Nurcholish Madjid Cs
Memperkosa Ushul Fiqih
Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agamanya

Tragis benar. Dalam tulisan maupun ucapan, Nurcholish Madjid cs dari
Paramadina sering mengemukakan hajat mereka, "memecahkan problem kekinian".
Fiqih klasik pun dikecam sebagai tidak mampu memecahkan problem kekinian.
Dan bukan hanya Fiqih klasik yang dituduh dan dikecam, namun Imam Syafi'I
mujtahid mutlak yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar metodologi untuk
fiqih yang disebut ushul fiqih pun dikecam-kecam. Kecamannya tak
tanggung-tanggung. Ulama yang diakui dunia sepanjang sejarah itu telah
dipersalahkan oleh Nurcholish Madjid cs sebagai orang yang mengakibatkan
terjeratnya umat Islam selama 12 abad dalam kerangkeng metodologi yang
diciptakan Imam Syafi'i. Sebegitu lantangnya dalam melontarkan kecaman dan
pemojokan terhadap ulama terkemuka. Namun, di balik kegagahan orang-orang
Paramadina dalam polah "kaduk wani kurang dugo" (terlalu berani dan tidak
mengukur kemampuan dirinya) itu, apa yang mereka slogankan yakni
"memecahkan problem kekinian" tinggal slogan kosong belaka. Pasalnya, mereka
sendiri ketika bertarung dengan kelompok kecil di suatu ruangan saja sudah
tidak mampu mempertanggung jawabkan perkataan mereka yang baru saja
diucapkan, apalagi mempertanggung jawabkan teks yang mereka buat berupa buku
yang mereka beri judul Fiqih Lintas Agama (FLA). Itulah peristiwa ketika
Paramadina yang diwakili Dr Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi (kedua-duanya
alumni Mesir) berhadapan dengan MMI (Majelis Mujahaidin Indonesia) yang
diwakili M Tholib dan Halawi Makmun, di UIN (Universitas Islam Negeri,
dahulu IAIN) Jakarta, Kamis 15 Januari 2004 dalam debat yang disebut diskusi
dan bedah buku FLA yang dihadiri sekitar 150-an orang.[1]

Tragis memang. Secara tersirat Paramadina (Nurcholish Madjid cs/ NM cs) mau
jadi pahlawan sebagai orang-orang yang mengaku mau memecahkan problem
kekinian. Namun, alih-alih mampu memecahkan problem kekinian. Lha wong
memecahkan problem yang ditimbulkan dari ucapannya sendiri yang baru saja
diucapkan saja tidak bisa, tidak mampu. Contohnya, utusan Paramadina itu
dengan gagahnya membuat "fiqih tandingan" seperti itu dengan alasan apa yang
mereka sebut ucapan Ibnu Taimiyah: "Antum rijal wa nahnu rijal" (Kalian
laki-laki dan kami juga laki-laki). Makanya mereka enteng saja
mengecam-ngecam Imam Syafi'I, ulama terkemuka dalam hal fiqih, bahkan
peletak dasar motodologi dalam mengistinbatkan (menyimpulkan) hukum-hukum
dari Al-Qur'an dan As-Sunnah ke dalam fiqih. Lalu kelantangan dan kegagahan
orang Paramadina ini bagai kerupuk kena air, ketika Halawi Makmun dari MMI
mengatakan, bahwa perkataan "Antum rijal wa nahnu rijal" (kalian laki-laki
dan kami juga laki-laki) itu bukan perkataan Ibnu Taimiyah, tetapi perkataan
Abu Hanifah, Haulaai rijal wa nahnu rijal (mereka laki-laki dan kami juga
laki-laki). Dan persoalannya adalah: Kalau yang berkata itu sahabat Nabi saw
maka kami (Abu Hanifah sebagai generasi Tabi'in/ sesudah generasi Sahabat)
akan tunduk. Tetapi kalau yang berkata itu sama-sama Tabi'in, maka "Haulaai
rijal wa nahnu rijal" (mereka laki-laki dan kami juga laki-laki).

Itulah di antara problem yang baru saja dicipta sendiri oleh orang
Paramadina. Mereka tak mampu berkelit, walau dalam diskusi itu mengandalkan
retorika, logika, dan suara keras yang sengit. Namun itu semua justru
menampakkan jati diri orang-orang Paramadina, yang selama ini seakan
citranya itu "ilmiyah", namun justru emosional dan tak ilmiyah, serba kilah
dan ngambang, mengalihkan persoalan yang diajukan untuk dijawab, namun tak
mereka jawab. Sekali lagi, problem dalam ruangan sempit yang mereka buat
sendiri saja tak mampu mereka pecahkan, lha kok sok mau memecahkan problem
kekinian sambil mengecam-ngecam ulama salaf, yang tentu saja para ulama
terdahulu itu tidak terbebani untuk bertanggung jawab mengenai apa-apa yang
terjadi kini.

Di samping itu kelompok Paramadina ini masih lebih tidak mampu pula dalam
memecahkan problem teks yang mereka buat ramai-ramai dalam buku Fiqih Lintas
Agama setebal  274 halaman, namun isinya ada ejekan terhadap fiqih
karya-karya para ulama yang disebutnya sebagai sangat sederhana. Padahal
dari segi fisik, betapa berjilid-jilidnya kitab fiqih karya para ulama. Itu
belum dari segi isi. "Fiqih tandingan", FLA  bikinan Paramadina ini, dari
segi fisik maupun bobot tentu tak ada apa-apanya dibanding karya para ulama,
walaupun mereka (para ulama) menyusun fiqihnya itu tidak secara
beramai-ramai bersamaan atas biaya dari orang kafir. Tidak. Namun kenapa
orang-orang Paramadina ini berani mengecam-ngecam, baik lewat FLA-nya maupun
langsung dalam diskusi? Justru di situlah perbedaannya dengan sikap para
ulama. Adapun karya NM cs  yang belum tentu berbobot ini sudah dihiasi
dengan sikap yang tidak ilmiyah dan bahkan bisa terkesan suu-ul adab (buruk
akhlaq). Dapatkah problem kekinian dipecahkan dengan cara seperti itu?

Kata pepatah Arab, faaqidu syai' laa yu'thi. Orang yang tak punya apa-apa,
maka tidak bisa memberi. Ini bisa ditarik pengertian, orang yang sedang
dirundung problem sendiri -akibat dia buat-buat sendiri-dan harus
dipertanggung jawabkan, maka mesti lebih dulu harus memecahkan dan
mempertanggung jawabkan apa yang mereka buat itu. Tidak bisa langsung
memecahkan problem di luar diri mereka.

Provokasi kebencian terhadap Imam Syafi'i

Lakon seperti itu benar-benar diujudkan oleh Nurcholish Madjid cs (NM cs),
yaitu mengecam Imam Syafi'I yang telah berjasa besar dalam memberikan
khazanah keilmuan Islam, di antaranya metodologi "pembuatan" fiqih, namun
justru dikecam oleh Nurcholish Madjid cs sebagai orang yang telah
mengakibatkan terkerangkengnya umat Islam selama 12 abad dalam metodologi
yang diciptakan Imam Syafi'i. Mestinya, kalau NM cs mau jujur, cukuplah
apa-apa yang telah diwariskan oleh Imam Syafi'I itu dirujuk kepada Al-Qur'an
dan As-Sunnah, lalu tatkala ditemukan kesalahan atau bahkan penyimpangan
maka diluruskan.  Itulah yang ilmiyah dan Islami, bukan malah
mengecam-ngecam sambil sesumbar: "Mereka laki-laki, kami juga laki-laki",
yang sesumbarnya itu sendiri pengutipan dan kegunaannya salah lagi.

Untuk lebih jelasnya, inilah kecaman yang dikemukakan Nurcholish Madjid cs
kepada Imam Syafi'i.

Kutipan:
"Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran
fiqih yang dibuat imam Syafi'i. Kita lupa, imam Syafi'i memang arsitek ushul
fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi'ilah pemikiran-pemikiran
fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi'i
meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu
keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi'i itu
diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi
juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar'i (Al-Qur'an dan hadits).
Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka
Syafi'i." (FLA, halaman 5).

Tanggapan:
Ungkapan NM cs: "kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam
Syafi'I", itu bukan ungkapan wajar apalagi ilmiyah. Lebih tepat untuk
disebut provokasi kebencian. Namun di balik itu, dalam buku FLA itu sendiri
(4 halaman sebelum pengecaman ini sendiri) dikutip pula ungkapan Imam Syafi'
I, bahkan dijadikan benner teratas dalam Mukadimah, walau belum tentu yang
dimaksud sama dengan yang dituju Paramadina. Yaitu ungkapan Imam Syafi'I
yang berbunyi:
"Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang
lain salah, tapi bisa saja benar." (FLA halaman 1).

Pertanyaan yang perlu diajukan kepada NM cs: Kalau memang Imam Syafi'I itu
membuat "kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih" apa perlunya Imam Syafi'I
mengemukakan kemungkinan pendapat dirinya salah dan kemungkinan pendapat
orang lain benar itu?

Mestinya, kalau Imam Syafi'i itu seperti yang dituduhkan oleh Nurcholish
Madjid cs, ungkapan yang cocok diucapkan Imam Syafi'i adalah: "Jangan
diikuti pendapat selain pendapatku, karena selain pendapatku itu salah
semua. Dan yang benar hanya pendapatku."  Ternyata tidak ada ungkapan Imam
Syafi'i yang sekonyol itu, dan yang ada justru yang telah dikutip oleh
Nurcholish Madjid cs itu.

Satu kosong untuk Imam Syafi'i. Imam Syafi'i bernilai satu, Nurcholish
Madjid cs bernilai kosong.

Dari segi penulisan saja, NM cs ini sama dengan membuat kubur untuk dirinya
sendiri. Buktinya, itu tadi, kecaman NM cs terhadap Imam Syafi'i cukup
dibalikkan dengan tulisan NM cs sendiri yang justru mengutip ucapan Imam
Syafi'i yang isinya berbalikan total dengan kecaman.

Kemudian tuduhan NM cs: ".karena Syafi'ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak
berkembang selama kurang lebih dua belas abad.." Sekali lagi, mestinya NM cs
menunjuk saja, kalau memang Imam Syafi'i itu salah, tak sesuai dengan Al-Qur
'an dan As-Sunnah, kemukakan itu. Sehingga bukan tuduhan kosong, sampai
dibilang jerat segala. Kata-kata kerangkeng, belenggu, dan jerat dinisbatkan
kepada perbuatan Imam Syafi'i terhadap Umat Islam. Benarkah itu? Dan apakah
benar, umat Islam ini lebih mengagungkan karya Imam Syafi'i dibanding Al-Qur
'an dan As-Sunnah hanya dengan bukti pernyataan bikinan NM cs bahwa:
"Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah
kerangka Syafi'i".

Kepada NM cs perlu dikemukakan, di antara ilmu alat untuk memahami Al-Qur'an
dan As-Sunnah adalah ilmu nahwu-shorof (tatabahasa Arab). Para ulama ahli
ilmu nahwu telah merumuskan kaidah-kaidah. Imam Sibawaih dan lainnya
terkemuka dalam bidang ilmu nahwu ini dan besar pengaruhnya sampai kini.
Para penafsir Al-Qur'an dan pensyarah Hadits pun untuk memahami kedudukan
kalimat-kalimat dalam  Al-Qur'an dan Hadits itu merujuk kepada ilmu nahwu.
Apakah yang seperti itu kemudian Imam Sibawaih dan lainnya bisa dituduh
bahwa mereka telah membuat kerangkeng, belenggu, dan jerat dalam keilmuan di
kalangan Islam selama berabad-abad? Dan apakah para ahli tafsir, ahli fiqih
dan ahli-ahli ilmu Islam yang semuanya mesti merujuk kepada ilmu nahwu
ketika memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits itu bisa disebut lebih
mengagungkan ilmu nahwu dibanding Al-Qur'an dan Hadits? Tidak!

Contoh praktis sehari-hari, kita melaksanakan shalat wajib lima waktu setiap
harinya dengan menggunakan patokan jadwal waktu sholat yang dibuat oleh para
ahli ilmu falak. Jadwal waktu sholat itu telah dibuat untuk petunjuk waktu
sholat sepanjang masa. Umat Islam menggunakan jadwal waktu sholat itu. Dan
jadwal waktu itu sudah dicocokkan oleh para ulama ahli falak dengan dalil
dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga ketika orang membaca Al-Qur'an dan
hadits mengenai waktu-waktu sholat, maka dalam prakteknya mengikuti jadwal
sholat yang dibuat para ulama ahli falak. Apakah dengan kenyataan itu lalu
dengan mudahnya untuk dikecamkan kepada para ulama pembuat jadwal waktu
sholat bahwa mereka telah membuat kerangkeng, belenggu, dan jerat, sehingga
umat Islam lebih mengagungkan "jadwal waktu sholat" dibanding Al-Qur'an dan
Hadits?

Demikian pula orang menafsirkan atau lebih tepatnya dalam hal fiqih ini
mengistinbatkan (menyimpulkan) hukum (bagi yang telah memenuhi syarat
kemampuannya) dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits memakai ushul fiqih,
metodologi yang perintisnya adalah Imam Syafi'i. Apakah itu bisa dituduh
sebagai lebih mengagungkan dan lebih tunduk kepada karya Imam Syafi'I
daripada Al-Qur'an dan As-Sunnah? Dan apakah pembuat metodologi itu bisa
dituduh sebagai pembuat kerangkeng, belenggu dan jerat pemikiran fiqih?

Di dalam ilmu umum, misalnya dengan adanya peta dunia, peta negara, peta
kota dan sebagainya, maka orang bisa menggunakannya sebagai petunjuk. Apakah
pembuat peta itu bisa dituduh sebagai pembuat kerangkeng, belenggu, dan
jerat terhadap manusia dalam keilmuan selama berabad-abad? Ini benar-benar
sulit untuk dimengerti jalan fikiran NM cs ini. Dari semula nyeleneh sudah
berubah menjadi main tuduh sembarangan.

Kerja maraton menggembosi Fiqih di kalangan kiai-kiai NU

Bolehlah Masdar F Mas'udi berbangga dan menepuk dada, misalnya (tetapi ini
hanya misal), karena selama ini sejak tahun 1985-an dengan lembaganya P3M
telah aktif mempengaruhi kiai-kiai pesantren terutama dari kalangan NU
(Nahdlatul Ulama) secara intensif dari satu tempat ke tempat lain, dari satu
pesantren ke pesantren lain, dari satu acara ke acara lain secara rutin dan
terprogram. Semua itu untuk menyuntikkan pembuyaran ushul fiqih, fiqih, dan
kaidah-kaidah yang melingkupinya. Masdar boleh bangga, karena memang kerja
keras dan sistematis dengan dibiayai oleh orang luar  (kalau orang yang tak
suka biasanya menyebutnya: orang kafir) ke sana-sini dengan dipandegani
(dimotori) oleh Masdar sendiri serta Muslim Abdurrahman dari Muhammadiyah
(kalau sekarang dibantu Zuhairi Misrawi alumni Mesir bergelut di filsafat).
Upaya "penggembosan"/ pengempesan fiqih sejak tahun 1985-an telah dirasa
membawa hasil. Yaitu di antaranya bisa "mempluralismekan" sebagian kiai-kiai
NU (Nahdlatul Ulama). Dengan bukti, sudah tidak menganggap haram adanya do'a
bersama antar agama, bahkan langsung mereka menyelenggarakan pula, bahkan
pernah diselenggarakan secara nasional di masa pemerintahan Gus Dur/
Abdurrahman Wahid tahun 2000-an.

Namun "kesuksesan" dalam menggarap sebagian kiai NU belum merupakan pertanda
"sukses" bila "go publik", walaupun hanya di sebuah ruangan tak begitu luas
dan itupun di kandang yang diperkirakan mendukung fahamnya, dan walaupun
didukung-dukung secara ramai-ramai dan bergabung di dalam wadah yang namanya
Paramadina, serta didukung dana oleh The Asia Foundation yang duitnya, kata
Ulil Abshar Abdalla (Kordinator JIL/ Jaringan Islam Liberal), bersumber dari
orang-orang kaya di Amerika dan pajak dari Amerika.

Bahkan, walaupun Masdar F Mas'udi di jajaran buku FLA terbitan Paramadina
itu kemungkinan dianggap sebagai "suhunya" lantaran sudah terbukti
pengalamannya dalam menggarap kiai-kiai NU se-Indonesia tingkat local dan
nasional secara berlama-lama, dan telah dianggap sebagai orang yang telah
mampu menjebol benteng Ushul Fiqih kemudian apalagi Fiqihnya, sekaligus
tokoh utamanya yakni Imam As-Syafi'I, namun  sekali lagi ketika dihadapkan
kepada Umat Islam non NU dan non liberal serta yang tak semodel dengan
Paramadina, maka sekalipun diusung oleh dua tokohnya yang kedua duanya
lulusan Mesir, tetap saja terpuruk.

Pelajaran pahit. Tidak bisa disamakan umat Islam ini secara pukul rata
dengan sebagian kiai-kiai NU atau pengikut JIL (Jaringan Islam Liberal),
atau murid-murid setia Paramadina, atau orang-orang yang suka mundak-munduk
dan mindak-mindik (bergaya sangat santun untuk mencari kesempatan masuk) ke
pintu-pintu pejabat ataupun pintu orang asing yang punya dana. Keterpurukan
pihak Paramadina di depan publik ketika acara debat/ diskusi dan bedah buku
Fiqih Lintas Agama yang diselenggarakan Paramadina di IAIN (UIN Universitas
Islam Negeri) Jakarta, Kamis 15 Januari 2004, atas "tantangan" MMI (Majelis
Mujahidin Indonesia) adalah pengalaman pahit bagi Paramadina, Dr Zainun
Kamal dan Zuhairi Misrawi utusan Paramadina. Sekalipun Masdar F Mas'udi
tidak tampak hadir, demikian pula Nurcholish Madjid yang sebenarnya justru
diharapkan hadir oleh M Thalib dan Halawi Makmun (Majelis Mujahidin) yang
bertandang di tempat yang semula diusulkan untuk disebut debat publik itu,
namun tentu  sebenarnya yang harus menangung beban lebih dalam hal
keterpurukan itu adalah Masdar F Mas'udi dan Nurcholish Madjid.

Kenapa?

Karena dari segi pembidangan ilmu, dari kelompok yang tergabung dalam
penulisan buku FLA itu yang lebih konsen dan berpengalaman mensosialisasikan
"penggembosan" (pengempesan) terhadap Imam As-Syafi'I, Ushul Fiqih, dan
Fiqih adalah Masdar F Mas'udi. Dan yang sudah berpengalaman malang melintang
dalam menghadapi kiai-kiai NU yang bisa diliberalkan maupun tidak adalah
Masdar F Mas'udi. Bahkan yang sudah keterlaluan dalam pembicaraan masalah
hukum Islam (fiqih) adalah Masdar F Mas'udi. Sampai-sampai, ulama seniornya
sendiri dalam NU, yakni KH Ma'ruf Amin yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI
(Majelis Ulama Indonesia) pun dibantah mentah-mentah karena KH Ma'ruf Amin
tetap mengharamkan zina secara mutlak. Sedang bantahan Masdar Farid Mas'udi
hanya karena mengkategorikan dirinya sendiri sebagai ulama INUL (katanya
ulama Ikatan NU Liberal) maka berani mengemukakan, kalau berzina maka
pakailah kondom[2]. Astaghfirullahal 'adhiem. Jadi Masdar lebih mementingkan
pemasaran kondom daripada haramnya zina dan dosanya. Seandainya benar dia
ulama, sesuai dengan Al-Qur'an, "Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada
Allah dari hamba-hamba-Nya itu hanyalah para ulama"; maka kalimat yang
pantas dia ucapkan adalah: "Kalau terlanjur berzina maka bertaubatlah
taubatan nasuha, taubat yang benar-benar taubat, dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi". Namun karena dia sendiri menamakan dirinya ulama Inul, ya
justru ungkapannya lain. Yo wis, ora karuan! (Ya sudah, tidak keruan!).

Sementara itu Nurcholish Madjid adalah orang yang dikenal sebagai sesepuh
Paramadina dan rector Universitas Paramadina Mulya, yang memang sempat pula
"menggembosi" fiqih.[3] Namun menjadi bumerang bagi Nurcholish, karena
bagaimanapun, secara tertulis Nurcholish Madjid mengakui bahwa Imam Syafi'I
benar-benar diakui sebagai peletak dasar metodologi dalam hal hukum  Islam.
Hingga Nurcholish menyebut orang Barat pun mengakuinya. (Lihat Kata
Pengantar yang ditulis Nurcholish Madjid dalam buku terjemahan Ar-Risalah,
Pustaka Firdaus, Jakarta, cetakan pertama, 1986). Persoalan Nurcholish
Madjid "memuji" Imam Syafi'I dalam buku terjemahan Ar-Risalah tetapi di buku
FLA yang ditulis NM cs justru mengecam-ngecam keras Imam Syafi'I inilah
salah satu yang dipersoalkan M Tholib dari MMI dalam diskusi di UIN Jakarta,
dan tiada jawabnya, bahkan NM sendiri tak bersedia hadir.

Desain Besar: Menghadang Formalisasi Syari'at, Aqidah, dan Jihad

Nurcholish Madjid (kini dengan teman-temannya) punya visi dan missi
menghadang apa yang sering mereka kecam yaitu formalisasi syari'ah, sedang
formalisasi syari'ah itu perangkat yang dianggap sebagai bahan utamanya
adalah fiqih, maka sebelum terlaksana formalisasi syari'at itu lebih dulu
dihancurkanlah fiqihnya. Untuk menghancurkan fiqihnya, mesti harus
dihancurkan ushul fiqihnya, karena sebagai landasan dan metodologi yang
menjadi pijakan kuat pengembangan fiqih. Untuk merobohkan ushul fiqih maka
diupayakanlah memburukkan citra perintis utamanya, yaitu Imam As-Syafi'i.
Kalau semua itu sudah diporak porandakan, maka formalisasi syari'at akan
layu sebelum tumbuh. Itulah kronologi singkatnya. Dan hal itu bisa disimak,
bagaimana upaya Nurcholish Madjid dalam menempuh pembendungan penerapan
syari'at itu. Buku FLA itu adalah tahap lanjutan dari pengomandoan
pembabatan fiqih yang telah Nurcholish tulis dalam buku Charles Kurzman, ed.
Wacana Islam Liberal, (terjemahan) yang diterbitkan oleh Paramadina pula,
Jakarta, cetakan 1, 2001.

Sehubungan dengan diterbitkannya buku FLA oleh Paramadina dan dimotori oleh
Nurcholish Madjid cs itu merupakan penjabaran dari tulisan Nurcholish Madjid
dalam buku Wacana Islam Liberal  yang intinya adalah untuk menghadang
penerapan syari'at Islam, maka latar belakang itu perlu kita putar ulang.
Saya mohon maaf  dan kesabaran para pembaca, berikut ini saya kutipkan
tanggapan saya terhadap tulisan Nurcholish Madjid yang ternyata tampak
seriusnya setelah munculnya buku FLA. Inilah kutipan dari buku saya, Bahaya
Islam Liberal:

Selanjutnya, berikut ini saya kutip bagian akhir tulisannya (Nurcholish
Madjid) agak panjang.

Kutipan:

"Faktor kedua adalah legalisme, yang membawa sebagian kaum muslim pada
pikiran apologetis "Negara Islam" itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi
yang serba legalistik kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang
menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme
ini merupakan kelanjutan "Fikihisme" (fikh-eism). Fikih adalah kodifikasi
hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga
Hijrah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang
mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang
amat luas dan rakyat yang amat banyak. "Fikihisme" ini begitu dominan di
kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan reformasi pun umumnya masih
memusatkan sasarannya kepada bidang itu. Susunan hukum ini juga
kadang-kadang disebut sebagai syari'at. Maka, "Negara Islam" itupun suatu
apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan
syari'at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya. Padahal sudah
jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah
kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan
perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan
pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya,
sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja,
melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya
merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk
mengatur kehidupan bersama.

Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep "Negara Islam" itu adalah suatu
distorsi hubungan proporsional antara negara dengan agama. Negara adalah
salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan
kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya
adalah spiritual dan pribadi.

Memang antara agama dengan negara tidak dapat dipisahkan, sebagaimana telah
diterangkan di muka. Melalui individu-individu warga negara, terdapat
pertalian yang tidak terpisahkan antara motivasi (sikap batin bernegara) dan
aksi (sikap lahir bernegara)."[4]

Tanggapan:

Bagaimanapun, landasan berpikir Nurcholish Madjid itu telah gugur, yaitu
pada butir pertama di atas, yang dia menyalahkan orang namun justru dirinya
sendiri hujjahnya bertentangan dengan ayat Al-Qur'an. Sebenarnya uraiannya
yang terakhir itu tidak usah dikomentari, sudah jelas, landasannya keropos.
Tetapi, cara dia  bikin istilah penyudutan (?) yaitu apa yang ia sebut
fikihisme, lalu dia katakan kehilangan relevansinya walau sudah diperbarui;
itu semua adalah penafian realitas.

Tentang Negara Islam, sebenarnya adalah realita sejarah, dari zaman Nabi saw
sampai Khulafaur Rasyidin dan para khalifah ataupun para sultan yang
berlanjut selama berabad-abad; itu adalah satu bentuk pemerintahan Islam.
Yang dipakai pun hukum Islam atau syari'at Islam. Itu adalah kenyataan,
bukan dongeng. Bahkan adanya pemerintahan Islam atau sekarang bisa disebut
negara Islam itu sudah sejak sebelum adanya fiqh.

Kenapa Nurcholish Madjid memutar balikkan fakta, sehinga ia katakan:
".legalisme membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis "Negara
Islam". Legalisme ini merupakan kelanjutan "Fikihisme" (fikh-eism). Fikh
adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad
kedua dan ketiga Hijrah."

Selama manusia itu jujur, dia akan mengakui, pemerintahan Islam jelas sudah
ada sejak sebelum munculnya fiqh yang Nurcholish sebut  abad kedua Hijrah,
karena pemerintahan Islam sudah berdiri sejak Nabi saw di Madinah. Tetapi
kenapa Nurcholish katakan: pemikiran apologetik "Negara Islam" itu akibat
pemahaman legalisme, dan legalisme itu merupakan kelanjutan fikihisme?

Nurcholish boleh menuduh seperti itu, apabila yang terjadi di dunia ini
adalah: Belum pernah ada Pemerintahan/ Negara Islam, tetapi fiqh sudah
tumbuh dan berkembang, lalu membawa umat Islam ke arus legalisme, barulah
kemudian orang berapologetis "Negara Islam".

Apakah kenyataan di dunia ini seperti itu?

Jelas tidak! Pemerintahan Islam sudah berlangsung lebih dulu, baru kemudian
disusun fiqh oleh para ulama. Sedang fiqh itu sendiri isinya bukan melulu
agar umat Islam mendirikan Negara Islam.

Jadi tuduhan Nurcholish itu dari segi realita sejarah dan kenyataan di dunia
sudah tidak cocok, sedang dari segi penyudutan kepada fiqh pun tidak kena.

Lalu Nurcholish masih pula melontarkan tuduhan.

Kutipan:

"Susunan hukum ini (maksudnya fiqih, pen) juga kadang-kadang disebut sebagai
syari'at. Maka, "Negara Islam" itupun suatu apologi, di mana umat Islam
berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari'at Islam yang lebih
unggul daripada hukum-hukum lainnya."

Tanggapan:

Terhadap tuduhan Nurcholish Madjid itu, perlu diketahui, fiqih itu adalah
ilmu tentang mempraktekkan Islam, baik dalam beribadah maupun dalam hidup di
dunia ini[5]. Jadi persoalannya bukan karena umat Islam berharap menunjukkan
bahwa aturan-aturan syari'at Islam itu lebih unggul daripada hukum-hukum
lainnya, lalu berapologi dengan "Negara Islam", tetapi Negara Islam itu
adalah realita sejarah dan bahkan ijma' sahabat. Negara Islam itu
menjalankan hukum-hukum Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Adapun fiqih itu adalah jalan untuk mempraktekkan Islam, baik itu oleh umat
Islam maupun oleh pemerintah. Masing-masing ada aturannya.Hal-hal yang
pelaksananya hanya pemerintah, seperti mengadili kasus-kasus, maka harus
ditangani oleh pemerintah, bukan dilaksanakan oleh umat secara
sendiri-sendiri. Dan hal yang harus dilaksanakan oleh umat secara
sendiri-sendiri, baik itu ibadah maupun mu'amalah, maka dilaksanakan oleh
umat sendiri. Seperti ibadah sholat, jual beli dan sebagainya, dilaksanakan
oleh masing-masing individu. Dan ada juga yang dilaksanakan secara kerjasama
pemerintah dan umat, seperti pendidikan, da'wah dan sebagainya.

Praktek-praktek itu diatur dengan hukum fiqih, karena memang fiqih adalah
tatacara mempraktekkan/ mengamalkan Islam. Maka fiqh menurut istilah adalah
hukum-hukum syari'ah amali/ praktis.

Jadi, kalau kehidupan modern dianggap tidak bisa dijangkau oleh fiqih, atau
fiqih dianggap tidak bisa lagi untuk mengatur kehidupan modern, itu sama
dengan mengatakan Islam tidak bisa dipraktekkan dalam kehidupan modern.

Kenapa?

Karena fiqih itu adalah Islam praktis/ amali. Kalau Islam amali ini harus
diganti dengan "Islam Liberal amali" yang dianggap mampu untuk diterapkan di
dalam kehidupan modern, maka wadah operasionalnya adalah "Negara Islam
Liberal" yaitu negara sekuler yang menolak adanya Negara Islam dan bahkan
menolak penerapan syari'at Islam dalam kehidupan.

Walaupun diputar-putar, intinya sama, menolak syari'at Islam. Titik.

Yang jadi persoalan, untuk menolak syari'at Islam, kenapa harus melontarkan
tuduhan-tuduhan yang tidak berlandaskan bukti-bukti?

Sama dengan Darmogandul dan Gatoloco dalam Menolak Syari'at Islam

Generasi awal penolak syari'at Islam di Jawa telah dipelopori oleh
Darmogandul dan Gatoloco.

Gatoloco menolak syari'at dengan qiyas/ analog yang dibuat-buat sebagai
berikut:

"Santri berkata: Engkau makan babi. Asal doyan saja engkau makan, (engkau)
tidak takut durhaka.

Gatoloco berkata: Itu betul, memang seperti yang engkau katakan, walaupun
daging anjing, ketika dibawa kepadaku, aku selidiki. Itu daging anjing baik.
Bukan anjing curian.

Anjing itu kupelihara dari semenjak kecil. Siapa yang dapat mengadukan aku?
Daging anjing lebih halal dari daging kambing kecil. Walaupun daging kambing
kalau kambing curian, adalah lebih haram. Walaupun daging anjing, babi atau
rusa kalau dibeli adalah lebih suci dan lebih halal.[6]

Itulah penolakan syari'ah dengan qiyas/ analogi yang sekenanya, yang bisa
bermakna mengandung tuduhan. Untuk menolak hukum haramnya babi, lalu dibikin
analog:  Babi dan anjing yang dibeli lebih halal dan lebih suci dibanding
kambing hasil mencuri.

Ungkapan Gatoloco yang menolak syari'at Islam berupa haramnya babi itu bukan
sekadar menolak, tetapi disertai tuduhan, seakan hukum Islam atau orang
Islam itu menghalalkan mencuri  kambing. Sindiran seperti itu sebenarnya
baru kena, apabila ditujukan kepada orang yang mengaku tokoh Islam namun
mencuri kambing seperti Imam bahkan pendiri LDII (Lembaga Dakwah Islam
Indonesia) yakni Nur Hasan Ubaidah. Karena dia memang pernah mencuri kambing
ketika di Makkah hingga diuber polisi, dan kambingnya disembunyikan di
kolong tempat tidur. Tetapi zaman Gatoloco tentunya belum ada aliran Nur
Hasan Ubaidah itu. Jadi Gatoloco itu (sebagaimana ditiru oleh penolak syari'
ah Islam belakangan) telah melakukan dua hal:

1.      Menolak syari'at Islam
2.      Menuduh umat Islam sekenanya.[7]

Demikianlah latar belakang yang perlu diketahui, sehingga terpaksa saya
putar ulang apa yang telah saya persoalkan di tahun 2002. Hanya saja rencana
"besar" yang berbahaya bagi Islam itu tampaknya Nurcholish Madjid masih
kesulitan dalam menjabarkannya, baik dalam hal tenaga-tenaga yang perlu
direkrut maupun produk yang mau disuntikkan kepada masyarakat.

Dalam rancangan global yang belum saya tanggapi dalam kutipan di atas,
Nurcholish menulis:

"Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum
reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman
sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola
kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan
modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan
kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya
pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi
semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama."

Nafsu Besar Tenaga Kurang

Untuk mengujudkan "cita-cita" (kalau orang yang tak suka lebih mantap
menyebut "nafsu") Nurcholish yang seperti itu, ternyata walaupun mungkin
dana bisa dinegokan dengan pihak-pihak yang suka (atau justru dana sudah
tersedia, tinggal melaksanakannya, saya tak tahu) namun dari segi tenaga
yang piawai dari yang Islam saja masih kewalahan. Yang memang sudah biasa
menggarap masalah fiqih setahu saya baru ada Masdar F Mas'udi, dan itupun
belum sukses dalam mempropagandakan fikiran-fikiran anehnya bahwa zakat sama
dengan pajak, berhaji bukan hanya di bulan Dzulhijjah tetapi 3 bulan, jadi
wuquf di Arafah tidak hanya di tanggal 9 Dzulhijjah, karena kalau
pemahamannya seperti itu (wuquf di Arofah hanya tanggal 9 Dzulhijjah)
berarti Al-Qur'an dikorbankan oleh Hadits, kata Masdar. Jago yang satu ini
paling banter baru bisa mengotak-atik bahwa "perlindungan terhadap agama"
(hifzh al-dien) dan "perlindungan terhadap akal" (hifzh al-aql) dalam ushul
fiqih tentang Ad-Dhoruriyatul khomsah (5 hal primer yang harus dilindungi)
itu kemudian diplesetkan menjadi kebebasan beragama, dan berpendapat. (Itu
ditulis di buku FLA dan di bagian yang awal, lihat FLA halaman 12). Padahal,
di dalam ushul fiqih ditegaskan:

Yang terjadi dalam tingkat ad-dhoruriyyat  (aksiomatik) yaitu apa yang telah
dikenal dari perhatian Allah (Syari') kepadanya, yakni ada lima:
-         Penjagaan terhadap agama mereka
-         jiwa-jiwa mereka
-         akal mereka
-         nasab mereka
-         dan harta-harta mereka.

Contohnya:
-         ketentuan hukum syara' dengan membunuh orang kafir yang
menyesatkan dan hukuman atas pembuat bid'ah yang mengajak kepada bid'ah
adalah untuk menjaga agama mereka
-         ketentuan hukum syara' dengan qishosh (balasan setimpal, bunuh
balas bunuh dsb) karena dengan hukum itu untuk menjaga jiwa-jiwa.
-         Kewajiban dari syara' berupa had (hukuman yang sudah ditentukan)
atas peminum arak/ khamr karena dengan hukum itu untuk menjaga akal.
-         Kewajiban syara' berupa had (ketentuan hukuman) atas pelaku zina
adalah untuk menjaga keturunan dan nasab.
-         Kewajiban syara' mengancam keras pencuri adalah untuk menjaga
harta-harta. Melalaikan/ menggugurkan dasar-dasar yang lima ini dan lari
darinya adalah mustahil.[8]

Penyelewengan terang-terangan

Coba kita bandingkan, teks dalam ushul fiqih seperti itu dengan perlakuan NM
cs terhadap istilah ad-dharuriyat: mula-mula dikutip lebih dulu secara
benar, lalu diplesetkan arahnya. Itulah  yang dilakukan oleh para penulis
Paramadina yang dipelopori Nurcholish Madjid. Berikut ini kutipannya:

            Kutipan:

"Yang dimaksud dengan kemaslahatan primer (al-dharuriyyat, pen) yaitu
perlunya melindungi agama (hifzh al-din), melindungi jiwa (hifzh al-nafs),
melindungi akal  (hifzh al-'aql), melindungi keturunan (hifzh al-nasab) dan
melindungi harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai
keberagamaan orang lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berpikir dan
berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan
harta setiap orang."[9]

Tanggapan:

Betapa jauh berbeda antara yang dimaksud oleh Ushul Fiqih dengan yang
dimaksud oleh Masdar F Mas'udi dan kawan-kawannya di Paramadina yang
disesepuhi oleh Nurcholish Madjid ini.

1. Ushul Fiqih menegaskan:

- Penjagaan terhadap agama mereka dalam bentuk: ketentuan hukum syara'
dengan membunuh orang kafir yang menyesatkan dan hukuman atas pembuat bid'ah
yang mengajak kepada bid'ah adalah untuk menjaga agama mereka.
- Namun Masdar F Mas'udi cs menyatakan:

Perlunya melindungi agama (hifzh al-din); Setiap manusia mesti menghargai
keberagamaan orang lain.

Komentar saya: Ini istilah ushul fiqih "melindungi agama (hifzh al-din)"
masih dipakai, tetapi maksudnya sudah dimainkan ke arah lain. Menjaga atau
melindungi agama itu maksud yang benar adalah menjaga Islam agar tidak
rusak, maka pelaku perusak agama dihukum bunuh, dalam contoh di atas, orang
kafir yang menyesatkan maka dalam ketentuan syara' dihukum bunuh.

2. Ushul fiqih membuat landasan: Penjagaan terhadap jiwa-jiwa mereka dalam
bentuk; ketentuan hukum syara' dengan qishosh (balasan setimpal, bunuh balas
bunuh dsb) karena dengan hukum itu untuk menjaga jiwa-jiwa.

Tetapi Masdar F Mas'udi cs menyatakan: melindungi jiwa (hifzh al-nafs);
menghormati jiwa.

Komentrar saya: Bukan sekadar menghormati, tetapi menjaga dari segala yang
merusaknya. Sedang jiwa di situ hanyalah jiwa yang dilindungi oleh Islam.
Adapun jiwa orang yang tidak dilindungi Islam, misalnya karena memusuhi
Islam, melanggar Islam yang sampai terkena hukum bunuh (misalnya murtad,
sudah pernah nikah namun berzina, lari dari medan perang, dan membunuh jiwa
secara tidak haq) maka tak ada perlindungan lagi. Jadi yang dijaga jiwanya
itu adalah orang muslim yang dilindungi syara', dan urusannya bukan sekadar
hormat menghormati.

3. Ushul Fiqh membuat landasan: Penjagaan terhadap akal. Ujudnya: Kewajiban
dari syara' berupa had (hukuman yang sudah ditentukan) atas peminum arak/
khamr karena dengan hukum itu untuk menjaga akal.

Tetapi Masdar cs mengemukakan: melindungi akal  (hifzh al-'aql), menghargai
kebebasan berpikir dan berpendapat.

Komentar saya: "Menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat" itu bukan
merupakan maksud dari istilah Ushul Fiqih "melindungi akal"  (hifzh al-'aql)
. Yang dimaksud oleh Ushul Fiqih tentang melindungi akal itu adalah
melindungi dari tingkah yang merusak akal. Maka orang yang meminum minuman
keras dikenai hukuman (had) dicambuk 80 kali, karena dengan hukuman itu agar
akal terlindungi, yakni manusia tidak membuat tingkah yang merusak akal.
Adapun pendapat yang dihasilkan dari akal maka perlu dilihat, ketika
pendapat itu berupa kekafiran dan mengajak kepada kesesatan-kekafiran maka
berarti merusak agama. Dan itu ada hukumnya tersendiri seperti tercantum
dalam hal penjagaan agama, point satu. Bukannya pendapat akal yang
menyesatkan itu perlu dihargai, tetapi justru pencetus atau penyerunya perlu
dihukum, sebab merusak agama.

4. Penjagaan terhadap nasab/ keturunan (hifzh al-nasab) ujudnya: Kewajiban
syara' berupa had (ketentuan hukuman) atas pelaku zina adalah untuk menjaga
keturunan dan nasab.

Tetapi Masdar cs mengemukakan:  melindungi keturunan (hifzh al-nasab)
menjaga keturunan (hak reproduksi).

Komentar saya: Dalam Ushul Fiqih, istilah melindungi keturunan atau hifzh
al-nasab itu maksudnya adalah Allah membuat syari'at, di antaranya dalam hal
untuk menjaga keturunan, maka dilarang berzina. Sehingga ada hukuman bagi
pelaku zina, agar keturunan bisa terjaga.

5. Menjaga harta (hifzh al-mal) ujudnya: Kewajiban syara' mengancam keras
pencuri adalah untuk menjaga harta-harta..

Sedang Masdar cs menulis:  melindungi harta (hifzh al-mal), menghargai
kepemilikan harta setiap orang.

Komentar saya: Dalam hal harta, Masdar cs tidak begitu menyelewengkan
maksud. Berbeda dengan ketika menyangkut masalah penjagaan agama dan akal.
Dalam dua hal (agama dan akal) inilah Masdar cs bermain, memainkan
penyelewengan maksud. Dari maksud Ushul Fiqh bahwa Allah melindungi agama
(Islam) sehingga menetapkan hukum syara' untuk menghukum bunuh perusak agama
serta menghukum pembuat dan penyeru bid'ah, lalu oleh Masdar cs diubah
menjadi "Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain". Betapa
jauh bedanya. Kemudian dalam hal penjagaan akal, Ushul Fiqih memaksudkan,
Allah menjaga akal Muslimin, maka siapa yang berbuat pelanggaran yang
merusak akal dihukumlah. Misalnya minum minuman keras maka dicambuk 80 kali.
Tetapi oleh Masdar cs, istilah penjagaan atau perlindungan terhadap akal itu
masih dipakai, sedang maksudnya diselewengkan menjadi: "menghargai kebebasan
berpikir dan berpendapat".

Memperkosa Ushul Fiqih demi kepuasan syahwat pluralisme agama

"Pemerkosaan" terhadap Ushul Fiqih telah dilakukan secara beramai-ramai oleh
Nurcholish Madjid, Masdar F Mas'udi dan kawan-kawannya, demi meraih kepuasan
syahwat pluralisme agamanya, sehingga mereka bisa berteriak sekencangnya,
"Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain", dan perlunya
"menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat". Dan itu diserukan atas nama
hal yang primer, yang wajib dilindungi. Kemudian diatas namakan, itulah
maqoshidus syari'ah  (tujuan syari'ah).  Padahal pembicaraan Ushul Fiqih
sama sekali bukan seperti itu.

Kenapa mereka ini tega-teganya "memperkosa" Ushul Fiqih untuk kepentingan
yang sangat bertentangan dengan Islam, dan menyuarakan suara tidak Islami
atas nama ilmu Islam, padahal mereka mengaku dirinya Muslim? Ada apa?

Di balik itu semua, sudah sebegitu kerasnya upaya NM cs sampai berani
mengadakan "perkosaan" secara ramai-ramai terhadap Ushul Fiqih, namun
hasilnya baru sampai taraf memperkosa istilah-istilah untuk diselewengkan
maksudnya, tahu-tahu sudah kepergok massa. Sehingga  untuk menyalurkan
hasrat propaganda pluralisme agama dan penghadangan syari'at Islam itu masih
perlu banyak tenaga dan aneka perangkat lagi.

Itu belum sampai kepada pekerjaan besar untuk merobohkan fiqih, ushul fiqih,
dan Imam Syafi'i peletak dasar Ushul Fiqih. Belum lagi untuk mengais-ngais
ayat-ayat atau hadits-hadits yang dianggap sebagai landasan pluralisme agama
(faham penyamaan agama-agama). Malahan Zuhairi Misrawi mengaku sedang
meneliti dan mengumpulkan ayat-ayat yang bersifat pluralisme agama, sambil
mengemukakan bahwa M Thalib yang menganggap ayat-ayat Al-Qur'an itu sifatnya
monolitik untuk Islam itu salah. Lalu Zuhairi Misrawi dalam diskusi di UIN
Jakarta itupun membaca ayat, namun salah, dan pemahamannya secara
serampangan. Maka tidak usah penantang yakni Majelis Mujahidin yang
mempersoalkan kesalahan bacaan ayat dari Zuhairi Misrawi dan Zainun Kamal,
cukup dipersoalkan oleh peserta diskusi saja sudah klepek-klepek (mungkin
bahasa psikologinya nervous/ gugup). Sehingga bersublimasi dengan bersuara
lantang, namun isinya sangat mengkhawatirkan, baik bagi pendukung Paramadina
maupun apalagi lawannya, karena tanpa referensi/ rujukan dan dalil yang
meyakinkan.

Belum lagi Nurcholish harus menyiapkan tenaga-tenaga yang piawai dari non
Muslim. Dan dalam buku FLA itu tidak satu pun orang yang mengaku dari non
Muslim yang diikutkan menulis. Sehingga apa yang jadi judul "Fiqih Lintas
Agama" itu adalah satu perwujudan dari rancangan global yang amat besar
dengan keharusan melibatkan para pakar dari berbagai agama dan muatan yang
besar penuh bobot hingga agar mampu menjebol aneka benteng (terutama benteng
yang dianggap akan menjadi perlindungan penegakan syari'ah dan benteng
penegakan aqidah serta jihad) namun desain besar itu tinggal desain. Bahasa
klisenya adalah "maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai".
Itu masih mending, bahkan setengah dari kenyataannya adalah sebagaimana
plesetan orang, "maksud hati memeluk gunung, apa daya gunung meletus".
Itulah resiko dari kerja keras di bawah perintah sponsor orang kafir untuk
mengacak-acak Islam dan umatnya. Masa' Allah merelakan kerja keras model
itu.

[1] Peristiwa debat antara Paramadina dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia)
itu isi lengkap debatnya telah kami tulis sekaligus kami komentari dalam
sebuah buku yang berjudul Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agma, terbitan
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2004.
[2] Idealnya, agama mengajarkan umatnya melakukan hubungan seks yang halal
dan aman. Namun, kenyataannya, ada pula varian hubungan halal-tak aman,
haram-aman, dan haram-tak aman. Untuk ketiga varian hubungan seks, yang
terakhir ini, paling tidak, ulama bisa bersikap abstain jika enggan
mendukung penggunaan kondom. "Yang penting tidak melarang," kata KH Masdar
Mas'udi, Ketua Komisi Fatwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)?.
Menurut Masdar, sebaiknya kampanye kondom dilakukan tidak secara terbuka di
media umum. Yang penting bagaimana menjangkau kaum pria yang tak bisa
menahan hajat seksualnya dan tetap nekat berhubungan seks dengan pekerja
seks komersial, agar mau menggunakan kondom sehingga tidak menularkan HIV
kepada istrinya. Soal ini Masdar sempat agak berdebat dengan KH Machruf
Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI yang juga dari NU. Namun, perbedaan pendapat
itu dapat diselesaikan dengan derai tawa. Masdar menyebut dirinya ulama
"INUL" (Ikatan NU Liberal), sedangkan KH Machruf Amin mengakui dirinya masih
konservatif dalam soal perzinaan   . (Sumber ; KOMPAS, 14 Maret 2003 )

[3] Sikap Nurcholish Madjid kadang mencla-mencle (tidak konsisten). Lebih
komplitnya, silakan baca di buku saya, Kursi Panas Pencalonan Nurcholish
Madjid sebagai Presiden, Darul Falah, Jakarta, 2003. Dalam hal penggembosan
alias pengempesan, di bidang folitik Nurcholish Madjid menyuarakan "Islam
yes, partai Islam no". Tetapi dia sendiri terjun berkampanye PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) tahun 1977. PPP adalah satu-satunya partai Islam saat
itu, berhadapan dengan dua partai nasionalis yakni Golkar (partai penguasa
di bawah Presiden Soeharto) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia, merupakan
gabungan dari partai-partai Katolik, Kristen, dan partai nasionalis, kini
PDI berubah jadi PDIP sejak menjelang Pemilihan Umum 1999). Kenapa
Nurcholish berkampanye untuk partai Islam? Alasannya, "memompa ban kempes".
Itu di bidang folitik. Adapun di bidang fiqih, Nurcholish Madjid kini
menggembosi fiqih, ushul fiqih, bahkan mengomandoi penerbitan buku FLA yang
di antara isinya mengecam Imam As-Syafi'i. Padahal Nurcholish Madjid memuji
dan mengakui jasa besar Imam Syafi'I sebagai peletak dasar metodologi dalam
hal hukum Islam, ketika menulis pengantar buku terjemahan karya Imam
As-Syafi'I, Ar-Risalah, terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986. Dr Peunoh
Daly (almarhum) guru besar IAIN Jakarta alumni Mesir pun pernah berkomentar,
Nurcholish Madjid itu kalau mau dibilang Mu'tazilah, kok ternyata dia
menerjemahkan buku Dr Mustofa As-Siba'I, As-Sunnah wa Makaanatuha fil Islam
(Kedudukan Sunnah/ Hadits dalam Islam). Kalau Mu'tazilah mestinya tidak
sebegitu ada perhatian terhadap Hadits. Tetapi dalam pemikiran-pemikiran
Nurcholish sering dijumpai hal yang seperti Mu'tazilah.  Itu komentar Dr
Peunoh Daly dalam wawancara dengan penulis. Adapun penerjemahan buku As-Siba
'I, ternyata Nurcholish membuang muqoddimahnya. Padahal dalam muqoddimah itu
justru ada penjelasan tentang jahatnya orang-orang orientalis, Rafidhoh/ Syi
'ah, Munkirus Sunnah, dan termasuk pula Mu'tazilah dalam upaya mereka
memberedel hadits Nabi saw. Jadi, kadang memang Nurcholish Madjid
mengerjakan hal-hal yang menyelisihi adat nyelenehnya, namun di sana
terselip ada nyelenehnya pula (kalau tak boleh dibilang ada apa-apanya). Ini
berbeda dengan Gus Dur atau Abdurrahman Wahid. Tidak suka partai Islam ya
langsung menggembosi PPP. Tidak suka kepada Muslimin yang teguh ya langsung
ngomong, musuh besar saya Islam kanan, .begitu saja kok repot.

Sama-sama nyelenehnya tapi beda gayanya, padahal mereka arahnya sama.
Buktinya? Masdar F Mas'udi itu orang dekatnya Gus Dur, lalu di dalam proyek
buku "Fiqih Tandingan" yakni FLA terbitan Paramadina bekerjasama dengan The
Asia Foundation ini Masdar adalah pengikut Nurcholish Madjid selaku tim
penulis.  Di situlah titik temunya, dan Masdar menjadi orang penting baik di
grup Gus Dur maupun Nurcholish. Saya jadi teringat Pak Munawir Sjadzali
selaku menteri agama wanti-wanti (berpesan serius) kepada saya tahun 1987,
tolong Masdar itu jangan "dipukul", dia masih intelektual muda. (Memangnya
saya tukang  pukul?). Saat itu rupanya Masdar dilindungi, dengan cara
pembagian tugas. Masyarakat dibikin ramai: Munawir Sjadzali melontarkan
bahwa hukum waris Islam tidak adil. Nurcholish Madjid menerjemahkan syahadat
menjadi; Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar); dan Gus Dur ingin
mengganti assalamu'alaikum menjadi selamat pagi. Sementara masyarakat ramai
geger mempersoalkan lontaran tiga tokoh itu, maka Masdar F Mas'udi dari NU
dan Muslim Abdurrahman dari Litbang Depag kebagian untuk menggarap kiai-kiai
NU secara maraton, tingkat local dan bahkan nasional terus menerus.
Tujuannya dua, pertama menjebol fiqih dengan rangkaiannya (fiqih, ushul
fiqih, dan Imam-imamnya terutama Imam Syafi'i) yang tujuan akhirnya untuk
meruntuhkan upaya penegakan syari'at. Karena saat itu sudah ada para
intelektual yang mampu mengemukakan argumentasi-argumentasi sehingga dalam
rapat nasional MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengenai bunga bank justru
suara-suara kiai-kiai yang (sebagian MUI dan NU justru mendukung bunga bank)
kalah argumentasi dengan intelektual model AM Saefuddin dan lain-lain.
Sehingga gelagat akan adanya suara penegakan syari'at Islam sudah tercium
oleh penguasa dan orang sekuler model Nurcholish Madjid cs itu. Yang kedua,
menjebol aqidah, dari Tauhid menjadi pluralisme agama, menyamakan semua
agama. Upaya yang sudah diuji cobakan terhadap kiai-kiai NU inilah yang
kemudian disusun secara beramai-ramai dalam bentuk buku yang disebut Fiqih
Lintas Agama, mumpung Nurcholish dan Gus Dur masih ada. Sedang pekerjaan
kaum sekuler ini bebannya tambah berat. Tugas penjebolan fiqih itu untuk
menghadang umat Islam yang ingin menegakkan syari'at Islam. Sedang
penjebolan aqidah agar jadi pluralisme agama itu untuk menghadang Muslimin
yang mengikuti manhaj salaf.  Maka tak mengherankan kalau sponsornya dari
orang kafir, padahal disebutnya buku fiqih.
[4]  Tulisan Nurcholish Madjid yang dikutip dalam Charles Kurzman, ed.
Wacana Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, cetakan 1, 2001, hal 503.
[5] Fiqh menurut istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syari'ah amaliyah/
praktis yang diupayakan dari dalil-dalilnya yang terperinci. (Al-Jurjani,
At-Ta'rifat, Al-Haramain, Jeddah, hal 168).
[6] Buku Gatoloco, Sadu Budi, Solo, halaman 7, dikutip dan diterjemahkan
Prof Dr HM Rasyidi, Islam & Kebatinan, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan 7,
1992, hal 28-29.
[7] Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,
cetakan 1, 2002, halaman 46-53.
[8] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Raudhotun Nadhir, Jami'ah Al-Imam, Riyadh,
cetakan 2, 1399H,  juz 1, halaman 170.
[9] Nurcholish Madjid cs, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat
Inklusif -Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia
Foundation, Jakarta, 2003, halaman 11.



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke