http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=200286
Jumat, 02 Des 2005,


Membongkar Fondasi Patriarkhi
Oleh Nur Aylin Dania *


Salah satu hambatan berat untuk mewujudkan keadilan hak-hak perempuan dan 
laki-laki adalah mapannya stereotipe-stereotipe yang kurang bersahabat 
terhadap perempuan. Beragam stereotipe itu selama puluhan tahun sudah 
membeku ke dalam teks-teks budaya dan keagamaan akibat penafsiran yang bias 
gender dan berideologi patriarkhi. Bahkan, akhir-akhir ini relasi 
bahasa-gender terbukti sangat eksploitatif terhadap perempuan.


Mengangkat masalah relasi gender dan feminisme terasa membosankan, sekaligus 
mengasyikkan. Membosankan karena seakan-akan perbincangan ini tidak akan 
berakhir dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu. Mengasyikkan karena 
bahasan ini selalu memberikan nuansa dan wacana baru dengan jargon-jargon 
yang terus bermunculan dan berkembang.


Karena itu, perbincangan seputar diskursus gender ini adalah pokok masalah 
yang "membumi". Artinya, masalah itu tidak saja menjadi wacana dan fenomena 
bagi kelompok atau golongan tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun 
ideologis, namun merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan waktu.


Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik antropologi untuk 
melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum laki-laki. Berbagai 
nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan keberadaan pola relasi 
gender yang berakar dalam masyarakat. Karena tersebut berlangsung cukup 
lama, pola itu mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Seolah-olah 
ketimpangan pola relasi gender ini adalah kodrat, mutlak, dan tidak dapat 
diganggu gugat.


Bertambah kuat lagi setelah pola power relations (relasi kuasa) menjadi 
subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan 
masyarakat new patriarchy (eksploitasi -tak sadar- perempuan). Semakin kuat 
pola relasi kuasa semakin besar pula ketimpangan (bias) gender di 
masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan nilai produktivitasnya.


Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas perempuan dianggap tidak 
semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi, yang 
lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki diklaim sebagai 
komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik.


Simone De Beauvior (The Second Sex: 1989) menulis, "Ke mana pun mereka 
melangkah, garis akhir selalu berwujud pada pernikahan; yang artinya sama 
dengan mengakui dominasi laki-laki. Hal inilah yang memang ingin 
dipertahankan laki-laki karena mereka juga ingin mempertahankan fondasi 
sosial". Karena itu, kita (perempuan) harus mempelajari lebih jauh tentang 
nasib tradisional perempuan dengan teliti.


Dari segi sumber daya manusia (SDM), komunitas akademik sebenarnya sarat 
dengan tenaga kerja yang siap menjadi agen pemberdayaan perempuan. Para 
dosen, mahasiswi, dan masyarakat lingkungan akademik harus berkomitmen dan 
berperan aktif dalam pemberdayaan perempuan, mulai pergulatan wacana hak-hak 
perempuan sampai bagaimana mengadvokasi perempuan korban kekerasan dengan 
peranti keadilan gender.


Solusi sederhana namun urgen bisa dilakukan dengan langkah penyadaran dan 
pemberdayaan mengenai hak-hak wanita lewat Sosialisasi dan Edukasi. Memang 
dalam masyarakat kita perempuan sering dimarginalkan dalam keluarga. Jika 
menemui kesulitan biaya hidup atau pendidikan, orang tua sering mengorbankan 
anak perempuan. Anak perempuan disuruh berhenti bersekolah, sementara anak 
laki-laki tetap sekolah. Anak perempuan malah disuruh cepat-cepat kawin. Ini 
tidak fair. Anak laki-laki dan perempuan harus diberi peluang yang sama.


Proses sosialisasi dan edukasi memang memerlukan cukup waktu. Tapi, jika 
kita memakai comparative study (skala perbandingan), perempuan di Indonesia 
relatif tidak mendapat halangan yang cukup signifikan dalam melakukan 
mobilitas sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Tidak ada halangan untuk 
berdagang atau berusaha. Pendidikan perempuan saatnya ditekankan pada 
kemandirian supaya mereka paham dan menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi 
pelayan bagi kaum lelaki saja.


Setiap perempuan punya hak untuk menentukan sendiri sikap dan pilihan hidup. 
Kadang beberapa hal jadi terasa menekan, seperti hal-hal yang terjadi di 
keluarga, lingkungan, teman, sekolah, atau media. Semua manusia memang punya 
keterbatasan untuk mengatur apa yang terjadi terhadap dirinya, tapi semua 
tetap bisa memilih sikap buat menghadapinya, termasuk perempuan. Tergantung 
kamu, mau jadi perempuan dengan mengambil inisiatif dan bersikap berani atau 
jadi perempuan yang kalah oleh kendali keadaan.


* Nur Aylin Dania, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam 
Negeri (UIN) Malang. (Email: [EMAIL PROTECTED] 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of hope to an orphaned child this holiday season.
Become a sponsor>>
http://us.click.yahoo.com/ZEPhsD/1RCMAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke