltu lakum dinakum) dan “Masuklah ke dalam 
Islam/kedamaian secara  menyeluruh “ (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka 
seolah-olah jalan telah  tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang 
dimaksudkan kedua ayat tersebut  adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran 
dalam agama Islam, bukannya  perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil 
mengetahui hal itu, dan karena  pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan 
dan mengembangkan liberalisme  (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang 
diperlukannya. Dan orang-orang lain  itu marah kepadanya, karena mereka tidak 
menguasai penafsiran istilah tersebut.
       
      Berpulang kepada kita  jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, 
yang mengembangkan paham  liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan 
hal itu? Apakah ia tidak  mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti 
itu? Tentu saja ia  mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri 
Ulil tentu paham  “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap 
melakukan kerja  menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh 
kenyataan akan  lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” 
akan mewarnai  jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin 
membuat para  “muslim pinggiran” merasa dirumah mereka sendiri (at home) dengan 
 pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri maupun secara  
bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar Abdalla  
tersebut.
       
      Kembali berpulang  kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini 
atau tidak. Jika di  benarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil 
mengemukakan  gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara 
“menemukan”  pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan 
tantangan  sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih 
mengharapkan  Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media 
khalayak. Bukankah  para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk 
memperkenalkan  pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti 
“perbedaan pandangan  di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat “ 
(Ikhtilaf al-A’immh  rahmah al-‘ummah).
       
      Jika kita tidak  menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam 
media khlayak, maka kita  dihadapkan kepada dua pilihan antara “larangan 
terbatas” untuk berpikir bebas,  atau sama sekali menutup diri terhadap 
kontaminasi (penularan) dari proses  modernisasi. Sikap pertama, hanya akan 
melambatkan pemikiran demi pemikiran  dari orang-orang seperti Ulil. Padahal 
pemikiran-pemikiran ini, harus  dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai 
“orang luar”. Pendapat kedua,  berarti kita harus menutup diri, yang pada 
puncaknya dapat berwujud pada  radikalisme yang bersandar pada tindak 
kekerasan. Dari pandangan inilah lahir  terorisme yang sekarang “menghantui” 
dunia Islam. Kalau kita tidak ingin  menjadi radikal, sudah tentu kita harus 
dapat mengendalikan kecurigaan kita  atas proses modernisasi, yang untuk 
sebagian berakibat kepada munculnya paham  “serba kekerasan”, yang saat ini 
sedang menghinggapi dunia Islam. 
       
      Yang menjadi  pertanyaan adalah, mengapa yang dibawa Ulil Abhsar dalam 
bentuk pandangan  liberalisme Islam justru ditentang di lingkungan NU sendiri? 
Jawabnya terletak  dalam kenyataan, bahwa di lingkungan NU, pembaruan pada 
umumnya terjadi tanpa  menggunakan label apapun. Sewaktu KH. A. Wahid Hasyim 
kembali dari Mekkah pada  tahun 1931, ia langsung mengadakan perombakan pada 
kurikulum madrasah di Pondok  Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berhasil, karena 
justru perombakan itu  dilakukan tanpa nama apapun. Seolah-olah tidak ada 
perubahan apapun. Dengan  demikian, ia menjaga perasaan orang yang masih 
mengikuti cara berpikir lama.
       
      Yang menolak  perubahan/karena perasaan dan pikiran mereka termasuk 
ayahnya sendiri (KH. M.  Hasjim Asy’ari), dihargai dan di “orangkan”. Merekapun 
menahan diri dan tidak  mengadakan perlawanan terbuka terhadap apa yang 
dilakukan. Demikian pula,  ketika KH. Mahfudz Sidiq melansir gagasannya tentang 
prinsip-prinsip kebaikan  masyarakat (Mabadi’ Khairah ‘Ummah) diawal-awal 
dasawarsa empat puluhan  ia meletakannya dalam konteks memperkuat susunan 
masyarakat yang sudah ada.  Maka gagasan itu langsung diterima tanpa kritikan 
apapun dari semua pihak di  lingkungan NU. Sayangnya, beliau tidak berumur 
panjang dan meninggal dunia  sewaktu pihak Jepang mulai menanamkan pengaruhnya 
di negeri ini. Demikian pula,  ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Penulis juga 
melakukan perubahan-perubahan drastis,  antara lain dengan memasukan 
tokoh-tokoh muda pada kedudukan strategis di  lingkungan NU. Tetapi itu semua 
dilakukan tanpa embel-embel apapun.
       
      Lalu terjadilah  perubahan-perubahan drastis, tanpa ada gejolak-gejolak 
apa-apa. Hal itu  dilakukannya juga di lingkungan Partai Kebangkitan Bangsa 
(PKB). Begitu banyak  anak-anak muda menjadi fungsionaris penting dalam PKB, 
tanpa ada perlawanan  berarti. Di sinilah letak pentingnya sikap yang jelas 
dari seorang pimpinan  yang mengerti apa yang harus dilakukan. Nah, hal inilah 
yang justru  diabaikan oleh Ulil Abshar Abdalla yang “terjebak” dalam label 
yang dibuatnya  sendiri, atau yang dibiarkan tumbuh. Tentu saja perkembangan 
belum berakhir,  karena Ulil kemudian “berdiam diri” dengan cara belajar di 
luar negeri. Sewaktu  ia kembali ke tanah air nanti, mungkin ia dapat 
mengorganisir penerimaan lebih  luas di lingkungan NU dengan cara “berdiam 
diri” seperti itu dulu.
        
      Tuduhan bahwa ia  selama ini tidak ikhlas memimpin umat, mungkin dapat ia 
tolak dengan cara  seperti itu. Mungkin dukungan terhadap dirinya akan 
berkurang, namun di  lingkungan NU ia akan diterima secara lebih luas, karena 
ia akan dilihat  sebagai “orang sendiri”. Style atau gaya kepemimpinan seperti 
ini,  memang merupakan ciri yang berdiri sendiri di lingkungan NU. Hal semacam 
inilah  yang jarang dimengerti oleh orang-orang dari gerakan Islam yang lain. 
Penulis  sendiri banyak melakukan perubahan-perubahan mengenai apa-apa yang ada 
di  lingkungan NU, tetapi tidak pernah menyebutkan apa-apa yang dibiarkan. Ada 
anggapan  orang akan perlunya perubahan di lingkungan luar NU agar orang-orang 
di luar NU  lebih dapat menerima perubahan walaupun disebutkan.
       
      “Pengenalan  keadaan” seperti inilah yang harus kita mengerti baik di 
lingkungan NU maupun  di luarnya dan mengetahui keadaan seperti itu, kita akan 
dapat melakukan  perubahan-perubahan di lingkungan gerakan Islam. Memang hal 
ini adalah sebuah  keniscayaan yang mau tidak mau akan menentukan kualitas 
kepemimpinan seseorang.  Nah, kemampuan menyusun kepemimpinan yang berlandaskan 
tidak hanya  pikiran-pikiran, tetapi juga didasarkan pada hal-hal praktis 
semacam ini,  adalah sebuah “modal” yang diperlukan. Antara gaya dan substansi 
kepemimpinan,  harus ada keseimbangan yang menentukan kualitasnya. Ulil Abshar 
Abdalla masih  berusia muda tetapi memiliki potensi besar untuk menjadi 
pimpinan yang diakui  semua pihak, dan untuk itu ia harus juga “memahami” hal 
itu. Kalau hal itu  terjadi, maka Penulis makalah ini adalah orang paling 
berbahagia, di samping  orang tua dan mertuanya sendiri. Pilihan yang 
kelihatannya mudah tetapi sulit  dilakukan, bukan?
                    Jakarta, 28 November 2005       
       
      
    
---------------------------------
            · Disampaikan pada acara  Peluncuran dan Diskusi Buku “Menjadi 
Muslim Liberal” di Universitas Paramadina,  Selasa 29 November 2005
    
    
    


Memahami Perbedaan Menghilangkan Jarak dan Membentuk Ego Menjadi Empati yang 
Utuh
-GuN-
Tlp 081319174019
                
---------------------------------
 Yahoo! Music Unlimited - Access over 1 million songs. Try it free.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery.
http://us.click.yahoo.com/WpTY2A/izNLAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke