http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/24/opini/2462735.htm
Konvensi Hak Anak dan Bangsa yang Beradab Lingga Setiawan Membaca "Raju Masih Kecil Kok Sudah Dipenjara..." (Kompas, 22/2/2006), muncul pertanyaan, dalam sistem peradilan pidana, bagaimana penegak hukum harus bertindak dan memahami "falsafah perlindungan anak". Dengan demikian, penyelesaian perkara-perkara pidana anak dapat diselesaikan dalam perspektif "perlindungan terhadap anak". Di sisi lain, proses penegakan hukum pidana tak mencederai rasa keadilan. Falsafah yang paling nyata dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU No 23/2003 tentang Perlindungan Anak adalah kewajiban semua pihak memberikan perlindungan terhadap anak. Ini merupakan bagian apresiasi penegakan HAM. Inilah dasar undang-undang yang harus dipahami tiap aparat penegak hukum terkait dengan proses peradilan pidana anak, yaitu penyidik anak, petugas Balai Pemasyarakatan, jaksa penuntut umum anak, hakim anak, hingga petugas LP Anak. Penegakan hak kesejahteraan anak dan perlindungan terhadap anak sebagai bagian natural law (yang berasal dari Tuhan, tidak berubah dan berganti), sama di semua tempat, waktu, dan berlaku universal di muka bumi. Tiap orang menyandang hak apalagi ia seorang anak karena manusia membutuhkan hak sejak dilahirkan sebagaimana ia membutuhkan makan, minum, tempat, dan kehidupan sebagai makhluk hidup (John O'Manique, Human Rights and Development ). Konvensi Hak Anak Guna melindungi anak, dunia internasional telah memiliki Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan Majelis Umum PBB 20 November 1989. Indonesia telah meratifikasi KHA itu melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990, tanggal 25 Agustus 1990. Dengan meratifikasi, Indonesia terikat KHA berikut konsekuensinya. Tiap produk dan keputusan hukum yang menyangkut kehidupan anak harus berpedoman pada KHA. Maka, jika Indonesia ingin dipandang beradab oleh dunia internasional, tak ada pilihan lain kecuali menghormati dan melaksanakan KHA, terutama dalam membuat produk dan keputusan hukum yang terkait dengan anak. Maka, dalam sistem peradilan pidana, para penegak hukum harus berpegang pada tujuan dan falsafah dasar KHA dan diterapkan secara dinamis dengan memerhatikan dampak buruk pemidanaan yang represif bagi seorang anak. Namun, yang sering menjadi keprihatinan kita justru rendahnya pemahaman aparatur penegak hukum tentang KHA sebagai pedoman. Memang, sosialisasinya kurang, hak anak-anak pun sering dilupakan karena kita yang dewasa lebih disibukkan oleh isu-isu lain, seperti pemberantasan korupsi, dan terorisme. Akan menjadi ironi jika penegakan hukum tidak mengindahkan hak-hak anak. "Ultimatum Remidium" UU Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak telah mengakomodasi perlindungan anak dan memberikan ruang bagi hakim untuk menerapkannya dalam menjatuhkan putusan atas pidana yang dilakukan anak, peran hakim begitu dominan. Ada baiknya hakim Indonesia menyimak pendapat sosiolog hukum Prof Dr Satjipto Rahardjo SH. Dalam diskusi panel, dikemukakan, " .hakim tidak boleh hanya berlindung di belakang undang-undang, ia harus tampil dalam totalitas termasuk dengan nurani... Hukum, undang-undang hanya kertas dengan tulisan umum dan abstrak. Di tangan para hakim, ia menjadi keadilan yang hidup." Pasal 3 Konvensi Hak Anak menyebutkan, "Dalam semua tindakan yang menyangkut anak- anak, baik yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, para penguasa pemerintahan atau badan legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama." Artinya, pertimbangan utama hakim mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap anak adalah kepentingan terbaik bagi anak yang berorientasi kepada keadilan, bukan atas kekakuan hukum pidana atau hukum acara. Terhadap anak yang terbukti melakukan kejahatan, hakim harus mengambil keputusan bijak dengan memerhatikan latar belakang kehidupan anak, latar belakang kehidupan keluarga anak, faktor-faktor pencetus terjadinya kejahatan, dan yang terpenting, kemampuan mental dan kesehatan fisik seorang anak yang akan menanggung beban pemidanaan (jika dijatuhi pidana). Juga harus diingat, kekakuan dan formalitas proses peradilan pidana merupakan beban tersendiri bagi seorang anak yang harus diperhatikan dalam penjatuhan putusan. Anak pelaku kejahatan dapat saja tidak dijatuhi pidana, yaitu dikenai tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 22 dan 24 UU 3 Tahun 1997. Penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan terhadap seorang anak pelaku kejahatan harus dilakukan oleh hakim sebagai hal ultimum remedium, pilihan terakhir, dan hanya untuk kepentingan anak. Bagaimanapun penjara bukan tempat yang baik bagi anak. Di sisi lain hakim harus memerhatikan keseimbangan dan tuntutan keadilan dari masyarakat yang terkena dampak kejahatan. Upaya paksa (penahanan, perampasan hak-hak tertentu) jika tidak mengganggu proses peradilan pidana selayaknya tidak dilakukan. Lingga Setiawan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/