Berikut kiriman berita dari teman Anda yang beralamat di: [EMAIL PROTECTED]
-------------------------------------
Pesan pengirim:
Selamat membaca kembali
Selamat Hari Natal 2005 dan Tahun Baru 2006
Damai di Langat, Damai di Bumi, Damai di Hati

-GuN-
-------------------------------------
IslamLib.com, Senin, 27 Desember 2004

Pendapat Islam Liberal Tentang Perayaan Natal

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla


Assalamu 'alaikum wr. wb.

Alhamdulillahi alladzi ansya'a al a'yada fi kullil adyan, wa ja'ala ta'addudal 
adyani rahmatan  wa  ni'matan lil insan.

Allahumma fashalli 'ala rasuli al insaniyyati wa nabiyyi al hurriyyati wa 
qa'idi mustadl'afin, Sayyidina wa Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi ath 
thahirin, wa shahabatihi alladzina kanu 'anil hurriyyati mudafi'in, wa lil 
isti'badi muqawimin, wa man tabi'ahum bi ihsanin ila yaumid din.

Amma ba'du:

Teman-teman yang berpaham Islam liberal rahimakumullah,

Sesungguhnya perbedaan adalah rahmat Allah swt yang diberikan kepada umat 
manusia. Perbedaan adalah "berkah ilahiah" yang sudah semestinya dirayakan oleh 
umat manusia, dan dikembangkan serta dipupuk untuk kemaslahatan mereka. 
Barangsiapa membenci perbedaan, dan menjadikannya sebagai sarana untuk 
menebarkan kebencian, maka mereka itu adalah orang-orang yang tak mensyukuri 
rahmat dan ni'mat Tuhan. 

Barangsiapa mensyukuri ni'mat Tuhan, maka Ia akan memberikan mereka tambahan 
lebih banyak lagi. Barangsiapa mengabaikan ni'mat itu, maka sesungguhnya 
azabNya amat pedih bagi orang-orang semacam itu. 

Bagaimanakah kita mensyukuri ni'mat perbedaan? 

Qur'an memberikan teladan yang sungguh amat baik. Dalam Surah Al Hujurat 
disebutkan bahwa sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan 
berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu dengan yang lain. Qur'an memakai 
istilah "ta'arafu" yang kemudian melahirkan istilah lain dalam bahasa Arab, 
ta'aruf. Inilah konsep dasar Qur'an dalam menanggapi perbedaan. Sikap Qur'ani 
terhadap perbedaan bukanlah "indifferentisme" yaitu sikap saling tak peduli, 
sikap cuek, tak mau tahu, dan tak hendak mengambil pelajaran apapun dari 
orang-orang lain yang kebetulan berbeda dari kita, entah dari segi suku, 
bahasa, ras, agama, atau yang lain-lain.

Indifferentisme atau --dalam bahasa Arab-- "alla mubalaah" adalah berlawanan 
dengan etika Qur'an tentang "ta'aruf". Limadza? Kenapa?

Ta'aruf, jika kita lihat dari sudut pandang kebahasaan, berasal dari kata kerja 
"ta'arafa" yang mengikuti pola "tafa'ala". Pola ini biasanya mengandung makna 
"resiprokalitas". Kata kerja "ta'arafa" bukan sekedar bermakna "mengetahui" 
atau "mengenal" yang dilakukan oleh satu pihak, tetapi dua belah pihak. 
Sehingga arti yang tepat untuk kata itu adalah "saling ingin mengetahui dan 
mengenal". Dalam kata "ta'aruf" ada suatu tindakan resiprokal dari dua belah 
pihak yang saling hendak mengetahui yang lain. Ta'aruf bukan indifferentisme. 
Ta'aruf adalah inisiatif aktif dari beberapa pihak untuk saling mengenal, dan 
tidak membiarkan, cuek, tak mau tahu tentang yang lain.

Etika Qur'ani tentang perbedaan, dengan demikian, adalah didasarkan kepada 
sikap aktif untuk belajar dari perbedaan yang ada pada pihak lain, serta 
mengambil pelajaran yang bermanfaat dari perbedaan itu. Ta'aruf bukan sekedar 
"ko-eksistensi" di mana dua orang yang berbeda saling duduk bersandingan tanpa 
saling menyapa dan bercakap-cakap. Ta'aruf adalah "pro-eksistensi", yaitu duduk 
berdampingan dan saling belajar satu dari yang lain. Sikap ta'aruf akan 
menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan bencana.  

Ini sesuai dengan semangat Islam yang memandang bahwa sumber kebenaran adalah 
satu, yaitu dari Tuhan. Tetapi Tuhan berhak memberikan kebenaran kepada 
siapapun yang Ia kehendaki. "Yu'til hikmata man yasya' wa man yu'tal hikmata fa 
qad utiya khairan katsira," Ia memberikan kebijaksanaan kepada siapapun yang Ia 
kehendaki, dan barangsiapa yang diberikan kebijaksanaan oleh Tuhan, maka orang 
itu mendapatkan kebaikan yang sungguh banyak. 

Sikap orang beriman yang baik adalah kesediaan untuk menerima kebenaran itu 
dari manapun sumbernya. Inilah semangat yang pernah dikemukakan oleh Imam Ali 
r.a., "Al hikmatu dlaallatul mu'min, ainama wajadaha akhadzaha." Kebenaran 
adalah sesuatu yang hilang dari orang beriman, di manapun ia menjumpainya maka 
ia harus lekas-lekas menjemput dan mengambilnya.

Sikap yang berlawanan dengan "ta'aruf" ada dua. Pertama adalah "ta'ayusy" dan 
"takhashum".  Ta'ayusy pada dasarnya adalah sejenis indifferentisme atau hidup 
berdampingan tanpa memperdulikan yang lain. Takhashum adalah hidup berdampingan 
dengan cara bermusuhan. Kedua sikap itu tidak sesuai dengan etika Qur'ani 
tentang pluralisme. 

Cara kita mensyukuri ni'mat perbedaan adalah dengan terus-menerus memupuk sikap 
ta'aruf, pro-eksistensi, dan menghindari sebisa mungkin takhashum. Ta'ayusy 
meskipun sekilas adalah sesuatu yang baik, sebab tidak menimbulkan permusuhan, 
tetapi sikap itu jelas tidak memenuhi standar yang dikehendaki oleh Qur'an. 
Sebab, semata-mata menekankan ta'ayusy tidaklah mendorong seseorang untuk aktif 
belajar dari perbedaan yang ada pada pihak lain. Qur'an menghendaki agar 
perbedaan disikapi secara aktif dan optimis sebagai sesuatu yang memperkaya, 
bukan sesuatu yang membuat renggang. 

Islam memandang bahwa Tuhan adalah sumber segala kebenaran. Oleh karena itu, 
umat Islam diharuskan untuk mengimani seluruh Kitab Suci dan Nabi serta Rasul 
yang pernah diutus oleh Tuhan ke muka bumi. Esensi dari kebenaran yang 
dikandung oleh semua agama adalah sama, meskipun terdapat perebedaan dalam segi 
ajaran dan syariat. Agama yang satu tidak bisa membatalkan agama yang lain, 
demikian pula syariat agama tertentu tidak bisa menghapuskan syariat dalam 
agama lain, semata-mata karena agama tertentu datang lebih belakangan. Qur'an 
tidak pernah menyebut dirinya sebagai "Kitab Pembatal" atas kitab-kitab suci 
yang turun sebelumnya. Sebab, jika hal itu pendapat itu diikuti, maka dengan 
sendirinya batal pula asas pokok bahwa sumber semua kebenaran datang dari 
sumber yang sama. Bagaimana mungkin sebuah wahyu yang sama-sama turun dari 
Tuhan dibatalkan oleh wahyu lain yang juga datang dari sumber yang sama?

Mengomentari ayat dalam Surah Ali Imran, ayat 85, yang artinya, "Barangsiapa 
menghendaki agama lain selain Islam (agama ketundukan kepada Allah), maka hal 
itu tidak akan diterima," seorang penerjemah Quran modern yang otoritatif, 
Abdullah Yusuf Ali, mengemukakan hal berikut ini:

"The Muslim position is clear. The Muslim does not claim to have a religion 
peculiar to himself. Islam is not a sect or an ethnic religion. In its view all 
Religion (huruf besar dari Abdullah Yusuf Ali sendiri) is one, for the Truth is 
one. It was the religion preached by all the ealier prophets." (Abdullah Yusuf 
Ali, The Holy Qur'an: Translation and Commentary, hal. 150, catatan kaki no. 
418).

Artinya: Posisi umat Islam sangat jelas. Umat Islam tidak mengaku memiliki 
agama yang khusus untuk dirinya. Islam adalah bukan sejenis sekte atau agama 
etnik. Dalam pandangan mereka, semua Agama (dengan "A" besar) adalah satu, 
sebab kebenaran sejatinya ya hanya satu. Itulah agama yang diwejangkan oleh 
semua nabi terdahulu. Dalam semangat inilah, Islam melakukan sejumlah 
pembaharuan penting dalam syariat agama. Karena Islam adalah agama yang satu, 
yaitu agama ketundukan terhadap Tuhan (Abdullah Yusuf Ali, dalam terjemahan 
ayat 3:85 itu, menyelipkan komentar "submission to Allah" setelah kata "Islam", 
artinya ketundukan kepada Allah), maka sudah sewajarnya jika Islam membolehkan 
perkawinan antara seorang Muslim dengan non-Muslim dari lingkungan yang disebut 
sebagai Ahlul Kitab (Orang-Orang yang Memiliki Kitab Suci), yaitu orang Yahudi 
dan Nasrani. Surah Al Maidah, ayat 5, menerangkan dengan tegas tentang halalnya 
daging sembelihan orang-orang Ahlul Kitab serta perempuan-perempuan mereka 
untuk dikawini oleh orang Islam. Atas ayat ini, Abdullah Yusuf Ali berkomentar 
sekali lagi:

"Islam is not exclusive. Social intercourse, including inter-marriage, is 
permitted with the People of the Book." (Catatan kaki no. 700). Artinya: Islam 
bukanlah agama yang eksklusif. Hubungan sosial, termasuk di dalamnya kawin 
campur, dengan Ahlul Kitab dibolehkan oleh Islam. 

Dalam semangat Islam yang oleh Abdullah Yusuf Ali disebut sebagai agama yang 
"tak eksklusif" inilah, saya berpandangan, wallahu a'lam bish shawab, bahwa 
masalah pelarangan perayaan Natal bagi umat Islam, sebagaimana dikemukakan oleh 
sejumlah pihak, mesti ditinjau ulang secara lebih saksama dan kritis. Perayaan 
Natal adalah salah satu peristiwa keagamaan dan sosial yang sangat bermakna 
bagi umat Kristiani. Sudah tentu, setiap agama mempunyai hari raya yang 
disucikan dan dihormati. Setiap hari raya biasanya mempunyai dua aspek 
sekaligus: aspek keagamaan di mana di dalamnya tercakup ritus dan ibadah 
tertentu, dan aspek sosial yang biasanya tercermin dalam upacara dan perayaan 
di luar aspek-aspek ritual. Dalam perayaan hari raya Idul Fitri, misalnya, dua 
aspek itu bisa dilihat dengan jelas. Ada salat Ied sebagai cerminan dari aspek 
keagamaan, ada perayaan yang diselenggarakan secara berbeda-beda oleh 
masyarakat Islam sebagai cerminan dari aspek sosial hari raya Idul Fitri. 

Dua aspek ini kerapkali diabaikan dalam "fatwa" sekitar pelarangan ikut 
Perayaan Natal bagi umat Islam yang dikeluarkan oleh beberapa pihak. 
Mencampuradukkan dua aspek itu dan menghukuminya secara seragam tanpa "tafshil" 
atau perincian, jelas suatu tindakan yang kurang bijaksana. Salah satu makna 
penting dari hari raya dalam semua agama adalah adanya peristiwa sosial yang 
memungkinkan terjadinya "rekonsiliasi kembali" antar anggota-anggota 
masyarakat. Demikianlah, setiap hari raya pada hakikatnya adalah peristiwa 
rekonsiliasi, peristiwa perdamaian, peristiwa di mana kohesi dan kesatuan 
sosial direka-cipta kembali, dan dengan demikian masyarakat sebagai suatu 
entitas akan kokoh. Hari raya juga merupakan suatu kesempatan bagi anggita 
masyarakat untuk melaksanakan suatu prinsip Qur'ani, yaitu ta'aruf, saling 
mengenal secara aktif anggota masyarakat yang lain. Hal ini telah berlaku dalam 
masyarakat selama ini. Setiap Iedul Fitri, umat agama lain mengucapkan 
"selamat" kepada teman-teman mereka yang beragama Islam, bahkan ikut menikmati 
keceriaan sosial yang timbul upacara hari raya tersebut. Sudah sepantasnya jika 
umat Islam melakukan hal yang sama kepada umat agama lain, terutama umat 
Kristiani, ketika yang terakhir itu sedang merayakan hari raya mereka. Di 
sinilah berlangsung peristiwa "ta'aruf" sebagaimana dikehendaki oleh Quran.

Mengucapkan "Selamat Natal" dan ikut dalam "Perayaan Natal" jelas suatu 
tindakan yang sah dan halal dilakukan oleh umat Islam. Sebab, hal-hal tersebut 
hanya merupakan aspek sosial dari upacara Natal, bukan merupakan aspek ritual 
dari acara itu. Dalam aspek-aspek yang sifatnya ritual, jelas umat Islam tidak 
ikut campur, dan tidak sepantasnya melakukan itu. Sebagaimana orang-orang 
non-Muslim tidak akan ikut salat Idul Fitri, dan hanya sekedar ikut bahagia dan 
mengucapkan "selamat", maka begitu juga umat Islam tidak akan pernah ikut dalam 
misa Natal. Sebab aspek-aspek keagamaan semacam itu hanyalah menjadi wewenang 
eksklusif bagi pengikut agama besangkutan.

Tetapi aspek sosial dari setiap hari raya adalah sesuatu yang bisa dirayakan 
secara bersama-sama, termasuk oleh penganut agama lain. Hal itu bahkan sangat 
dianjurkan untuk mengukuhkan tali persaudaraan dalam masyarakat, dan dengan 
demikian juga menunaikan salah satu prinsip Qur'ani tentang "ta'aruf".

Sebab, aspek-aspek sosial dari hari raya setiap agama adalah sesuatu yang 
bersifat duniawi, dan agama tidak terlalu ikut campur di sana. Nabi bersabda, 
"Antum a'lamu bi umuri dunyakum," kalian lebih tahu dari aku tentang 
urusan-urusan keduniaan. 

Pandangan bahwa ikut upacara Natal adalah bid'ah karena tidak pernah dijumpai 
pada masa Nabi, dan setiap bid'ah adalah sesat, perlu diluruskan, dan hendaknya 
masyarakat tidak mudah terkecoh dengan hal ini. Bid'ah yang dilarang oleh agama 
adalah suatu inovasi atau mengadakan hal yang sama sekali baru dalam agama. 
Sebagai contoh, umat Islam dilarang untuk melakukan improvisasi dalam jumlah 
rakaat dalam Salat, sebab hal itu tak pernah dicontohkan oleh Nabi dan tak ada 
dalilnya dalam agama. Itulah makna dari sabda Nabi, "man ahdatsa fi amrina ma 
laisa minhu fahuwa raddun," barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam 
perkara (agama) ini maka hal itu akan ditolak. Tetapi inovasi dalam masalah 
keduniaan jelas sesuatu yang dianjurkan oleh agama, sebab hal itu menandakan 
adanya kreativitas dan hidupnya masyarakat. Masyarakat yang tanpa "bid'ah" 
dalam hal-hal yang bersifat keduniaan adalah pertanda bahwa ia itu mati. 

Tindakan sejumlah pihak untuk melebarkan defenisi bid'ah sehingga mencakup 
semua hal yang sebetulnya bersifat duniawi seperti perayaan Natal itu adalah 
tindakan yang kurang tepat. Adalah tidak bijaksana jika atas nama bid'ah kita 
melarang sejumlah hal yang sebetulnya termasuk dalam kawasan duniawi yang 
"mubah" atau diperbolehkan.

Sementara orang berpandangan bahwa merayakan Natal adalah tindakan yang 
dilarang oleh agama karena hal itu termasuk kategori "man tasyabbaha bi qaumin 
fa huwa minhum" (barangsiapa meniru suatu kelompok, maka ia sama dengan 
mereka). Pandangan semacam itu harus dicermati secara bijaksana dan kritis. 
Sangat tidak masuk akal jika umat Islam dilarang meniru bangsa-bangsa lain 
dalam semua hal. Sebab, semangat Islam adalah universalisme: bahwa kebenaran 
ada di mana-mana. Meniru bangsa-bangsa lain, meskipun bukan Islam, dalam hal 
kebaikan jelas dianjurkan sesuai dengan semangat tersebut. 

Yang dilarang oleh Islam adalah meniru dalam hal yang jelek dan mengandung 
mudlarrat. Dalam hal-hal yang mengandung manfa'at dan kebaikan, dan sesuai 
dengan semangat dasar Islam, jelas umat Islam diperintahkan untuk meniru. Dan 
itulah yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Islam di masa lampau: mereka menimba 
kebenaran dari semua sumber, dari Yunani, Persia, India, dan sumber-sumber 
lain. Hadis tentang larangan meniru bangsa lain, seperti dipakai oleh sejumlah 
kelompok, untuk mendasari haramnya umat Islam ikut dalam perayaan Natal, jelas 
kurang tepat. Sebab tidak ada sesuatu yang mudlarrat atau berbahaya dari segi 
apapun manakala umat Islam ikut dalam perayaan Natal. Sebab keikutsertaan itu 
hanyalah menyangkut aspek-aspek sosial dalam perayaan tersebut, bukan aspek 
ritualnya. 

Terakhir, Islam adalah agama yang didasarkan pada wawasan yang terbuka, 
inklusif, bukan kecurigaan dan kebencian pada agama lain. Hanya dengan 
memperkokoh wawasan semacam itulah, Islam menjadi agama yang membawa rahmat 
bagi semua kelompok. Kecurigaan hanya akan menimbulkan kecurigaan serupa pada 
kelompok lain, dan akan terus berkelanjutan tanpa ada habis-habisnya. Lingkaran 
setan kecurigaan semacam itu hanya bisa dipotong secara tuntas dengan 
mengedepankan kembali semangat Qur'ani tentang "ta'aruf".

Hanya Allah yang mengetahui segala hal yang benar. Wahai Yang Maha Benar, 
tunjukilah kami jalan kebenaran dan kedamaian, bukan jalan kecurigaan dan 
kebencian.  

Al haqqu min rabbika fa la takunanna min al mumtarin.

In uridu illal ishlaha wa ma taufiqi illa billah.

Wallahu a'lam bish shawab.



Jakarta, 21/12/2004

Ulil Abshar-Abdalla

Versi asli dapat dibaca di:
http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=742



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke