Benar sekali Kang,

Yang pertama ada benturan yang terjadi antara realitas/kenyataan yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari terhadap seks pada masyrakat
Indonesia dengan nilai-nilai terhadap seks yang ada dalam falsafah
kehidupan baik dari agama dan budaya bangsa.

Seharusnya ini menjadi acuan untuk kita bersama dalam mencari solusi
dan alternatif. Kalau kita melihat sisi dari realitas kehidupan yang
ada di masyrakat terutama kota-kota besar dan daerah2 miskin sekarang
ini sudah seharusnya seks bukan sekedar persoalan dosa dan pahala
semata. Dan seks jangan dipandang hanya dalam 2 jenis saja yaitu seks
dalam ikatan pernikahan dan seks diluar ikatan pernikahan.

Seks diluar ikatan pernikahan seharusnya di bagi-bagi lagi sesuai
dengan kategorinya masing2. Misalnya seks yang dilakukan 2 orang
secara sukarela tanpa adanya paksaan dan dilandasi dengan tanggung
jawab dan konsekuensi maka dasar hukumnya "boleh", toh dalam Islam
sendiri ada ketentuan yang demikian.

Kedua seks yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam kondisi terpaksa
atau dibawah paksaan. Ini hukumnya bisa saja pidana termasuk dalam
protitusi tapi dasar hukumnya adalah memberikan perlindungan terhadap
pihak yang"terpaksa" atau dalam tekanan sehingga melakukan hal
tersebut dan hukuman hanya berlaku pada pihak yang memaksa/menekan.
dalam hal protitusi maka para konsumen lah yang harus dikenakan hukuman.

Ketiga seks yang dilakukan oleh seseorang pada anak-anak dibawah umur,
hukuman pidana bisa diberlakukan hal ini mengantisipasi juga
prostitusi dikalangan para ABG.

Menyamaratakan setiap kegiatan seks diluar ikatan pernikahan, sama
saja dengan mencap setiap gatal karena ketombe:)

Salam,


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, ayeye <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Terima kasih atas penjelasan, Mas / Mbak.
> 
> Saya sepakat bahwa karakteristik budaya lokal perlu
> diperhatikan bahkan itu adalah faktor yang penting.
> Karena apa yang menurut saya terjadi di sebagian
> lapisan masrakyat di Indonesia adalah penyimpangan
> antara nilai-nilai kebudayaan yang dipertahankan di
> muka umum dan perilaku sendiri. Contohnya, semua pada
> protes pornografi, tetapi banyak yang diam-diam adalah
> konsumen sekaligus. Coba saja dipikirkan, seandainya
> jumlah konsumen hanya sedikit, produk komersial
> pornografi bakalan akan laku di Indonesia dan tidak
> perlu meributkan pornografi. Tetapi yang ingin saya
> tekankan di sini bukan soal moral yang berkurang,
> tetapi penyimpangan itu yang menciptakan situasi
> dilematis.
> 
> Dalam skenario buruk penyimpangan itu bisa menjadi bom
> waktu dalam kasus peningkatan HIV/AIDS.
> 
> Menurut saya, pandangan masrakyat Thailand soal seks
> di luar nikah pada umumnya tidak jauh berbeda dengan
> banyak masrakyat di Indonesia. Prostitusi dalam skala
> besar di Thailand boleh dikatakan merupakan phenomena
> yang relatip baru. Perkembangan dimulai dengan para
> imigran pria dari Cina yang mulai menetap di Bangkok,
> khususnya di daerah Sampeng mulai abad ke-19. Karena
> para pria hidup terpisah dari keluarga mereka,
> akhirnya prostitusi mulai berkembang dengan datangnya
> para perempuan PKS (pertamanya dari Cina juga) untuk
> melayani para pria imigran. Dulu para perempuan PKS
> hanya diizinkan untuk tinggal di dareah Sampeng dan
> diharuskan memakai nama "Mia Kim" sebagai tanda
> pengenal PKS. Prostitusi di masrakyat Thailand mulai
> lebih populer waktu kehidupan poligam sebagian elit
> mulai diketahui oleh kalangan lebih luas. Selanjutnya
> industri seks pernah mengalami boom di perang Vietnam
> dan dilanjutkan dengan turisme seks. Kalau kita
> melihat sekarang, bagian prostitusi terbesar terjadi
> di kalangan lokal. Boleh saja dibilang sudah menjadi
> kebutuhan di sebagian masrakyat. Masalahnya, di
> Thailand keperawanan masih tetap dianggap penting,
> sedangkan umur pernikahan di daerah perkotaan semakin
> meningkat. Oleh karena itu, para pemuda sering tidak
> bisa berhubungan intim dengan kekasih mereka sebelum
> nikah, maka kebanyakan lari ke tempat prostitusi untuk
> memenuhi kebutuhan seksual mereka di sana. Lagi, ini
> soal penyimpangan antara realita lingkungan yang telah
> berubah dan nilai-nilai masrakyat yang statis.
> 
> Benar ada banyak keluarga, khususnya yang miskin di
> Thailand, terutama di daerah Utara dan Utara/Timur
> yang menjual anak-anak perempuan mereka. Kemudian
> anak-anak mereka dipaksa menjadi PKS. Tetapi bukan
> berarti para keluarga setuju anak-anak perempuan
> mereka menjadi PKS, tetapi ada di antaranya yang tidak
> melihat jalan lain, karena meraka dalam keadaan
> ekonomi darurat, misalnya telah menjadi korban hutang
> yang berlimpah akibat bunga eksesif. Atau kejadian
> lain seperti penyakit yang memerlukan biaya pengobatan
> tinggi dalam relasi standar ekonomi mereka. Di
> kampung-kampung, umur nikah masih relatif mudah dan
> angka perceraian tinggi. Sering para gadis ditinggalin
> begitu saja oleh suami mereka setelah menikah dan
> mempunyai anak. Ada juga anak perempuan yang memiliki
> loyalitas tinggi sekali sama orang tua hingga
> mengorbankan diri. Ada pula yang dibohongi oleh
> agen-agen yang menjanjikan pekerjaan di restoran,
> pabrik atau di toko. Di samping itu, banyak perempuan
> PKS tidak terbuka dengan orang tuanya soal pekerjaan
> mereka yang sebenarnya. Semuanya itu mencerminkan
> bahwa masrakyat Thailand bukan bangga dengan
> prostitusinya, malahan sebaliknya. Di Indonesia juga
> banyak keluarga yang menjual anak perempuan mereka
> yang nanti dijadikan sebagai PKS, kadang-kadang mereka
> tidak tahu karena dibohongi. Masih banyak motif lain,
> termasuk para perempuan yang rela turun ke bidang seks
> komersial karena ingin memperbaiki keadaan ekonomi
> mereka, meskipun mereka tidak terpaksa sekali, dll -
> baik di Thailand maupun di Indonesia.
> 
> Seperti dengan banyak masalah rumit lainnya, memang
> tidak ada solusi yang instan dan gampang. Jelas naif
> ketika kita mengharapkan bahwa dengan sekedar
> memberikan fasilitas ATM Kondom, masalah HIV/AIDS
> dapat diatasi dengan segara. Sama naifnya kalau kita
> berharap bahwa dengan undang-undang anti-pornografi
> tidak akan ada pornografi yang beredar lagi di
> masrakyat. Saya setuju sekali dengan Anda, larangan
> semata tanpa alternatif hanyalah pembodohan belaka.
> 
> Salam,
> ayeye
> 
> **************************************************************
> 
> -deleted
> 
> **************************************************************
> 
> = Masalah na Kang juga buat Kang Ayeye, kita juga
> tidak bisa melepas
> karakteristik budaya kita terhadap seks itu sendiri
> ketika kita mau
> mensosialisasikan kondom dengan mengacu kepada
> keberhasilan di
> thailand. Artinya jangan memakai standard dari luar
> yang memang
> berbeda dengan diri kita sendiri.boro-boro untung
> malah nanti bisa
> buntung;)
> 
> seks di dalam masyrakat thailand umumnya sudah menjadi
> satu komoditi
> umum. kita bisa dengan mudah menemukan banyak keluarga
> miskin yang
> memperkerjakan anak perempuan atau laki-lakinya
> menjadi pekerja seks
> komersial dan ini bukan lagi hal yang bertentangan
> dengan norma dan
> nilai2 yang berlaku disana. enggak heran jika Thailand
> menduduki
> peringkat pertama prostitusi anak-anak yang disusul
> oleh china dan
> vietnam. Bahkan perdagangan perempuan dan anak2 di
> thailand
> terang-terangan dengan tujuan melacurkan diri berbeda
> dengan di negara
> kita yang berkedok pengiriman tenaga kerja.
> 
> Kalau boleh disimpulkan seks bagi thailand adalah satu
> kebutuhan
> mengingat seks sebagai komoditas, sedangkan di
> Indonesia seks masih di
> pandang sebagai keinginan. Memang tdk di sangkal
> adanya kelompok yang
> menjadi seks sebagai komoditas di dalam masyrakat kita
> hanya saja
> apakah kepentingan kelompok minoritas mengorbankan
> kepentingan
> mayoritas?? bagaimana perlindungan terhadap kelompok
> masyoritas?
> 
> Dari sumber kompas tgl 23 Juli 2004 di beritakan bahwa
> THAILAND yang
> pernah dianggap sebagai contoh negara dengan kisah
> sukses pencegahan
> dan pengendalian epidemi AIDS. Kini infeksi HIV,
> penyebab AIDS mulai
> perlahan merangkak naik kembali. Bukan hanya di
> kalangan pengguna
> narkorba suntik, pria homoseks, dan kaum remaja, namun
> juga di
> kalangan kaum ibu dan bayi-bayi mereka. dalam berita
> tersebut di
> paparkan tentang bagaimana masyrakat mengalami
> kejenuhan akan
> penggunaan kondom.
> 
> Intinya kondom memang bisa menjadi media penyelesaian
> sementara yang
> cukup memadai tapi bukan solusi akhir yang harus di
> wujudkan.
> menempatkan kembali seks dalam koridor yang semestinya
> adalah solsui
> yang terbaik dan jangan sampai hal ini terabaikan
> karena kita terlena
> oleh peranan kondom yang ingin kita sosialisasikan.
> 
> salam,
> 
> 
> 
>               
> __________________________________ 
> Meet your soulmate!
> Yahoo! Asia presents Meetic - where millions of singles gather
> http://asia.yahoo.com/meetic
>






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke