20 Dec 2005 - 9:28 pm
Oleh: Thoriq*
Sering kita mendengar sesumbar para pekerja Jaringan Islam Liberal yang
tersebar di internet, koran-koran 'Jinayat' JIL Terhadap Fiqih dan Fuqaha
atau dalam seminar-seminar yang mereka adakan. Pada intinya mereka selalu
mengklaim sebagai kaum paling terpelajar, intelek, modernis, progresif serta
menjunjung tinggi pengetahuan dan ilmu. Tapi pada kenyataanya jauh panggang
daripada api, sehingga pembaca jangan heran jika mengetahui bahwa ada
pekerja-pekerja JIL menulis atau berbicara ngaco, baik dalam forum-forum
atau media massa, dan hal itu tidak terjadi satu atau dua kali, tapi
berulang kali.

Tentu tulisan ini tidak hendak mengorek-ngorek kesalahan para pekerja JIL,
akan tetapi sebagai sebuah peringatan bagi kaum muslimin agar tidak langsung
menelan mentah-mentah segala informasi yang datang dari mereka. Karena
retorika dan gaya penulisan mereka yang terlihat memukau -banyak menggunakan
istilah arab maupun kontemporer- maka secara sekilas memang terlihat sangat
ilmiyah, akan tetapi jika kita mencermati dengan jeli maka kita bisa saja
terkejut atau bahkan malah tersenyum-senyum sendiri ketika di dalamnya kita
jumpai ada unsur-unsur kebohongan alias ngaco.

Kita semua paham, bahwa ide-ide mereka yang menyimpang sudah pasti tidak
akan terakomodasi oleh fiqih islam, maka ketika mereka memaksakan diri
melewati jalur fiqih akan terlihat imma membuat-buat kaidah nyleneh dan
tidak ilmiyah atau berbohong atas nama ulama' tertentu atau mengambil
pendapat-pendapat lemah dan hadist-hadist dho'if. Sebagai contoh, lihat
tulisan yang berjudul "Argumen Metodologis CLD KHI" yang dipublikasikan di
Kompas, (7/3/2005) yang juga dipublikasikan di website JIL pada tanggal
08/03/2005.

Dalam tulisan tersebut si penulis menilai bahwa ushul fiqih tidak relevan
lagi, sehingga si penulis membuat-buat beberapa kaidah sendiri-yang menurut
penilaian dia-bisa memberikan kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan
kebijaksanaan.

Kaidah 'ushul fiqih' alternatif yang pertama dipromosikan si penulis adalah,
"al-ibrah bil maqasid la bi alfadz", yang bermakna -kurang lebih-, yang
dijadikan pijakan adalah tujuan bukan lafadz.

Pembaca yang budiman, dari sini kita tahu bahwa si penulis memang tidak
mengerti apa itu ushul fiqih. Definisi ushul fiqih adalah, ma'rifah dala'il
alfiqhi ijmalan wa kaifiyah al istifadah minha wa hal almustafid (Nihayah
as-Sul, Vol I, muqadimah).

Jadi ada tiga unsur dalam ushul fiqih, pertama, ma'rifah dala'il fiqhi
(pengetahuan tentang dalil-dalil fiqih), kaifiyah al-istifadah (metodologi
penggunaan dalil), dan hal mustafid (kriteria mujtahid).

Dengan difinisi tersebut kita bisa mengetahui, mana yang termasuk ushul
fiqih dan mana yang bukan. Sehingga kita juga paham bahwa kaidah yang
diusulkan penulis tersebut sudah otomatis terkena kick out unsur pertama,
karena tujuan ushul fiqih yang pertama adalah ma'rifah dala'il fiqhi, hal
itu mencakup semua dalil yang disepakati yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, ijma'
dan qiyas, serta dalil-dalil yang diperselisihkan seperti istishab dan
istikhsan (keterangan ta'rif secara mendetail bisa dilihat di Ushul Fiqih
Universitas Al-Azhar Cairo).

Sedangkan kaidah si penulis sejak awal malah mengajak untuk meninggalkan
lafadz-lafadz, baik dari al-Qur'an atau as-Sunnah. Walhasil, semestinya si
penulis memahi terlebih dahulu makna ushul fiqih, dan batasan-batasan
definisinya, baru kemudian membuat kaidah, sehingga tidak dia sampai kecele
seperti ini.

Kaidah yang kedua semakin menampakkan ketidaktahuan si kandidat doktor ini
tentang ilmu ushul. Katanya, adalah, jawaz naskh nushus bi al-mashlahah
(boleh me-naskh nash-nash dengan maslahat). Dari sini si penulis terlihat
ingin segera menang tanpa perang alias potong kompas. Bagaimana dia bisa
mengatakan bahwa boleh me-naskh nash al-Qur'an dan as-Sunnah dengan
maslahat? Sedangkan definisi naskh sendiri adalah, bayan assyari' intiha'i
zaman al amal bi hukmin syar'iyin dhohiruhu al dawam wa dzalika bidalil
syar'i muta'akhir 'anhu nuzulan (Ahkam fi Ushuli Al-Ahkam, Vol 4, hal 64).

Yang artinya, penjelasan dari pembuat syari'at (Allah SWT) tentang habisnya
masa pengamalan hukum syar'i yang secara dzahir (bagi kita) tetap langgeng
dan hal itu dengan dalil syar'i yang turun lebih akhir darinya.

Memang ada definisi-definisi lain, tapi semuanya tidak jauh berbeda. Dari
ta'rif yang ada kita bisa menyimpulkan bahwa hukum yang dihapus (mansukh)
adalah hukum syar'i, sedangkan dalil yang menghapus adalah dalil syar'i
pula, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, maka ijma' dan qiyas tidak bisa
me-naskh.

Maka sudah jelas bahwa kaidah si penulis diluar makna naskh, karena
membolehkn naskh tidak dengan dalil syar'i, akan tetapi si penulis sudah
terlanjur potong kompas dengan membuat kaidah, jawaz naskh.

Maka, jika si penulis ingin agar kaidahnya selamat dari "cacat ilmiyah" dia
harus berjuang mati-matian terlebih dahulu untuk membuat difinisi naskh
tersendiri untuk menampung kaidah hasil temuannya, jangan nebeng definisi
dari ilmu ushul fiqih.

Tentu saja untuk ini, si penulis akan tetap berhadapan dengan 'tembok',
karena apa yang telah dia definisikan tetap saja bukan termasuk dalam artian
naskh.

Kaidah selanjutnya adalah, yajuzu tanqih al-nushus bi al-'aql al-mujtama'.
Dalam bahasa si penulis, boleh mengamademen nash-nash dengan pemikiran
masyarakat. Sebetulnya ketiga kaidah ini sama saja intinya, yaitu mengajak
agar kita meninggalkan nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah.

Akan tetapi dengan kaidah yang ketiga ini akan terlihat betapa sempurna
sudah kejahilan penulis akan ilmu ushul. Mengapa?

Pertama, sebagaimana yang telah kita bahas di atas, bahwa tujuan ushul fiqh
yang pertama adalah untuk mengetahui dalil-dalil fiqih, hal itu mencakup
semua dalil yang disepakati yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, ijma' dan qiyas,
serta dalil-dalil yang diperselisihkan seperti istishab dan istikhsan.
Sedangkan si penulis malah hendak menjauhkan kita dari nash-nash yang ada,
maka kaidah ini tidak masuk dalam lingkup ushul fiqih.

Kedua, yang namanya kaidah itu selalu lahir dari nash-nash, baik al-Qur'an
maupun as-Sunnah, sedangkan kaidah si penulis malah hendak memvakumkan
nash-nash, maka kaidah tersebut juga otomatis tidak termasuk kaidah
fiqhiyah.

Ketiga, jika pemikiran masyarakat memiliki otoritas untuk mengamanden nash,
maka fakta menyebutkan bahwa ada masyarakat atau bahkan negara yang masih
gemar berperang, adapula masyarakat nudis, adapula masyarakat yang budayanya
akrab dengan korupsi, banyak anggota masyarakat yang suka berzina, banyak
anggota masyarakat yang mengkonsumsi narkotika.

Tentu jika kaidah itu diterapkan justru akan menimbulkan kekacauan di
mana-mana. Walhasil, hanya manusia yang tidak memiliki akal sehatlah yang
bisa menerima dan berusaha menerapkan kaidah-kaidah aneh hasil penemuan si
penulis tersebut.

Penulis JIL yang lain juga berkata ngaco di kesempatan yang berbeda, mari
kita lihat tulisan yang dipublikasikan oleh website JIL pada tanggal
16/05/2005, yang berjudul "Salat Bilingual; Haruskah Menjadi Kontroversi?".

Pada paragraf ke delapan si penulis menyatakan, "Jika kita mengaca sejarah,
kita akan melihat perdebatan sengit antara Imam Abu Hanifah yang berasal
dari Parsi dan Imam Syafi'i yang berasal dari Arab keturunan Quraisy. Imam
Syafi'i adalah orang yang sangat kuat berpandangan bahwa membaca al-Fatihah
(dalam salat) dengan menggunakan bahasa Arab merupakan kewajiban. Orang yang
tidak melakukannya, shalatnya tidak sah. Sementara Abu Hanifah
memperbolehkan membaca Al Fatihah dalam bahasa Parsi atau bahasa non-Arab
lainnya, bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab."

Dari penggalan artikel di atas ada beberapa hal yang perlu dicermati.
Pertama, si penulis menilai ada perdebatan sengit antara Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi'i.
Kedua, si penulis juga menilai bahwa Imam Abu Hanifah berasal dari Parsi.

Para pembaca yang budiman, perdebatan itu tidak pernah terjadi sepanjang
sejarah, peristiwa itu hanyalah khurafat dari si penulis. Kebanyakan dari
umat Islam pun mengerti, bahwa Imam Abu Hanifah wafat tahun 150 H, sedangkan
Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H juga di Gaza Palestina, bertepatan
dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Bagaimana bisa terjadi perdebatan
sengit antara keduanya?

Khurafat penulis juga menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah berasal dari Parsi,
entah merujuk dari mana si penulis tersebut? Yang jelas dalam buku-buku
sejarah mazhab, kita dapati keterangan bahwa Imam Abu Hanifah lahir di Kufah
(Hidayah al-Thalib ila Al Bahts fi Fiqhi Al Madzahib, hal 6).

Ada hal lain yang tak kalah memprihatinkan. Feminis Siti Musdah Muliya yang
juga dikenal tokoh counter legal draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) dalam
sebuah media di bulan September 2005, sempat mengatakan, bahwa Imam Syafi'i
pernah mengatakan dalam kitabnya Al-Umm, "annikah laisa min al ibadah, wa
huwa min al syahawat" (pernikahan bukanlah termasuk bagian dari ibadah,
melainkan bagian dari syahwat).

Dalam sejarah, Imam Syafi'i tidak pernah mengatakan kalimat seperti itu,
baik dalam Al-Umm maupun dalam karya-karya beliau yang lain.

Bahkan di dalam Al-Umm beliau sendiri mengatakan: "Jika lelaki menjadi wali
atas dirinya sendiri, begitu juga wanita (janda) aku lebih menyukai agar
kedua-kuduanya menikah jika termasuk dari mereka yang menginginkan
pernikahan, karena Allah swt. telah memerintahkan, meridhoi dan
mensunahkannya, serta menjadikan pernikahan itu sebagai penyebab-penyebab
datangnya hal-hal yang bermanfaat." (Al Umm, Vol VI, 373).

Jika perempuan aktivis feminisme itu mengatahui bahwa Imam Syafi'i tidak
pernah berbicara seperti apa yang dia katakan, lantas dia dengan sengaja
menisbatkan perkataan itu kapada beliau, maka feminis itu telah melakukan
tindakan yang amat keji, karena berani memfitnah Imam Syafi'i sekaligus
melakukan pembodohan terhadap umat, na'udzubillahi min dzalik.

Jika dia tidak tahu bahwa Imam Syafi'i tidak pernah mengatakan perkataan itu
lantas ia berani menisbatkan perkataan itu kepada beliau maka perempuan itu
telah berbicara tentang agama tanpa didasari ilmu, alias asbun. Inilah yang
disebut nashru al-bathil bi al-bathil. Wallahu 'alam bi al showab.

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syari'ah Islamiyah Al Azhar Mesir



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke